ALAT DAN BAHAN UNTUK MENULIS BUKU DI DUNIA ISLAM
Oleh: Rohana[1]
A. Pendahuluan
Perkembangan sejarah peradaban
Islam tidak luput juga dari konteks
kepustakaan dan alat serta bahan yang digunakan untuk menulis kepustakaan
tersebut. Suatu peradaban dapat dilihat baik kemunculan dan perkembangannya
melalui proses tulis menulis dan alat serta bahan yang digunakannya. Setiap
generasi dengan rentang jarak tertentu memiliki alat dan bahan tulis menulis
yang berbeda dari satu generasi ke generasi lainnya.
Generasi awal menggunakan alat sederhana
semacam pohon atau kayu, batu, dan lempengan sebagai alat untuk menyampaikan
pesan atau informasi yang ditujukan kepada manusia lainnya[2].
Generasi selanjutnya menggunakan alat yang lebih praktis, lebih awet atau tahan
lama semacam papyrus, dan juga ada yang namanya kain Perca seperti yang biasa
generasi dahulu gunakan hingga awal abad ke-3 hijriah[3].
Kemudian generasi selanjutnya menggunakan alat dan bahan yang lebih praktis,
ringan dibawa, dan lebih efektif semacam kertas hingga yang kita temukan
sekarang ini. dan perkembangan yang lebih jauh lagi bahwa alat untuk menulis
sekarang sudah sangat canggih yaitu melalui komputer yang bisa langsung
disimpan dan ditemu kembali melalui satu tempat. Untuk kepentingan ekonomis,
terkadang seseorang tidak begitu banyak menggunakan kertas lagi sebagai alat
untuk menulis, tetapi lebih ke komputer meskipun kertas tetap diperlukan,
bahkan sampai waktu yang tak pernah bisa diprediksikan.
Kehadiran internet dan media onlinepun
mewarnai perkembangan media tulis menulis terkait konteksnya dalam penyebaran
informasi tersebut. seseorang tidak lagi khawatir ketika harus menemukan bahwa
bahan referensi atau informasi itu tidak ada dalam alat kertas (buku), karena
informasi sudah bisa ditemukan di mana-mana dan tidak harus tercetak. Ada
e-book, e-journal, e-mail, dan lain sebagainya yang bisa digunakan untuk
menyimpan dan temu kembali karya tulisan. Semua perkembangan generasi ini
menunjukkan perkembangan sebuah peradaban yang salah satunya bisa diketahui
melalui alat dan bahan tulis menulis tersebut.
Dalam makalah ini dibahas secara umum
alat dan bahan yang digunakan untuk tulis menulis di dunia Islam. Makalah ini
tidak dibatasi oleh waktu atau tempat dalam memberi focus pada kajian tentang
alat dan bahan untuk menulis, tetapi mengkaji secara umum masalah tersebut
dalam konteks dunia Islam.
B. Awal
tulis menulis dan alat yang digunakan
Media
tulis menulis yang paling awal adalah pohon atau kayu, batu, dan lempengan.
Dalam sejarahnya, kehidupan manusia mula-mula tidak menetap tetapi mengembara
dari satu tempat ke tempat lain (nomaden). Manusia mencari makan dari alam
sekitarnya, sedangkan untuk keperluan ternaknya ia mencari sumber air dan
rumput. Pada tahap berikutnya manusia mulai bertani dan dengan demikian
hidupnya sudah mulai menetap. Dalam tahap ini, manusia mulai berusaha menggarap
lahan yang ada di sekitarnya. Untuk keperluan daging, manusia memburu binatang
yang ada di sekitarnya. Kehidupan berburu ini tidak beranjak jauh dari
kehidupan nomaden. Dalam pengembaraannya serta dari kehidupan bertaninya,
manusia memperoleh pengalaman bahwa mereka bisa menyampaikan pesan atau
informasi melalui tanda atau tulisan. Maka pesan yang mereka sampaikan
dipahatkan di pohon, batu, atau lempengan. Dari sinilah manusia sudah mulai
berkomunikasi dengan manusia lainnya melalui tulisan[4].
Seiring
dengan perjalan waktu, pesan yang ditulis melalui media tersebut berganti
menjadi media yang lebih awet. Maka manusia berusaha menemukan alat tulis yang
lebih praktis yaitu berupa papyrus (dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh di
sepanjang sungai Nil). Rumput tersebut dipukul-pukul agar rata kemudian
dikeringkan. Sesudah itu baru ditulisi dengan menggunakan pahatan dan tinta.
Pada
masa-masa al-Qur’an diturunkan, orang Arab biasa menuliskannya pada
tulang-tulang unta, domba, keledai, dan juga batu-batu tipis yang berwarna
putih dan pecah-pecahan keramik. Namun dalam al-Qur’an disinggung tentang
perkamen (riqq, Qs. 52:3) dan lontar
(qirtas, Qs. 6: 7, 91) sebagai bahan
membuat catatan, yang selalu dikaitkan dengan kitab yang diwahyukan, yaitu
lembar-lembar ilahiyah (shuhuf). Kita dapat memperkirakan bahwa al-Qur’an
lengkap yang paling awal ditulis di atas salah satu di antara kedua bahan ini,
barangkali perkamen.
Sebenanrnya
sekitar abad pertama masehi, sejenis bahan yang mirip dengan kertas yang kita
gunakan dewasa ini telah ditemukan di Cina. Namun karena pengetatan yang
dilakukan penguasa Cina terhadap semua benda yang keluar masuk dari Cina maka
penemuan kertas itu tidak dikenal di eropa hingga tahun 1150-an. Sebelum itu,
Eropa menggunakan kulit binatang sebagai bahan tulis, misalnya mereka membuat
alat tulis dari kulit kambing, domba, biri-biri, sapi, dan binatang lain yang
disebut parchmen sebagaimana yang
dielaskan di atas.
Parchmen
sebenarnya berasal dari kata “pergamun” sebuah kota kecil di Asia kecil tempat parchmen pertama kali digunakan. Parchmen
digunakan sebagai bahan tulis sebelum kertas ditemukan. Bahan tulis lain
disebut vellum, terbuat dari kulit
sapi atau kambing, digunakan untuk menulis dan menjilid buku. Banyak digunakan
pada awal mula penerbitan di Eropa.
Perkembangan
alat tulis menulis tersebut yaitu dari bahan yang sangat sederhana dari alam dan
kemudian berkembang menjadi bahan yang lebih praktis menunjukkan adanya
perkembangan peradaban manusia. Orang dapat mengetahui sejarah bangsanya,
agamanya, ataupun litaratur kitab-kitab yang ditulis pada masa tertentu adalah
melalui alat tulis yang digunakan. Terkadang seseorang tidak dapat mengetahui
siapa yang menulis suatu tulisan semacam kitab kuno tetapi dapat mengetahui
sejak kapan kira-kira kitab tersebut ada melalui alat yang digunakan. Sebagai
contoh adalah “Gulungan Laut Mati” yang ditemukan antara tahun 1947
dan 1956
dalam 11 gua
di Wadi Qumran
dan sekitarnya (dekat reruntuhan pemukiman kuno Khirbet Qumran, di sebelah
barat daya pantai Laut Mati). Naskah Laut Mati yang terdiri dari lebih kurang 900 dokumen[5],
termasuk teks-teks dari Kitab Suci Ibrani
ini ditulis dengan suatu tinta dasar-karbon, biasanya ditulis di atas kulit
binatang, meskipun beberapa di antaranya juga ditulis di atas papirus[6].
Alat yang digunakan tersebut seperti bahan tinta yang digunakan telah diuji
oleh berbagai ilmuan modern sekarang dan melalui tes alat tersebut dapatlah
diketahui penanggalan atau waktu teks tersebut ditulis. Sehingga Teks-teks dalam
naskah ini mempunyai makna penting yang ditemukan yaitu keagamaan dan sejarah
yang penting, karena mereka praktis merupakan satu-satunya dokumen-dokumen
Alkitab yang berumur antara tahun 150 SM dan 70 M. Gulungan Laut Mati merupakan
kumpulan manuskrip perjanjian lama tertua yang pernah
ditemukan-setidak-tidaknya seribu tahun lebih tua daripada berbagai teks Ibrani
tradisional dari periode awal abad pertengahan yang dijadikan landasan bagi
semua terjemahan alkitab modern kita[7].
Apa
yang pemakalah uraikan di atas menggambarkan betapa pentingnya media tulis yang
digunakan oleh generasi-genarasi manusia. Alat dan bahan yang digunakan dapat
menjadi bukti dan dapat menjadi informasi kapan teks ditulis sehingga kita
dapat melacak berbagai tautan informasi lainnya seperti kaum yang hidup pada
masa teks ditulis, peradabannya seperti apa, siapa yang berpengaruh, dan lain
sebagainya.
C. Alat
dan Bahan untuk Menulis[8]
Masa klasik
Di dunia Arab, orang biasa menulis
dengan menggunakan kulit, kalau tidak perkamen. Sejumlah tulisan di atas kulit
sejak zaman Mesir kuno masih terselamatkan. Di Arab, di mana industry kulit
telah ada sejak lama dan dikembangkan dalam perdagangan ekspor. Kulit digunakan
sebagai alat tulis. Pengolahan kulit secara khusus akan menghasilkan perkamen
yang lebih tipis dan lebih kuat, yang mungkin digunakan oleh bangsa Persia dan
kemudian di Barat pada abad kedua sebelum masehi. Jelas bahwa bahan ini dikenal
oleh bangsa Arab sebelum hadirnya Nabi Muhammad saw karena begitu banyak contoh
yang diberikan oleh para penyair.
Perkamen banyak digunakan untuk menulis
al-Qur’an, seperti yang terlihat dalam al-Qur’an yang masih terselamatkan sejak
abad ketujuh sampai abad ke sepuluh, demikian juga untuk buku-buku lainnya.
Akan tetapi manuskrip berbahasa Arab yang ditulis di atas perkamen jarang
ditemukan. Alasan mengapa perkamen tak banyak digunakan untuk buku-buku Islam
adalah karena harganya yang mahal, sehingga orang harus menjatuhkan pilihannya
pada bahan yang lebih murah. Pada masa itu yang dipilih adalah lontar. Ada
bukti-bukti bahwa penggunaan lontar telah dikenal di Arab pada zaman nabi
karena keterangan dalam al-Qur’an bahwa wahyu-wahyu yang diterima Nabi Musa
ditulis di atas bahan ini, dank arena Allah berfirman bahwa walaupun dia
mengirimkan kitab yang dibuat dari lontar untuk dijadikan pegangan, umatnya
(Musa) akan tetap menolak kebenaran wahyu tersebut (Qs. 6: 7,91). Harus diakui
adanya unsure ketidakpastian dalam hal ini, karna kata yang digunakan (qirtas)
yang secara umum berarti lontar, sesekali juga digunakan untuk menyebut
perkamen.
Baru setelah mesir ditaklukkan oleh
islam, lontar menjadi bahan yang lazim digunakan dalam kegiatan sehari-hari oleh
orang-orang yang menulis dengan bahasa Arab. Lontar, sejak dulu merupakan
monopoli mesir, karena tumbuhan yang banyak manfaatnya itu tumbuh di sepanjang
tepi sungai Nil. Bangsa Arab menyebut tanaman lontar “bardi”; istilah fafir dan
babir, yang merupakan Arabisasi dari istilah bahasa Mesir-Yunani Papyros juga
dijumpai. Lembaran-lembaran itu diproduksi di sejumlah bengkel kerja dan
diekspor dalam jumlah besar. Lembar-lembar lontar itu digunakan di istana
khalifah Bani Umayyah di Damaskus (658-750) maupun di sitana Khalifah Abbasiyah
di Bagdad (750).
Pada Dinasti Abbasiyah,
ketertaikan pada lontar terlihat dalam upayanya menciptakan industry lontar di
Irak. Orang yang bertanggung jawab atas hal ini adalah Khalifah Al-mu’tasim,
yang mendirikan istana baru di Samarra
yang kemudian menjadi pusat pemerintahan selama bertahun-tahun (836-878).
D. Perkembangan
Selanjutnya[9]
Hingga
awal abad ke 3 hijriah, bahan yang umum digunakan untuk menulis adalah kain
perca dan papyrus. Dokumen-dokumen resmi yang ditulis di atas kain perca dan
disimpan ketika terjadi perang sipil antara al-Amin dan al-Ma’mun, dicuci
bersih kemudian dijual lagi. Kertas cina mulai masuk ke Irak pada abad ke 3
Hijriah. Segera setelah itu industry kertas tumbuh menjamur. Industry itu
pertama kali muncul di Samarkand. Beberapa orang tawanan Cina pada 751
memperkenalkan seni pembuatan kertas dari flax, linen, atau kain rami. Kata
kuno bahasa Arab untuk kertas adalah kaghad, kemungkinan berasal dari bahasa
Cina, dan kemudian diserap oleh bahasa Persia, lalu diserap ke dalam bahasa
Arab. Dari Samarkand, industry itu menyebar ke Irak. Pada masa pemerintahan
al-Fadl ibn Yahya al-Barmaki, yang pernah menjadi gubernur Khurasan pada 794,
pabrik pertama berdiri di Bagdad. Saudaranya, Ja’far, menteri pada khalifah
Harun mengganti penggunaan kain perca dengan kertas untuk menuliskan
dokumen-dokumen resmi negara. Kota-kota muslim yang laian membangun
pabrik-pabrik kertas mengikuti rancangan pabrik yang berada di Samarkand.
Sebuah pabrik dibangun di Tihamah untuk membuat kertas dari serat tumbuhan.
Pada masa al-Maqdisi, kertas produksi Samarkand masih dianggap sebagai kertas
yang terbaik kualitasnya. Tetapi pada abad berikutnya, abad kesebelas,
kertas-kertas dengan kualitas yang sangat bagus juga diproduksi di kota-kota
Suriah dan di Tripoli. Dari daratan Asia Tengah, industry itu mulai menyebar
hingga ke Delta Mesir sejak akhir abad ke Sembilan.
Beberapa
kota di sana dalam jangka waktu yang cukup lama selalu mengekspor papyrus dari
negara-negara berbahasa Yunani untuk media menulis. Produk ekspor itu mereka
sebut qarathis. Pada akhir abad ke-10 kertas menggantikan perca dan papyrus di
seluruh umat Islam. Peralihan tersebut merupakan dampak dari produksi kertas
yang semakin menyebar di seluruh penjuru dunia. Hal ini berkaitan langsung
dengan perkembangan peradaban Islam secara khusus dan perkembangan dunia secara
umum.
E. Tinta
dan alat tulis[10]
yang digunakan
Tinta
(hibr, midad) yang digunakan umumnya
tampak jernih dan segar sekalipun di atas lontar dan lembaran kertas. Ahli
filsafat dan teologi al-Gazali menyebutkan dalam suatu kesempatan bahwa tinta
dibuat dari virtol dan sejenis kacang-kacangan. Bahan yang sama masih digunakan
sampai sekarang di Eropa. Namun komposisinya dapat sangat bervariasi dan
bahan-bahan lain juga bisa ditambahkan. Sejumlah resep biasanya berasal dari
para penulis sendiri. Di Mesir abu yang berasal dari lontar yang dibakar
digunakan sebagai karbon. Kadang-kadang tintanya berwarna kecoklatan, sering
kali dengan kilapan metalik, namun warna hitam pekat adalah yang terbaik.
Di
tengah menghangat situasi politik yang berlangsung di dunia Islam, kerap
diperlukan penulisan pesan rahasia, namun sejauh yang menyangkut buku, metode
semacam ini sebenarnya hanya sedikit atau bahkan tak ada manfaatnya.
Alat
tulis yang digunakan adalah pena yang terbuat dari batang sejenis pohon
bambu (Qalam), seperti yang dipergunakan oleh orang-orang Mediterania
sebelum Islam. Pena tersebut dipotong dari ranting sejenis pohonm bambu yang
tumbuh berlimpahterutama di tepi sungai Nil dan juga Irak serta tempat-tempat
lain. ranting pohon ini harus dipotong dengan pisau yang tajam dan dalam jumlah
yang banyak karena cara pengerjaannya yang penuh kehati-hatian. Ranting ini
harus yang keras, tidak terlalu tipis tidak juga terlalu tebal. Yang terbaik
adalah yang berwarna kecoklatan setelah direndam di dalam air selama beberapa
waktu. Ranting tersebut tidak boleh dipotong pada pertemuannya dengan dahan dan
tidak boleh melengkung, panjangnya kira-kira sejengkal. Salah satu ujungnya
harus ditajamkan menyerong kemudian dilubangi tetapi tidak terlalu dalam.
Bagian sampingnya harus dipotong sehingga berbentuk lancip dan dari tempat yang
lancip itu dibuat suatu sayatan kea rah dalam sepanjang permukaan bagian
tengah. Bagian yang lancip tadi harus dipotong secara hati-hati dengan pisau
yang tajam (yang tidak boleh digunakan untuk keperluanm lain) dengan arah ke
bawah di atas sepotong tulang atauy benda-benda lain yang mirip (miqatta).
Potongan ini agak berbeda antara satu dengan lainnya tergantung pada jenis
tulisan yang akan dibuat dengan pena ini. ada pula aturan yang pasti untuk
menentukan apakah seorang penulis menggunakan sebelah kanan atau kiri dari pena
tersebut, sebelah atau bawah dari bagian pena yang lancip atau seluruh bagian
lebarnya.
Pena
merupakan alat terpenting di antrara alat tulis lain, sehingga menjadi symbol
kelompok juru tulis secara keseluruhan, terutama para petugas di kantor-kantor
pemerintahan yang juga sangat erat hubungannya dengan lingkungan kesusastraan.
Mereka disebut ‘ahli pena’, seperti halnya kelompok militer yang disebut ‘ahli
pedang’.
Pena
menjadi lambang segala ilmu yang baik, yang dikaruniakan Allah kepada manusia
melalui al-Qur’an, yang menjadikan Muhammad saw penuh dengan keajaiban. Ayat
pertama (al-‘Alaq ayat 1-5)[11] dan juga ditekankan pada surat Nun[12] yang
dimulai dengan sumpah “Demi pena dan apa yang ditulisnya” yang turun kepada
Nabi saw merupkan bukti normative atas lambang pena yang agung ini. Banyak
orang non muslim maupun muslim sendiri merasa aneh dengan wahyu pertama ini.
Keanehan yang meminta perhatian para ahli filsafat (filosuf), para pemikir di
dunia, para ahli sejarah agama dan kehidupan ilmiah, adalah penyebutan “qalam”
(pena) pada wahyu yang pertama ini. Padahal wahyu tersebut diturunkan kepada
seorang ummi (tidak bisa baca tulis), yang diutus untuk kaum yang ummi
pula. Suatu kaum yang hidup di negeri yang di sana sulit ditemukan qalam
(pena). Sementara jumlah para penulis (mereka sekaligus merupakan para
pelajar) juga tidak banyak. Inilah rahasia munculnya gerakan ilmiah dan
kepengarangan secara internasional, yang tidak akan ada tandingannya dalam sejarah
agama-agama dan bangsa-bangsa. Itulah maksud dari ayat: “yang mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.”[13].
Dalam wahyu ini ada dorongan untuk meluaskan cakrawala keilmuan, menutup
kebodohan, mendekatkan kepada perkembangan yang baru, dan menghilangkan
pengingkaran terhadap fakta-fakta ilmiah yang kuat yang tidak tertutupi dalam
realitas masa lalu.[14]
F. Kesimpulan
Sejarah perkembangan peradaban Islam
diakui atau tidak merupakan buah hasil dari kegiatan tulis menulis yang
dilakukan secara intens dan mendalam. Hasil tulis menulis ini adalah factor
keberhasilan peradaban bangsa. Alat dan bahan untuk menulis bisa menjadi bukti
atas semua gerakan tulis menulis tersebut. alat dan bahan tulispun serta merta
menjadi penentu lain atas pertumbuhan dan perkembangan peradaban generasi ke
generasi yang lain. karna seiring dengan berkembangnya kegiatan tulis menulis,
maka alat dan bahan tulis menulispun berkembang, sehingga secara sadar kita
akan mengatakan bahwa kegiatan tulis menulis atau kepengarangan tidak pernah
terlepas dari alat dan bahan untuk menulis tersebut. kajian secara
berkelnajutan terhadap alat dan bahan tulis ini merupakan hal penting karena
bisa menentukan aspek-aspek kehidupan yang terjadi di dunia ini.
Referensi
Abul
Hasan ‘Ali al-Hasani, an-. Nadwi,. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi
Muhammad Saw. (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2001).
Sulistyo-Basuki,
Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakrta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Philip K. Hitty,
History of the Arabs: Rujukan Induk dan
paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2002).
www.wikipedia.com, diunduh pada
18/01/2013.
Michael Wise,
Martin Abegg Jr., dan Edward Cook, Naskah
Laut mati, terj. F.X. Dono Sunardi, (Jakrta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2008).
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan
sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996).
Q.S. Nuun (68):
1.
Q.S. al-‘Alaq
(96): 1-5.
[1] Adalah Mahasiswa Jurusan
Interdiciplinary Islamic Studies konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakrta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 20.
[3] Philip K. Hitty, History of the Arabs: Rujukan Induk dan
paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2002(, hlm. 522.
[4] Sulistyo-Basuki, Pengantar…hlm. 19.
[6] Michael Wise, Martin Abegg Jr.,
dan Edward Cook, Naskah Laut mati,
terj. F.X. Dono Sunardi, (Jakrta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 14.
[7] Ibid. hlm. 20, 26.
[8] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan
sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 78-83.
[9] Sumber informasi pemakalah ambil
dalam Philip K. hitti, History of the
Arab…hlm. 522-523.
[10] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam…hlm. 95-98.
[11] Terjemahan isi dari surat tersebut adalah; 1.
Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan 2. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah 3. Bacalah dan Tuhan-mulah yang paling pemurah 4.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena 5. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya
[12] Q.S. Nuun (68): 1.
[13] Q.S. al-‘Alaq (96): 5.
[14] Abul Hasan ‘Ali
al-Hasani, an-. Nadwi,. Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad Saw.
(Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2001) hlm. 121.