Minggu, 13 Januari 2013



PENDEKATAN REVISIONIS DALAM STUDI ISLAM: SEBUAH PENDEKATAN SEJARAH
Oleh: Rohana[1]

A.  Pendahuluan
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan teologis normatif[2] dilengkapi dengan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberi jawaban terhadap masalah yang timbul, serta dapat dipahami secara historis-empiris sebagai risalah yang benar untuk kemudian dijadikan pedoman dalam kehidupan sekarang atau yang akan datang.
Berkenaan dengan pemikiran tersebut di atas, maka dalam memahami agama (Islam) digunakan banyak pendekatan dalam studi Islam. Pendekatan tersebut antara lain: pendekatan Antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis, teologis, pendekatan pilologi[3], dan pendekatan sejarah. Pendekatan terakhir ini, yaitu pendekatan sejarah, merupakan pendekatan yang dianggap paling penting dalam studi Islam. Cak Nur (Nurcholis Madjid) dalam Akh. Minhaji[4] secara berulang-ulang menegaskan bahwa pengetahuan Sejarah amat diperlukan dalam rangka memahami ajaran al-Qur’an secara lebih komprehensif.
Diyakini pula bahwa, tidak mungkin memahami Islam dan umat Islam secara baik pada masa kini dan juga masa mendatang tanpa pemahaman yang benar tentang Islam dan umat Islam masa lalu, atau tanpa rujukan memadai terhadap warisan Islam dan umat Islam masa lalu. Hal ini terjadi, karena banyak sekali ajaran Islam dan umat Islam masa kini (dan juga masa mendatang) yang berasal dari warisan masa lalu. Bahkan sumber ajaran yang paling asasi dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang keduanya merupakan warisan masa lalu[5].
Karena ajaran Islam yang diterapkan masa kini dan (masa mendatang) bersumber dari warisan masa lalu, maka para sejarawan (baik orang Islam maupun non Islam) mencoba mengkaji sumber-sumber tersebut melalui berbagai simbol yang mengungkap apapun yang terjadi pada masa lalu, baik itu berupa teks-teks tertulis seperti al-Qur’an, Hadits, puisi (sastra), ataupun sumber-sumber yang tidak tertulis seperti bangunan, mata uang, dan lain sebagainya. Alhasil, semua sumber warisan masa lalu tersebut bisa saja menjadi rujukan dalam pengkajian Islam. Akan tetapi, pendekatan sejarah yang digunakan oleh para pengkaji Islam baik dari sejarawan Islam maupun dari luar Islam, mendekati Islam dengan pendekatan tersebut tidaklah terlepas dari perspektif yang dibangun sendiri-sendiri. Hal ini bisa dilihat dari pendekatan yang dilakukan oleh William Montgomery Watt (salah seorang orientalis senior terkemuka di Barat dewasa ini) dan Patricia Crone dalam menganalisis kemunculan Islam di Mekkah dan penyebarannya yang luas di Arabia[6]. Kedua sejarawan ini sama-sama menggunakan pendekatan sejarah, namun dalam menganalisis objek yang diteliti kedua-duanya memakai pisau analisis yang berbeda-beda. Sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda dan bahkan bertolakbelakang dengan hasil yang mereka dapatkan.
Dalam konteks tersebut, J. Koren dan Y.D. Nevo dalam Akh. Minhaji melihat ada dua aliran besar dalam studi Islam. Dua aliran besar tersebut banyak digunakan dalam mengkaji Arab pra-Islam, kelahiran Islam, dan penaklukan Islam, seperti yang dikaji oleh William Montgomery Watt dan Patricia Crone (sebagai contoh), atau secara umum kajian Islam dan umat Islam. Aliran pertama digunakan oleh kaum tradisionalis yang disebut dengan pendekatan tradisionalis (traditionalist approach) dan kedua disebut pendekatan revisionis (revisionist approach).
Secara umum, kelompok tradisionalis mendasarkan kajiannya pada literatur yang ditulis oleh orang Arab/Islam. Kelompok ini memandang bahwa literatur Arab/Islam, seluruhnya dapat dijadikan sebagai sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada harus dipandang benar sepanjang tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt melalui karya-karyanya, antara lain, Muhammad: prophet and Statesman yang merupakan versi ringkas dari dua bukunya, Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina, dikategorikan sebagai pendukung kelompok tradisionalis. Sedangkan kelompok revisionalis akan dibahas secara lebih lengkap pada pembahasan selanjutnya.
Dalam pembahasan ini memang sengaja membahas mengenai pendekatan revisionis saja, karena pendekatan tradisonalis akan dibahas oleh kawan saya yang lain.

B.  Pendekatan Revisionis dalam Studi Islam
Kelompok revisionis[7] bertitik tolak dari anggapan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum. Menurut kelompok ini, hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama-agama sebelumnya, khususnya Yahudi; dan literatur Arab/Islam yang pernah ditulis, tidak lebih dari upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan dalam rangka mengungkapkan data-data sejarah sebagaimana adanya. Akibatnya, dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak faktual, atau cenderung kontradiktif. Salah satu contoh yang diajukan untuk melatari anggapan di atas adalah berkenaan dengan hadits yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji. Di satu pihak, sumber yang ada menyebutkan bahwa Nabi melakukannya pada waktu haji, dan sementara di pihak lain, menyatakan sesudahnya. Perbedaan ini telah menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’ di sekitar apakah kawin pada saat melakukan haji itu boleh atau tidak.
Karya-karya William Muir ditengarai merefleksikan pandangan kelompok revisionis ini. Saat ini, Patricia Crone dikenal sebagai sarjana garda depan (avant garde) yang menggunakan model pendekatan kelompok revisionis, sebagaimana dapat dicermati dalam karya monumentalnya, Meccan Trade and the Rice of Islam. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan penolakannya terhadap pemikiran montgomerry Watt yang berhaluan tradisionalis. Perlu dibaca bagaimana pandangan W. Montgomerry Watt dan Patricia Crone tentang perdagangan Mekah, kemunculan Islam, dan kebangkitan islam sebagai contoh pergulatan serius antara kelompok tradisionalis dan revisionalis.
Sebagai contoh saja, Montgomery Watt, sebagaimana pandangan mayoritas umat Islam, meyakini bahwa pada masa Nabi, Mekkah adalah pusat dan jalur lalu lintas perdagangan. Posisi strategis ini mempunyai arti penting dalam penyebaran Islam ke luar Mekkah. Pandangan ini ditolak oleh Crone dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi barang-barang konsumsi yang bisa menarik perhatian orang luar. Oleh karenanya, tegas Crone, perlu dicari fakta lain yang mampu menjelaskan kenapa Islam menyebar secara cepat ke wilayah-wilayah di luar Mekkah. Berdasarkan hasil penelitiannya, ia menegaskan bahwa, sistem ketuhanan masyarakat Arab ketika itulah yang mendukung penyebaran Islam.
Kontroversi pemikiran Watt dan Crone yang mewakili dua kutub ekstrem di atas, hingga kini, menjadi bahan polemik para sarjana, khususnya menyangkut asal-usul dan perkembangan awal Islam. Crone memperoleh dukungan dari kawat sejawatnya, Michael Cook melalui karyanya Muhammad. Sebaliknya, Maxim Rodinson dan R.B. Serjeant mengecam pendekatan yang digunakan Crone, demikian pula Cook.
Perbedaan pendapat antara montgomery Watt dan Patricia Crone tentang karakteristik perdagangan Mekkah timbul karena perbedaan sumber-sumber sejarah yang digunakan oleh keduanya[8]. dalam menganalisis kemunculan Islam, terjadi lagi perbedaan interpretasi antara Watt dan Crone. Watt mendekatinya dari sudut pandang perubahan sosio-ekonomik, sedangkan Crone meniliknya dari sudut pandang politik. Baik Watt maupun Crone sama-sama menganalisis kemunculan Islam dari perspektif kenyataan empiris yang mereka teliti sebagai realitas historis, politis, dan sosiologis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Arab Mekkah. Tanpa melihat substansi kebenarannya, perbedaan interpretasi itu merupakan suatu hal yang lumrah dan sah-sah saja dalam dunia ilmiah dan akademis.
Walaupun Watt dan Crone sampai pada kesimpulan yang jauh berbeda dan bahkan bertolakbelakang secara diametral, namun jelas keduanya meneliti kemunculan Islam itu sebagai realitas kemasyarakataan yang hanya terjadi di “bawah” tanpa melihat adanya faktor kekuatan transendental atau “kehendak Tuhan dari atas”. Ini bisa dimaklumi karena Watt dan Crone mengkkaji dan menganalisis kemunculan Islam itu lebih berperan semata-mata sebagai ilmuwan dan sejarawan dengan visi dan latarbelakang pandangan sekuler Barat tanpa melihat adanya celah kemungkinan “partisipasi Tuhan dalam sejarah”. Barangkali pandangan demikian menyiratkan terjadinya “sekularisasi sejarah” dalam studi Islam. Walau demikian, agar tidak terjadi pandangan yang terlampau jauh berbeda yang diakibatkan oleh subjektifitas masing-masing peneliti, dan agar tidak terjadi pertentangan berkepanjangan, setidaknya argumentasi kedua kelompok tersebut dapat diterima secara objektif, maka perlu kiranya peneliti yang memfokuskan kajiannya pada Islam, melepaskan dirinya dari sekat-sekat yang membebasi kejujurannya dalam mengkaji Islam. Sekat-sekat tersebut bisa berupa fanatisme aliran/kelompok, praduga-praduga yang sebenarnya sudah terbangun terhadap sesuatu yang dikaji, atau subjektifitas-subjektifitas lain yang disebabkan oleh latarbelakang sosial keagamaan peneliti. Jika menginginkan hasil yang setidaknya lebih mendekati objektif, maka kita harus mampu menelanjangi diri dari sekat-sekat tersebut.

C.  Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pendekatan revisionis[9]
Pendekatan revisionis pada dasarnya bertumpu pada tiga hal prinsip:
a.      Pendekatan kritik sumber terhadap al-Qur’an dan literatur Islam terkait dengan kebangkitan Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah. Barangkali pendekatan ini diterapkan karena literatur masa lalu (al-Qur’an, Hadits, dan yang terkait) merupakan pedoman sejarah Islam yang hingga kini masih tetap digunakan sebagai sumber ajaran Islam. Sementara literatur masa lalu tersebut mempunyai rentang waktu yang sangat jauh dengan masa kini (dan juga masa mendatang). Rentang waktu yang sangat jauh tersebut memungkinkan banyak terjadi percampuran-percampuran antara pemikiran dengan ajaran yang sebenarnya di inginkan oleh pemegang kuasa literatur tersebut. Jarak rentang waktu yang jauh tersebut juga telah banyak memunculkan sejarah-sejarah yang berbeda dengan masa lalu yang hadir di sela-sela jarak waktu tersebut, sehingga dalam konteks sekarang seseorang tidak bisa hanya melihat dari luar/kulit teks itu saja, melainkan harus ada perhatian besar terhadap konteks yang mengitari literatur masa lalu itu. Dalam hal ini yang bisa dilakukan untuk memperoleh hasil kajian yang valid adalah dengan kritik sumber al-Qur’an dan literatur Islam (terkait kemunculan-kebangkitan Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah) karena masa inilah rujukan orang Islam dalam melihat ajaran-ajaran Islam yang dimaksud dalam literatur Islam.
b.     Pentingnya untuk membandingkan literatur Islam dengan data eksternal di luar tradisi umat, terutama data yang semasa dengan peristiwa yang disebutkan. Pembandingan ini dimaksudkan untuk mengukur keakuratan data yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang semasa dengan masa di luar tradisi Islam. Karena keterkaitan waktu yang semasa dengan peristiwa lain sangat mempengaruhi apakah peristiwa tersebut benar-benar terjadi ataukah hanya sebatas mitos yang dibuat untuk mengukuhkan kepentingan (Islam) sendiri. Prinsip ini penting mengingat pergulatan politik (dari dulu hingga sekarang) antara orang Islam dan non Islam (bahkan antara orang Islam sendiri) masih berlangsung sengit dengan berbagai kepentingan yang ada. Apalagi literatur Islam banyak digunakan sebagai alat legitimasi bagi kelompok tertentu. Untuk menghapus keraguan akan kebenaran peristiwa yang telah terjadi itu, maka pembandingan literatur islam dengan data eksternal di luar tradisi islam layak diperhatikan.
c.      Pemanfaatan bukti material (arkeologi, numismatik, epigrafi) yang semasa dengan peristiwa yang diteliti dan kesimpulan yang diambil dari data tersebut dipandang lebih valid dibandingkan dengan data yang tidak semasa, yakni data berupa literatur Islam yang ditulis jauh setelah peristiwa itu terjadi. Pandangan ini menganggap bahwa bukti material merupakan bukti netral yang menunjukkan peristiwa kongkrit yang terjadi pada masa itu. Sedangkan data berpa literatur yang ditulis jauh setelah peristiwa yang diteliti terjadi, memungkinkan dan bahkan niscaya terjadi hal-hal diluar kenyataan yang terjadi, karena data yang ditulis jauh setelah peristiwa itu terjadi sarat dengan pemikiran-pemikiran subjektif dari penulis sendiri. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh kelompok revisionis bahwa kenyataan yang sebenarnya tidak pernah terjadi dipoles menjadi kenyataan sejarah dalam bentuk tulisan-tulisan atas pemikiran pribadi.

D.  Penutup
Tidak ada yang benar atau salah dari pendekatan-pendekatan yang digunakan, baik oleh sejarawan Barat atau sejarawan Muslim sendiri dalam mengkaji Islam. Semua pendekatan akan menghasilkan sesuatu yang objektif apabila subjektifitas-subjektifitas yang ada pada peneliti ditiadakan. Di sinilah arti pentingnya kejujuran dalam mengkaji apapun, baik itu agama sendiri atau agama orang lain. Walaupun sulit (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) melepas subjektifitas, apalagi yang terkait dengan unsur transendental dalam agama, menyebabkan para pengikutnya sulit melepaskan unsur tersebut ketika mengkaji Islam, dan bahkan ketika membaca penelitian orang lain (khususnya orang Barat) yang mengkaji Islam – agama yang dianutnya.
Apapun pendekatan yang digunakan, siapapun yang melakukan kajian tersebut, dan siapapun yang membaca hasil kajian itu, dituntut untuk selalu mengkritisi dengan lebih arif sesuai dengan keilmuan dan metodologi yang umum digunakan dalam kajian keilmiahan. Hal ini untuk menghindari truth claim (klaim kebenaran) di antara para pengkaji Islam.
Banyak orang mengakui bahwa setiap pendekatan mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hal ini menuntut para pengkaji Islam secara khusus untuk tidak berpaku pada satu pendekatan yang dianggap benar menurut persepsi sendiri lalu mengabaikan pendekatan lain yang sebenarnya sangat mendukung kajiannya. Pendekatan tradisionalis, revisionis, dan pendekatan-pendekatan yang lain perlu dikolaborasi sesuai kebutuhan dan tuntutan peneliti guna menghasilkan sesuatu yang komplit atau konprehensif sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Karena dalam peristiwa yang telah terjadi tersimpan berbagai hal dan warna-warni kehidupan yang disebabkan latarbelakang dan sebab-sebab atau pengaruh-pengaruh yang mungkin tak bisa diungkap dengan satu pendekatan.








Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. dkk. 2000. Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Connolly, Peter ed. 2009. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS.

Ismail, Faisal. 1998. “Perdagangan Mekkah, Muhammad Rasulullah, Dan Bangkitnya Agama Islam”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Sebagai Guru Besar Sejarah Dan Perdaban Islam, Disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbatas Iain Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 20 Juni 1998.

Minhaji, Akh. 2010. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi.   Yogayakarta: Suka Press.

Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo.




[1] Adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Interdicilinary Islamic Study Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. secara eksplisit makalah ini memang tidak memiliki linieritas dengan IPI, namun secara implisit dapat diterapkan dalam kajian IPI terkait sifat keilmuan IPI yang multidisiplin.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), hlm. 27.
[3] Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 2.
[4] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi, (Yogayakarta: Suka Press, 2010), hlm.3.
[5] Ibid., hlm. 62.
[6] Lihat Faisal Ismail, “Perdagangan Mekkah, Muhammad Rasulullah, Dan Bangkitnya Agama Islam”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Sebagai Guru Besar Sejarah Dan Perdaban Islam, Disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbatas Iain Sunan Kalijaga Yogyakarta, 20 Juni 1998.
[7] Pembahasan ini penulis banyak mengambil referensi dari Akh. Minhaji “Orientalisme dalam Bidang Hukum Islam” dalam Amin Abdullah, dkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2000), hlm. 150-151.
[8] Faisal Ismail, “Perdagangan Mekkah…hlm. 22.
[9] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial…hlm. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar