Judul Buku : Dialektika
Islam dan Multikulturalisme di Indonesia: Ikhtiar MenguraiAkar Konflik
Penulis : Andy
Dermawan
Penerbit : Kurnia
Kalam Semesta
Tahun Terbit : Januari
2009
Tebal Halaman : 173 halaman
ISBN : 979-8596-48-2
peresensi : Rohana
peresensi : Rohana
Multikulturalisme
Sebagai Alternatif Menghadapi Masalah
Pluralitas Agama di Indonesia
Pluralitas agama di Indonesia
sekarang ini tampaknya kian menjadi masalah yang penting untuk dicermati. Di
beberapa tempat kita mendengar atau menemukan banyak terjadi konflik dan
ketegangan antar agama. Prasangka, stereotype, dan diskriminasi semakin
berkembang. Komunikasi sosial menjadi sulit lantaran agama. Masyarakat
cenderung sektarian. Agama yang semula diharapkan dan dibanggakan sebagai
kekuatan integratif, dalam banyak hal, telah menjadi kekuatan disintegrative
(Salim dan Suhadi, 2007) atau sering dipandang sebagai “kendala” persatuan dan
kesatuan. Bahkan, dianggap sebagai salah satu ancaman SARA (Suku, Agama, Ras,
dan Antar golongan) (Djalil, 1999).
Keadaan ini tentu saja didorong
oleh beberapa sebab. Tiga sebabnya yang utama adalah politisasi agama, baik
oleh negara maupun elit keagamaan, perkembangan modernisasi dan, beriring
dengan itu, kebangkitan agama-agama. Untuk mempertahankan dominasi, negara
ataupun kelompok masyarakat tertentu seringkali menggunakan legitimasi agama,
dan atau menjalankan politik segregasi agama-agama. Taktik yang sama dijalankan
oleh para “politisi” atau “agamawan” yang memakai agama untuk tujuan-tujuan
politik (Salim dan Suahdi, 2007).
Sepanjang sejarahnya masalah agama
memang tak pernah selesai. Menurut Dermawan, Agama hadir seperti dua mata
pisau, di satu sisi ia adalah sebuah aturan yang mengatur seluruh aktivitas
kehidupan manusia (pendidikan, politik, ekonomi, social, budaya dan
sebagainya), namun disatu sisi ia hadir sebagai alat legitimasi bagi sekelompok
orang yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan individu dan kelompoknya.
Dalam konteks
yang sangat pribadi, agama begitu mudah diaktualisasikan melalui berbagai
pengamalan yang bersifat ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hampir
dalam konteks ini tidak ada masalah yang berarti sehubungan dengan masalah
horizontal. Namun dalam konteks sosial, agama tidak semata dimaknai sebagai
ritus, liturgi, doa dan pengalaman mistis yang bersifat personal dan unik,
namun juga hadir dengan fungsi manifest dan latent yang kadang tidak
dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu sisi, agama dapat menjadi sarana
integral sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jama’ah, gereja,
sangha dan komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangun, dan
pemelihara perdamaian dan kedamaian; sekaligus instrument yang cukup efektif bagi
disintegrasi sosial, menciptakan konflik, ketegangan, friksi, kontradiksi, dan
bahkan perang, memendang outsider saebagai “kafir” yang harus diproselitisasi
secara paksa di sisi lain. Agama tampaknya selalu hadir dalam wajah ganda,
ambivalensi yang sulit diurai dan dimengerti lebih-lebih bila penganutnya
menempatkan diri sebagai actor sekali dan selamanya. Bukan pengamat apalagi
peneliti. Bukan kritikus tapi pembela dan watchdog
tradisi dan ortodoksi (hal. 50).
Maka bukan hal yang mengherankan
bila konflik dan masalah keagamaan muncul dalam masyarakat yang plural, bahkan
agama sering menjadi pemicu kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah dan
trauma yang sulit terlupakan seperti kasus poso, kasus pembakaran gereja di
ketapang Jakarta dan pembakaran Masjid di Kupang Nusa Tenggara Timur. Tak dapat
dilupakan pula kasus Ambon dan Maluku yang menelan ribuan korban jiwa yang
mencerminkan konflik sosial antaragama
dan suku secara berhimpitan.
Tindak kriminal dan pengecaman-pengecaman
kafir dan tidak bermoral kerap terjadi. Pembubaran paksa yang dilakukan FPI (Front
Pembela Islam) terhadap kelompok yang tergabung dalam konferensi ILGA di hotel
Oval pada 26-27 maret 2010 merupakan sejarah yang perlu dikoreksi. Tindakan
pembubaran paksa tersebut adalah sebentuk wajah seram dari sekelompok sekte
agama yang mengatasnamakn moral dan agama. Kaum minoritas yang seharusnya
dijaga karena ia adalah bagian dari warga negara yang justeru memberi banyak
warna, malah dilecehkan dan ditutup kebebasan ekspresinya. Dan akhir-akhir ini,
yaitu April dan Mei 2012 telah terjadi pembubaran diskusi Irsyad Manji (aktivis
feminis Canada yang lesbian) secara sepihak oleh lembaga maupun ormas Islam ekstrimis
karena dianggap merusak moral Indonesia.
Disinilah urgensi pemahaman multikulturalisme
dalam mengurai masalah pluralitas dalam keberagamaan. Pluralitas atau
kemajemukan, seperti yang ditulis dalam buku ini, tidak mesti dipahami bahwa
“semua agama itu baik dan pasti benar”, atau juga menganggap bahwa “semua agama
itu sama dan sebangun”, tetapi pluralitas sesungguhnya menyadarkan kepada kita bahwa
tingkat kebenaran pemahaman seseorang terhadap keyakinannya itu adalah relatif
dan tentatif. Pluralitas harus dipahami sebagai realitas kodrat hidup manusia,
yang sangat diperlukan untuk memahami agama dari berbagai sudut pandangnya (perspective). Keputusan tindakan
demikian sesungguhnya berguna untuk dapat saling menghargai, menghormati dan
membangun saling pengertian yang kreatif antar sesama pemeluk.
Dalam buku ini, penulis
mengungkapkan bahwa multikulturalisme sebagai sebuah problematika adalah
meletakkan pluralitas sebagai cara pandang di dalam menjaga eksistensi
kemanusiaan agar tetap terjaga keragamannya. Karena keragaman itu karya Tuhan.
Manusia tidak diperkenan merusak karya-Nya dengan semena-mena terhadap sesama,
memaksakan kehendaknya kepada pihak lain, dan menuding bahwa semua yang ada di
luar dirinya salah. Ciri manusia bertuhan
adalah mensikapi segala perbedaan itu dengan arif dan bijaksana.
Kearifan itu ditunjukkan dengan memahami bahwa orang lain punya hak berbeda
dengan dirinya. Sedangkan bijaksana itu ditunjukkan dengan pengakuan bahwa ada
kebenaran diluar dirinya. Bahkan dalam agama Islam (saya yakin agama yang lain
juga) mengakui bahwa perbedaan itu adalah anugrah. Dalam salah satu hadits nabi
Muhammad Saw mengatakan “ikhtilafu ummati
rahmatun” artinya perbedaan ummatku adalah rahmat. Bukan laknat.
Keragaman itu bukan rekayasa
manusia, atau sengaja diciptakan untuk membuat perbedaan dan sekadar berbeda
dengan yang lain. Sekali lagi bukan. Keragaman yang tertuang dalam potret
kehidupan kita sehari-hari merupakan cerminan keinginan Tuhan agar kita mampu
meneladani sifat-sifat-Nya. Kita diberi ruang untuk berkompetisi sesuai dengan
kompetisi masing-masing agar terdidik kuat. Kita diberi ruang berkonflik, agar
kita mampu mendayagunakan energy konflik itu bukan untuk saling menghancurkan
tetapi bersinergi satu sama lain. Melalui nilai-nilai multikulturalisme,
manusia mengkreasi dirinya sendiri berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah
dalam konteks kesetaraan. Memahami bahwa ada kebenaran di luar dirinya, itulah
manusiawinya manusia.
Tidak ada yang patut di
permasalahkan dalam multikulturalisme kecuali persoalan cara pandang mengenai
konflik yang terjadi dan bagaimana mengatasinya. Apabila konflik diolah dengan
baik, niscaya permasalahan multikultural akan terselesaikan dan mengurai sebuah
keindahan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Begitulah secara gamblang
pesan yang ditujukan buku ini.
Kekurangan buku ini adalah penulis
tidak menjabarkan secara jelas tawaran yang lebih kongkrit terhadap
penyelesaian atau paling tidak terhadap cara meminimalisir masalah konflik
pluralitas agama di Indonesia. Padahal masalah pluralitas merupakan masalah
lama namun tak pernah kunjung padam, ia terus ada hingga dewasa ini. Mungkinkah
karena hal tersebut akibat terjadi kekeliruan dalam pemahaman ataupun juga
tidak sampainya pesan para ilmuan dalam menjelaskan masalah pluralitas? Di
samping itu, bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini bertele-tele hingga
sulit menemukan secara jelas inti pokok yang dimaksud.
Walau demikian buku ini masih
sangat layak dibaca kalangan akademisi, politisi, agamawan, budayawan, pegiat
LSM, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya yang menekuni nilai-nilai
multikulturalisme di Indonesia.
Daftar Pustaka
Andy
Dermawan. Dialektika Islam dan
Multikulturalisme di Indonesia: Ikhtiar Mengurai Akar Konflik. Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2009
Matori
Abdul Djalil. Dari NU untuk Kebangkitan
Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1999
Gadis
Arivia. Mempertanyakan Kembali Moral dan
Homoseksual, dalam Bhineka karena Indonesia tidak tunggal ika edisi khusus
ILGA 2010. Surabaya:-vol. 6 Mei 2010
Hairus
Salim HS dan Suhadi. Membangun Pluralime
Dari Bawah. Yogyakarta: LKiS, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar