Senin, 12 November 2012

Book Review


Judul Buku   : Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia: Ikhtiar MenguraiAkar Konflik
Penulis                 : Andy Dermawan
Penerbit               : Kurnia Kalam Semesta
Tahun Terbit      : Januari 2009
Tebal Halaman   : 173 halaman
ISBN                    : 979-8596-48-2
peresensi                : Rohana
Multikulturalisme Sebagai Alternatif Menghadapi Masalah
Pluralitas Agama di Indonesia
Pluralitas agama di Indonesia sekarang ini tampaknya kian menjadi masalah yang penting untuk dicermati. Di beberapa tempat kita mendengar atau menemukan banyak terjadi konflik dan ketegangan antar agama. Prasangka, stereotype, dan diskriminasi semakin berkembang. Komunikasi sosial menjadi sulit lantaran agama. Masyarakat cenderung sektarian. Agama yang semula diharapkan dan dibanggakan sebagai kekuatan integratif, dalam banyak hal, telah menjadi kekuatan disintegrative (Salim dan Suhadi, 2007) atau sering dipandang sebagai “kendala” persatuan dan kesatuan. Bahkan, dianggap sebagai salah satu ancaman SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) (Djalil, 1999).
Keadaan ini tentu saja didorong oleh beberapa sebab. Tiga sebabnya yang utama adalah politisasi agama, baik oleh negara maupun elit keagamaan, perkembangan modernisasi dan, beriring dengan itu, kebangkitan agama-agama. Untuk mempertahankan dominasi, negara ataupun kelompok masyarakat tertentu seringkali menggunakan legitimasi agama, dan atau menjalankan politik segregasi agama-agama. Taktik yang sama dijalankan oleh para “politisi” atau “agamawan” yang memakai agama untuk tujuan-tujuan politik (Salim dan Suahdi, 2007).
Sepanjang sejarahnya masalah agama memang tak pernah selesai. Menurut Dermawan, Agama hadir seperti dua mata pisau, di satu sisi ia adalah sebuah aturan yang mengatur seluruh aktivitas kehidupan manusia (pendidikan, politik, ekonomi, social, budaya dan sebagainya), namun disatu sisi ia hadir sebagai alat legitimasi bagi sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan individu dan kelompoknya.
Dalam konteks yang sangat pribadi, agama begitu mudah diaktualisasikan melalui berbagai pengamalan yang bersifat ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hampir dalam konteks ini tidak ada masalah yang berarti sehubungan dengan masalah horizontal. Namun dalam konteks sosial, agama tidak semata dimaknai sebagai ritus, liturgi, doa dan pengalaman mistis yang bersifat personal dan unik, namun juga hadir dengan fungsi manifest dan latent yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu sisi, agama dapat menjadi sarana integral sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jama’ah, gereja, sangha dan komunitas-komunitas keagamaan, wahana pencipta, pembangun, dan pemelihara perdamaian dan kedamaian; sekaligus instrument yang cukup efektif bagi disintegrasi sosial, menciptakan konflik, ketegangan, friksi, kontradiksi, dan bahkan perang, memendang outsider saebagai “kafir” yang harus diproselitisasi secara paksa di sisi lain. Agama tampaknya selalu hadir dalam wajah ganda, ambivalensi yang sulit diurai dan dimengerti lebih-lebih bila penganutnya menempatkan diri sebagai actor sekali dan selamanya. Bukan pengamat apalagi peneliti. Bukan kritikus tapi pembela dan watchdog tradisi dan ortodoksi (hal. 50).
Maka bukan hal yang mengherankan bila konflik dan masalah keagamaan muncul dalam masyarakat yang plural, bahkan agama sering menjadi pemicu kekerasan yang berujung pada pertumpahan darah dan trauma yang sulit terlupakan seperti kasus poso, kasus pembakaran gereja di ketapang Jakarta dan pembakaran Masjid di Kupang Nusa Tenggara Timur. Tak dapat dilupakan pula kasus Ambon dan Maluku yang menelan ribuan korban jiwa yang mencerminkan konflik sosial antaragama  dan suku secara berhimpitan.
Tindak kriminal dan pengecaman-pengecaman kafir dan tidak bermoral kerap terjadi. Pembubaran paksa yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) terhadap kelompok yang tergabung dalam konferensi ILGA di hotel Oval pada 26-27 maret 2010 merupakan sejarah yang perlu dikoreksi. Tindakan pembubaran paksa tersebut adalah sebentuk wajah seram dari sekelompok sekte agama yang mengatasnamakn moral dan agama. Kaum minoritas yang seharusnya dijaga karena ia adalah bagian dari warga negara yang justeru memberi banyak warna, malah dilecehkan dan ditutup kebebasan ekspresinya. Dan akhir-akhir ini, yaitu April dan Mei 2012 telah terjadi pembubaran diskusi Irsyad Manji (aktivis feminis Canada yang lesbian) secara sepihak oleh lembaga maupun ormas Islam ekstrimis karena dianggap merusak moral Indonesia.
Disinilah urgensi pemahaman multikulturalisme dalam mengurai masalah pluralitas dalam keberagamaan. Pluralitas atau kemajemukan, seperti yang ditulis dalam buku ini, tidak mesti dipahami bahwa “semua agama itu baik dan pasti benar”, atau juga menganggap bahwa “semua agama itu sama dan sebangun”, tetapi pluralitas sesungguhnya menyadarkan kepada kita bahwa tingkat kebenaran pemahaman seseorang terhadap keyakinannya itu adalah relatif dan tentatif. Pluralitas harus dipahami sebagai realitas kodrat hidup manusia, yang sangat diperlukan untuk memahami agama dari berbagai sudut pandangnya (perspective). Keputusan tindakan demikian sesungguhnya berguna untuk dapat saling menghargai, menghormati dan membangun saling pengertian yang kreatif antar sesama pemeluk.
Dalam buku ini, penulis mengungkapkan bahwa multikulturalisme sebagai sebuah problematika adalah meletakkan pluralitas sebagai cara pandang di dalam menjaga eksistensi kemanusiaan agar tetap terjaga keragamannya. Karena keragaman itu karya Tuhan. Manusia tidak diperkenan merusak karya-Nya dengan semena-mena terhadap sesama, memaksakan kehendaknya kepada pihak lain, dan menuding bahwa semua yang ada di luar dirinya salah. Ciri manusia bertuhan  adalah mensikapi segala perbedaan itu dengan arif dan bijaksana. Kearifan itu ditunjukkan dengan memahami bahwa orang lain punya hak berbeda dengan dirinya. Sedangkan bijaksana itu ditunjukkan dengan pengakuan bahwa ada kebenaran diluar dirinya. Bahkan dalam agama Islam (saya yakin agama yang lain juga) mengakui bahwa perbedaan itu adalah anugrah. Dalam salah satu hadits nabi Muhammad Saw mengatakan “ikhtilafu ummati rahmatun” artinya perbedaan ummatku adalah rahmat. Bukan laknat.
Keragaman itu bukan rekayasa manusia, atau sengaja diciptakan untuk membuat perbedaan dan sekadar berbeda dengan yang lain. Sekali lagi bukan. Keragaman yang tertuang dalam potret kehidupan kita sehari-hari merupakan cerminan keinginan Tuhan agar kita mampu meneladani sifat-sifat-Nya. Kita diberi ruang untuk berkompetisi sesuai dengan kompetisi masing-masing agar terdidik kuat. Kita diberi ruang berkonflik, agar kita mampu mendayagunakan energy konflik itu bukan untuk saling menghancurkan tetapi bersinergi satu sama lain. Melalui nilai-nilai multikulturalisme, manusia mengkreasi dirinya sendiri berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam konteks kesetaraan. Memahami bahwa ada kebenaran di luar dirinya, itulah manusiawinya manusia.
Tidak ada yang patut di permasalahkan dalam multikulturalisme kecuali persoalan cara pandang mengenai konflik yang terjadi dan bagaimana mengatasinya. Apabila konflik diolah dengan baik, niscaya permasalahan multikultural akan terselesaikan dan mengurai sebuah keindahan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Begitulah secara gamblang pesan yang ditujukan buku ini.
Kekurangan buku ini adalah penulis tidak menjabarkan secara jelas tawaran yang lebih kongkrit terhadap penyelesaian atau paling tidak terhadap cara meminimalisir masalah konflik pluralitas agama di Indonesia. Padahal masalah pluralitas merupakan masalah lama namun tak pernah kunjung padam, ia terus ada hingga dewasa ini. Mungkinkah karena hal tersebut akibat terjadi kekeliruan dalam pemahaman ataupun juga tidak sampainya pesan para ilmuan dalam menjelaskan masalah pluralitas? Di samping itu, bahasa yang digunakan penulis dalam buku ini bertele-tele hingga sulit menemukan secara jelas inti pokok yang dimaksud.
Walau demikian buku ini masih sangat layak dibaca kalangan akademisi, politisi, agamawan, budayawan, pegiat LSM, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya yang menekuni nilai-nilai multikulturalisme di Indonesia.
Daftar Pustaka
Andy Dermawan. Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia: Ikhtiar Mengurai Akar Konflik. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009
Matori Abdul Djalil. Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1999
Gadis Arivia. Mempertanyakan Kembali Moral dan Homoseksual, dalam Bhineka karena Indonesia tidak tunggal ika edisi khusus ILGA 2010. Surabaya:-vol. 6 Mei 2010
Hairus Salim HS dan Suhadi. Membangun Pluralime Dari Bawah. Yogyakarta: LKiS, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar