Jumat, 22 Februari 2013


ALAT DAN BAHAN UNTUK MENULIS BUKU DI DUNIA ISLAM
Oleh: Rohana[1]
A.    Pendahuluan
Perkembangan sejarah peradaban Islam  tidak luput juga dari konteks kepustakaan dan alat serta bahan yang digunakan untuk menulis kepustakaan tersebut. Suatu peradaban dapat dilihat baik kemunculan dan perkembangannya melalui proses tulis menulis dan alat serta bahan yang digunakannya. Setiap generasi dengan rentang jarak tertentu memiliki alat dan bahan tulis menulis yang berbeda dari satu generasi ke generasi lainnya.
Generasi awal menggunakan alat sederhana semacam pohon atau kayu, batu, dan lempengan sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau informasi yang ditujukan kepada manusia lainnya[2]. Generasi selanjutnya menggunakan alat yang lebih praktis, lebih awet atau tahan lama semacam papyrus, dan juga ada yang namanya kain Perca seperti yang biasa generasi dahulu gunakan hingga awal abad ke-3 hijriah[3]. Kemudian generasi selanjutnya menggunakan alat dan bahan yang lebih praktis, ringan dibawa, dan lebih efektif semacam kertas hingga yang kita temukan sekarang ini. dan perkembangan yang lebih jauh lagi bahwa alat untuk menulis sekarang sudah sangat canggih yaitu melalui komputer yang bisa langsung disimpan dan ditemu kembali melalui satu tempat. Untuk kepentingan ekonomis, terkadang seseorang tidak begitu banyak menggunakan kertas lagi sebagai alat untuk menulis, tetapi lebih ke komputer meskipun kertas tetap diperlukan, bahkan sampai waktu yang tak pernah bisa diprediksikan.
Kehadiran internet dan media onlinepun mewarnai perkembangan media tulis menulis terkait konteksnya dalam penyebaran informasi tersebut. seseorang tidak lagi khawatir ketika harus menemukan bahwa bahan referensi atau informasi itu tidak ada dalam alat kertas (buku), karena informasi sudah bisa ditemukan di mana-mana dan tidak harus tercetak. Ada e-book, e-journal, e-mail, dan lain sebagainya yang bisa digunakan untuk menyimpan dan temu kembali karya tulisan. Semua perkembangan generasi ini menunjukkan perkembangan sebuah peradaban yang salah satunya bisa diketahui melalui alat dan bahan tulis menulis tersebut.
Dalam makalah ini dibahas secara umum alat dan bahan yang digunakan untuk tulis menulis di dunia Islam. Makalah ini tidak dibatasi oleh waktu atau tempat dalam memberi focus pada kajian tentang alat dan bahan untuk menulis, tetapi mengkaji secara umum masalah tersebut dalam konteks dunia Islam.
B.     Awal tulis menulis dan alat yang digunakan
Media tulis menulis yang paling awal adalah pohon atau kayu, batu, dan lempengan. Dalam sejarahnya, kehidupan manusia mula-mula tidak menetap tetapi mengembara dari satu tempat ke tempat lain (nomaden). Manusia mencari makan dari alam sekitarnya, sedangkan untuk keperluan ternaknya ia mencari sumber air dan rumput. Pada tahap berikutnya manusia mulai bertani dan dengan demikian hidupnya sudah mulai menetap. Dalam tahap ini, manusia mulai berusaha menggarap lahan yang ada di sekitarnya. Untuk keperluan daging, manusia memburu binatang yang ada di sekitarnya. Kehidupan berburu ini tidak beranjak jauh dari kehidupan nomaden. Dalam pengembaraannya serta dari kehidupan bertaninya, manusia memperoleh pengalaman bahwa mereka bisa menyampaikan pesan atau informasi melalui tanda atau tulisan. Maka pesan yang mereka sampaikan dipahatkan di pohon, batu, atau lempengan. Dari sinilah manusia sudah mulai berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui tulisan[4].
Seiring dengan perjalan waktu, pesan yang ditulis melalui media tersebut berganti menjadi media yang lebih awet. Maka manusia berusaha menemukan alat tulis yang lebih praktis yaitu berupa papyrus (dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sepanjang sungai Nil). Rumput tersebut dipukul-pukul agar rata kemudian dikeringkan. Sesudah itu baru ditulisi dengan menggunakan pahatan dan tinta.
Pada masa-masa al-Qur’an diturunkan, orang Arab biasa menuliskannya pada tulang-tulang unta, domba, keledai, dan juga batu-batu tipis yang berwarna putih dan pecah-pecahan keramik. Namun dalam al-Qur’an disinggung tentang perkamen (riqq, Qs. 52:3) dan lontar (qirtas, Qs. 6: 7, 91) sebagai bahan membuat catatan, yang selalu dikaitkan dengan kitab yang diwahyukan, yaitu lembar-lembar ilahiyah (shuhuf). Kita dapat memperkirakan bahwa al-Qur’an lengkap yang paling awal ditulis di atas salah satu di antara kedua bahan ini, barangkali perkamen.
Sebenanrnya sekitar abad pertama masehi, sejenis bahan yang mirip dengan kertas yang kita gunakan dewasa ini telah ditemukan di Cina. Namun karena pengetatan yang dilakukan penguasa Cina terhadap semua benda yang keluar masuk dari Cina maka penemuan kertas itu tidak dikenal di eropa hingga tahun 1150-an. Sebelum itu, Eropa menggunakan kulit binatang sebagai bahan tulis, misalnya mereka membuat alat tulis dari kulit kambing, domba, biri-biri, sapi, dan binatang lain yang disebut parchmen sebagaimana yang dielaskan di atas.
Parchmen sebenarnya berasal dari kata “pergamun” sebuah kota kecil di Asia kecil tempat parchmen pertama kali digunakan. Parchmen digunakan sebagai bahan tulis sebelum kertas ditemukan. Bahan tulis lain disebut vellum, terbuat dari kulit sapi atau kambing, digunakan untuk menulis dan menjilid buku. Banyak digunakan pada awal mula penerbitan di Eropa.
Perkembangan alat tulis menulis tersebut yaitu dari bahan yang sangat sederhana dari alam dan kemudian berkembang menjadi bahan yang lebih praktis menunjukkan adanya perkembangan peradaban manusia. Orang dapat mengetahui sejarah bangsanya, agamanya, ataupun litaratur kitab-kitab yang ditulis pada masa tertentu adalah melalui alat tulis yang digunakan. Terkadang seseorang tidak dapat mengetahui siapa yang menulis suatu tulisan semacam kitab kuno tetapi dapat mengetahui sejak kapan kira-kira kitab tersebut ada melalui alat yang digunakan. Sebagai contoh adalah “Gulungan Laut Mati” yang ditemukan antara tahun 1947 dan 1956 dalam 11 gua di Wadi Qumran dan sekitarnya (dekat reruntuhan pemukiman kuno Khirbet Qumran, di sebelah barat daya pantai Laut Mati). Naskah Laut Mati yang terdiri dari lebih kurang 900 dokumen[5], termasuk teks-teks dari Kitab Suci Ibrani ini ditulis dengan suatu tinta dasar-karbon, biasanya ditulis di atas kulit binatang, meskipun beberapa di antaranya juga ditulis di atas papirus[6]. Alat yang digunakan tersebut seperti bahan tinta yang digunakan telah diuji oleh berbagai ilmuan modern sekarang dan melalui tes alat tersebut dapatlah diketahui penanggalan atau waktu teks tersebut ditulis. Sehingga Teks-teks dalam naskah ini mempunyai makna penting yang ditemukan yaitu keagamaan dan sejarah yang penting, karena mereka praktis merupakan satu-satunya dokumen-dokumen Alkitab yang berumur antara tahun 150 SM dan 70 M. Gulungan Laut Mati merupakan kumpulan manuskrip perjanjian lama tertua yang pernah ditemukan-setidak-tidaknya seribu tahun lebih tua daripada berbagai teks Ibrani tradisional dari periode awal abad pertengahan yang dijadikan landasan bagi semua terjemahan alkitab modern kita[7].
Apa yang pemakalah uraikan di atas menggambarkan betapa pentingnya media tulis yang digunakan oleh generasi-genarasi manusia. Alat dan bahan yang digunakan dapat menjadi bukti dan dapat menjadi informasi kapan teks ditulis sehingga kita dapat melacak berbagai tautan informasi lainnya seperti kaum yang hidup pada masa teks ditulis, peradabannya seperti apa, siapa yang berpengaruh, dan lain sebagainya.
C.     Alat dan Bahan untuk Menulis[8] Masa klasik
Di dunia Arab, orang biasa menulis dengan menggunakan kulit, kalau tidak perkamen. Sejumlah tulisan di atas kulit sejak zaman Mesir kuno masih terselamatkan. Di Arab, di mana industry kulit telah ada sejak lama dan dikembangkan dalam perdagangan ekspor. Kulit digunakan sebagai alat tulis. Pengolahan kulit secara khusus akan menghasilkan perkamen yang lebih tipis dan lebih kuat, yang mungkin digunakan oleh bangsa Persia dan kemudian di Barat pada abad kedua sebelum masehi. Jelas bahwa bahan ini dikenal oleh bangsa Arab sebelum hadirnya Nabi Muhammad saw karena begitu banyak contoh yang diberikan oleh para penyair.
Perkamen banyak digunakan untuk menulis al-Qur’an, seperti yang terlihat dalam al-Qur’an yang masih terselamatkan sejak abad ketujuh sampai abad ke sepuluh, demikian juga untuk buku-buku lainnya. Akan tetapi manuskrip berbahasa Arab yang ditulis di atas perkamen jarang ditemukan. Alasan mengapa perkamen tak banyak digunakan untuk buku-buku Islam adalah karena harganya yang mahal, sehingga orang harus menjatuhkan pilihannya pada bahan yang lebih murah. Pada masa itu yang dipilih adalah lontar. Ada bukti-bukti bahwa penggunaan lontar telah dikenal di Arab pada zaman nabi karena keterangan dalam al-Qur’an bahwa wahyu-wahyu yang diterima Nabi Musa ditulis di atas bahan ini, dank arena Allah berfirman bahwa walaupun dia mengirimkan kitab yang dibuat dari lontar untuk dijadikan pegangan, umatnya (Musa) akan tetap menolak kebenaran wahyu tersebut (Qs. 6: 7,91). Harus diakui adanya unsure ketidakpastian dalam hal ini, karna kata yang digunakan (qirtas) yang secara umum berarti lontar, sesekali juga digunakan untuk menyebut perkamen.
Baru setelah mesir ditaklukkan oleh islam, lontar menjadi bahan yang lazim digunakan dalam kegiatan sehari-hari oleh orang-orang yang menulis dengan bahasa Arab. Lontar, sejak dulu merupakan monopoli mesir, karena tumbuhan yang banyak manfaatnya itu tumbuh di sepanjang tepi sungai Nil. Bangsa Arab menyebut tanaman lontar “bardi”; istilah fafir dan babir, yang merupakan Arabisasi dari istilah bahasa Mesir-Yunani Papyros juga dijumpai. Lembaran-lembaran itu diproduksi di sejumlah bengkel kerja dan diekspor dalam jumlah besar. Lembar-lembar lontar itu digunakan di istana khalifah Bani Umayyah di Damaskus (658-750) maupun di sitana Khalifah Abbasiyah di Bagdad (750).
Pada Dinasti Abbasiyah, ketertaikan pada lontar terlihat dalam upayanya menciptakan industry lontar di Irak. Orang yang bertanggung jawab atas hal ini adalah Khalifah Al-mu’tasim, yang mendirikan  istana baru di Samarra yang kemudian menjadi pusat pemerintahan selama bertahun-tahun (836-878).
D.    Perkembangan Selanjutnya[9]
Hingga awal abad ke 3 hijriah, bahan yang umum digunakan untuk menulis adalah kain perca dan papyrus. Dokumen-dokumen resmi yang ditulis di atas kain perca dan disimpan ketika terjadi perang sipil antara al-Amin dan al-Ma’mun, dicuci bersih kemudian dijual lagi. Kertas cina mulai masuk ke Irak pada abad ke 3 Hijriah. Segera setelah itu industry kertas tumbuh menjamur. Industry itu pertama kali muncul di Samarkand. Beberapa orang tawanan Cina pada 751 memperkenalkan seni pembuatan kertas dari flax, linen, atau kain rami. Kata kuno bahasa Arab untuk kertas adalah kaghad, kemungkinan berasal dari bahasa Cina, dan kemudian diserap oleh bahasa Persia, lalu diserap ke dalam bahasa Arab. Dari Samarkand, industry itu menyebar ke Irak. Pada masa pemerintahan al-Fadl ibn Yahya al-Barmaki, yang pernah menjadi gubernur Khurasan pada 794, pabrik pertama berdiri di Bagdad. Saudaranya, Ja’far, menteri pada khalifah Harun mengganti penggunaan kain perca dengan kertas untuk menuliskan dokumen-dokumen resmi negara. Kota-kota muslim yang laian membangun pabrik-pabrik kertas mengikuti rancangan pabrik yang berada di Samarkand. Sebuah pabrik dibangun di Tihamah untuk membuat kertas dari serat tumbuhan. Pada masa al-Maqdisi, kertas produksi Samarkand masih dianggap sebagai kertas yang terbaik kualitasnya. Tetapi pada abad berikutnya, abad kesebelas, kertas-kertas dengan kualitas yang sangat bagus juga diproduksi di kota-kota Suriah dan di Tripoli. Dari daratan Asia Tengah, industry itu mulai menyebar hingga ke Delta Mesir sejak akhir abad ke Sembilan.
Beberapa kota di sana dalam jangka waktu yang cukup lama selalu mengekspor papyrus dari negara-negara berbahasa Yunani untuk media menulis. Produk ekspor itu mereka sebut qarathis. Pada akhir abad ke-10 kertas menggantikan perca dan papyrus di seluruh umat Islam. Peralihan tersebut merupakan dampak dari produksi kertas yang semakin menyebar di seluruh penjuru dunia. Hal ini berkaitan langsung dengan perkembangan peradaban Islam secara khusus dan perkembangan dunia secara umum.
E.     Tinta dan alat tulis[10] yang digunakan
Tinta (hibr, midad) yang digunakan umumnya tampak jernih dan segar sekalipun di atas lontar dan lembaran kertas. Ahli filsafat dan teologi al-Gazali menyebutkan dalam suatu kesempatan bahwa tinta dibuat dari virtol dan sejenis kacang-kacangan. Bahan yang sama masih digunakan sampai sekarang di Eropa. Namun komposisinya dapat sangat bervariasi dan bahan-bahan lain juga bisa ditambahkan. Sejumlah resep biasanya berasal dari para penulis sendiri. Di Mesir abu yang berasal dari lontar yang dibakar digunakan sebagai karbon. Kadang-kadang tintanya berwarna kecoklatan, sering kali dengan kilapan metalik, namun warna hitam pekat adalah yang terbaik.
Di tengah menghangat situasi politik yang berlangsung di dunia Islam, kerap diperlukan penulisan pesan rahasia, namun sejauh yang menyangkut buku, metode semacam ini sebenarnya hanya sedikit atau bahkan tak ada manfaatnya.
Alat tulis yang digunakan adalah pena yang terbuat dari batang sejenis pohon bambu  (Qalam), seperti yang dipergunakan oleh orang-orang Mediterania sebelum Islam. Pena tersebut dipotong dari ranting sejenis pohonm bambu yang tumbuh berlimpahterutama di tepi sungai Nil dan juga Irak serta tempat-tempat lain. ranting pohon ini harus dipotong dengan pisau yang tajam dan dalam jumlah yang banyak karena cara pengerjaannya yang penuh kehati-hatian. Ranting ini harus yang keras, tidak terlalu tipis tidak juga terlalu tebal. Yang terbaik adalah yang berwarna kecoklatan setelah direndam di dalam air selama beberapa waktu. Ranting tersebut tidak boleh dipotong pada pertemuannya dengan dahan dan tidak boleh melengkung, panjangnya kira-kira sejengkal. Salah satu ujungnya harus ditajamkan menyerong kemudian dilubangi tetapi tidak terlalu dalam. Bagian sampingnya harus dipotong sehingga berbentuk lancip dan dari tempat yang lancip itu dibuat suatu sayatan kea rah dalam sepanjang permukaan bagian tengah. Bagian yang lancip tadi harus dipotong secara hati-hati dengan pisau yang tajam (yang tidak boleh digunakan untuk keperluanm lain) dengan arah ke bawah di atas sepotong tulang atauy benda-benda lain yang mirip (miqatta). Potongan ini agak berbeda antara satu dengan lainnya tergantung pada jenis tulisan yang akan dibuat dengan pena ini. ada pula aturan yang pasti untuk menentukan apakah seorang penulis menggunakan sebelah kanan atau kiri dari pena tersebut, sebelah atau bawah dari bagian pena yang lancip atau seluruh bagian lebarnya.
Pena merupakan alat terpenting di antrara alat tulis lain, sehingga menjadi symbol kelompok juru tulis secara keseluruhan, terutama para petugas di kantor-kantor pemerintahan yang juga sangat erat hubungannya dengan lingkungan kesusastraan. Mereka disebut ‘ahli pena’, seperti halnya kelompok militer yang disebut ‘ahli pedang’.
Pena menjadi lambang segala ilmu yang baik, yang dikaruniakan Allah kepada manusia melalui al-Qur’an, yang menjadikan Muhammad saw penuh dengan keajaiban. Ayat pertama (al-‘Alaq ayat 1-5)[11]  dan juga ditekankan pada surat Nun[12] yang dimulai dengan sumpah “Demi pena dan apa yang ditulisnya” yang turun kepada Nabi saw merupkan bukti normative atas lambang pena yang agung ini. Banyak orang non muslim maupun muslim sendiri merasa aneh dengan wahyu pertama ini. Keanehan yang meminta perhatian para ahli filsafat (filosuf), para pemikir di dunia, para ahli sejarah agama dan kehidupan ilmiah, adalah penyebutan “qalam” (pena) pada wahyu yang pertama ini. Padahal wahyu tersebut diturunkan kepada seorang ummi (tidak bisa baca tulis), yang diutus untuk kaum yang ummi pula. Suatu kaum yang hidup di negeri yang di sana sulit ditemukan qalam (pena). Sementara jumlah para penulis (mereka sekaligus merupakan para pelajar) juga tidak banyak. Inilah rahasia munculnya gerakan ilmiah dan kepengarangan secara internasional, yang tidak akan ada tandingannya dalam sejarah agama-agama dan bangsa-bangsa. Itulah maksud dari ayat: “yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”[13]. Dalam wahyu ini ada dorongan untuk meluaskan cakrawala keilmuan, menutup kebodohan, mendekatkan kepada perkembangan yang baru, dan menghilangkan pengingkaran terhadap fakta-fakta ilmiah yang kuat yang tidak tertutupi dalam realitas masa lalu.[14] 
F.      Kesimpulan
Sejarah perkembangan peradaban Islam diakui atau tidak merupakan buah hasil dari kegiatan tulis menulis yang dilakukan secara intens dan mendalam. Hasil tulis menulis ini adalah factor keberhasilan peradaban bangsa. Alat dan bahan untuk menulis bisa menjadi bukti atas semua gerakan tulis menulis tersebut. alat dan bahan tulispun serta merta menjadi penentu lain atas pertumbuhan dan perkembangan peradaban generasi ke generasi yang lain. karna seiring dengan berkembangnya kegiatan tulis menulis, maka alat dan bahan tulis menulispun berkembang, sehingga secara sadar kita akan mengatakan bahwa kegiatan tulis menulis atau kepengarangan tidak pernah terlepas dari alat dan bahan untuk menulis tersebut. kajian secara berkelnajutan terhadap alat dan bahan tulis ini merupakan hal penting karena bisa menentukan aspek-aspek kehidupan yang terjadi di dunia ini.
Referensi
Abul Hasan ‘Ali al-Hasani, an-. Nadwi,. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw. (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2001).
Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakrta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Philip K. Hitty, History of the Arabs: Rujukan Induk dan paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002).
www.wikipedia.com, diunduh pada 18/01/2013.
Michael Wise, Martin Abegg Jr., dan Edward Cook, Naskah Laut mati, terj. F.X. Dono Sunardi, (Jakrta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008).
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996).
Q.S. Nuun (68): 1.
Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5.

[1] Adalah Mahasiswa Jurusan Interdiciplinary Islamic Studies konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakrta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 20.
[3] Philip K. Hitty, History of the Arabs: Rujukan Induk dan paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002(, hlm. 522.
[4] Sulistyo-Basuki, Pengantar…hlm. 19.
[5] www.wikipedia.com, diunduh pada 18/01/2013.
[6] Michael Wise, Martin Abegg Jr., dan Edward Cook, Naskah Laut mati, terj. F.X. Dono Sunardi, (Jakrta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 14.
[7] Ibid. hlm. 20, 26.
[8] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 78-83.
[9] Sumber informasi pemakalah ambil dalam Philip K. hitti, History of the Arab…hlm. 522-523.
[10] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam…hlm. 95-98.
[11]  Terjemahan isi dari surat tersebut adalah; 1. Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah 3. Bacalah dan Tuhan-mulah yang paling pemurah 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
[12] Q.S. Nuun (68): 1.
[13] Q.S. al-‘Alaq (96): 5.
[14] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani, an-. Nadwi,. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw. (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2001) hlm. 121.