Jumat, 09 November 2012

KOMUNIKASI DI PERPUSTAKAAN: UPAYA MEMBANGUN RELASI IDEAL ANTARA PUSTAKAWAN DAN PEMUSTAKA




KOMUNIKASI DI PERPUSTAKAAN: UPAYA MEMBANGUN RELASI IDEAL ANTARA PUSTAKAWAN DAN PEMUSTAKA
Oleh: Rohana, SIP[1]
A.  Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari hubungan, kepentingan, atau bantuan manusia lainnya sangatlah membutuhkan komunikasi di dalam setiap aktifitas kehidupannya. Karena komunikasi, seperti halnya kebutuhan akan relasi dengan manusia yang lain merupakan kebutuhan dasar[2] yang hampir setiap orang merasakannya. Tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan komunikasi. Ia merupakan penghubung maksud dari kehendak manusia ke manusia lain sehingga terbina relasi yang dimaksud baik itu dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, di sekolah, di kampus, di perpustakaan, di masyarakat, dan bahkan di dalam berbangsa dan bernegara.
Semua studi tentang manusia dan kehidupannya, selalu berhubungan dengan komunikasi. Banyak ahli yang membahas bidang sosial yang selalu menyentuh bidang komunikasi, baik ia ditempatkan sebagai pusat kajian maupun hanya sebagai salah satu aspek atau sudut pandang saja. Artinya, hampir semua kajian sosial selalu melibatkan komunikasi sebagai salah satu komponennya. Misalnya, komunikasi di bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan, komunikasi dakwah, kepustakaan, perpustakaan dan informasi, manajemen, hukum, antropologi, sosiologi, psikologi, dan semua bidang ilmu lainnya[3].
Dalam konteks perpustakaan, komunikasi adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan, karena perpustakaan berhubungan dengan informasi yang akan digunakan pemustaka untuk kepentingan-kepentingan  terkait perannya sebagai makhluk sosial. Informasi yang disampaikan maupun yang diterima oleh elemen-elemen yang terkait dengan perpustakaan tentu membutuhkan komunikasi yang efektif agar setiap informasi yang ada maupun yang dibutuhkan di perpustakaan dapat tersampaikan dan dapat diterima dengan baik. Di sinilah letak urgensi komunikasi sebagai penghubung antara pustakawan dengan pemustaka untuk membangun relasi ideal yang nantinya menghapus jurang pemisah (seperti yang masih sering terjadi sampai saat ini) antara pustakawan dengan pemustaka. Bagaimanapun juga, peran pustakawan dalam menyampaikan setiap informasi yang ada dan yang dibutuhkan pemustaka sangatlah signifikan.
Bangunan relasi ideal inilah yang penulis harapkan dapat menjembatani pesan, informasi, atau kehendak pemustaka dalam memanfaatkan perpustakaan dengan pustakawan lewat apa yang sering dikaji pada studi-studi sosial yang tidak lain adalah  komunikasi.
B.  Pengertian Perpustakaan
            Secara umum definisi perpustakaan selalu mencakup unsur koleksi, penyimpanan, dan pemakai. Perpustakaan dikembangkan dengan tujuan mendayagunakan koleksinya untuk kepentingan pembaca dan bukan untuk dijual. Hal inilah kemudian yang membedakannya dengan toko buku. Kalau perpustakaan menyediakan koleksi untuk pembaca tanpa mencari untung, maka toko buku menyediakan koleksi (seperti buku) untuk dijual dan tentu mencari untung[4]. Dengan demikian antara perpustakaan dan toko buku jauh berbeda. Dan hal tersebut terjadi karena orientasi yang ingin tertuju yang menyangkut pemakai. Karena perpustakaan mendayagunakan koleksinya untuk kepentingan pembaca atau pemustaka, maka perpustakaan tak urung memberikan pelayanan yang terbaik agar pemustakanya bisa mendapatkan informasi yang dikehendakinya.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pelayanan yang memungkinkan akan berhasil dan dapat sampai pada kepuasan pemustaka dalam mendapati informasi melibatkan pustakawan yang pandai dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan pemustaka agar setiap fungsi perpustakaan baik itu pendidikan, penelitian, informasi, penyimpanan, rekreasi, kultural, dan sebagainya dapat terwujud. Komunikasi kemudian menjadi bagian penting dalam mewujudkan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemustaka, baik itu komunikasi langsung maupun melalui media. Bangunan komunikasi yang baik memungkinkan proses dan relasi yang baik pula di antara perpustakaan, pustakawan, dan pemustaka. Proses yang berkelindan antara elemen-elemen tersebut akan menghasilkan relasi sesuai dengan komunikasi yang berjalan. Maka komunikasi dalam perpustakaan merupakan keniscayaan.
C.  Pengertian Komunikasi
Sebelum mengarah kepada pembahasan komunikasi di perpustakaan dan bagaimana ia membangun relasi ideal antara pustakawan dan pemustaka, maka baiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan komunikasi itu sendiri.
Menurut Louis Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan, dalam Muhammad[5] bahwa “communication is the precess by which a system is establshed, maintained, and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didiikan, dipelihara, dan diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses. Kata signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan non verbal yang mempunyai aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang diterimanya. Misalnya setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa lisan, tulisan, maupun bahasa isyarat.
Lebih lengkap lagi adalah definisi yang diberikan oleh C.H. Cooley di dalam tulisannya yang berjudul The Significance of Communication (dalam buku Reader In Public Opinion And Communication di susun oleh Berelson and Janowitz) yang penulis kutip dari Ton Kertapati[6] adalah:
“Dengan komunikasi adalah dimaksud, mekanisme melalui mana, hubungan-hubungan manusia terjadi dan berkembang. Segala lambang pikiran beserta dengan alat-alat penyampaiannya dan cara menjaganya melalui ruang dan waktu. Ia meliputi ekspresi muka, sikap dan gestura, nada suara, kata-kata, tulisan, lukisan, kereta api, telegrap, telepon, dan segala apa yang dapat disebut sebagai hasil usaha menaklukkan ruang dan waktu”.
Definisi-definisi di atas merupakan bentuk aktifitas manusia yang sering terjadi dalam hubungannya dengan sesama manusia yang kemudian disebut komunikasi. Di perpustakaan hal ini merupakan aktifitas sehari-hari yang dapat dilihat melalui pelayanan-pelayanan informasi (pesan) yang diberikn pustakawan (komunikator) kepada pemustaka perpustakaan (komunikan) melalui berbagai media seperti bahasa lisan, tulisan, alat-alat, gambar, dan sebagainya. Aktifitas yang terjadi antara pustakawan dan pemustaka dalam menyampaikan, melayani, dan menerima informasi merupakan sebagian dari unsur-unsur/elemen-elemen dasar dalam komunikasi.
D.  Prinsip Komunikasi
1.    Komunikasi adalah suatu proses
            Dalam buku komunikasi organisasinya Arni Muhammad[7] dijelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri kegiatan yang terus menerus, yang tidak mempunyai permualaan atau akhir dan selalu berubah-ubah. Komunikasi juga bukanlah suatu barang yang dapat ditangkap dengan tangan untuk diteliti. Maka komunikasi sebenarnya adalah sesuatu yang abstrak, yang di dalamnya memberi nilai yang dapat dimaknai tanpa muncul atau menghasilkan dalam bentuk yang kongkrit.
            Di dalam perpustakaan komunikasi terlihat juga sebagai proses yang terus menerus, mempengaruhi setiap elemen dalam sebuah lembaga bernama perpustakaan. Karena sifatnya yang terus menerus dan merupakan sebuah proses, maka komunikasi menjadi bersifat dinamis, bergantung pada tempat, waktu, dan kondisi di mana komunikasi itu berjalan.
            Lebih lanjut muhammad menjelaskan bahwa komunikasi juga melibatkan suatu variasi saling berhubungan yang kompleks yang tidak pernah ada duplikat dalam cara yang persis sama yaitu: saling hubungan di antara orang, lingkungan, keterampilan, sikap, status, pengalaman, dan perasaan, semuanya menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu waktu tertentu.
            Bila dilihat sepintas lalu suatu komunikasi mungkin tidak berarti, tetapi bila dipandang sebagai suatu proses, maka kepentingannya sangat besar. Misalnya, suatu komunikasi yang hanya terdiri dari satu perkataan akan dapat memperlihatkan suatu perubahan. Perubahan itu mungkin terjadi langsung atau tidak langsung, tetapi semua itu terjadi sebagai hasil dari proses komunikasi.
            Dalam konteks di perpustakaan, komunikasi pun mengambil andil yang sangat besar dalam menentukan perubahan baik itu perubahan terhadap pemustaka, pustakawan, atau lembaga itu sendiri secara umum. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah sedang memperhatikan pustakawan yang mengerkajan suatu pekerjaan. Tiba-tiba kepala sekolah tersebut mengucapkan kata salah, maka pustakawan yang sedang bekerja tersebut menghentikan pekerjaanya dan mungkin bertanya di mana letak kesalahannya. Atau kalau pustakawan tersebut tahu di mana letak kesalahannya, dia langsung memperbaiki pekerjaannya pada saat diperhatikan tersebut. Atau mungkin saja ia akan mempertanyakan dirinya sendiri apa pengaruh kesalahan itu terhadap yang laian jika tidak diperbaiki yang akhirnya membentuk perubahan sikapnya.
            Jadi komunikasi tersebut di samping berubah-ubah juga dapat menimbulkan perubahan.
2.    Komunikasi adalah sistem
            Komunikasi sebagai suatu sistem maksudnya adalah komunikasi itu terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan. Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Bila terdapat gangguan dalam sebuah komponen tersebut, maka akan mempengaruhi pula proses komunikasi secara keseluruhan.
3.    Komunikasi bersifat intraksi dan transaksi
Intraksi merupakan saling tukar menukar informasi. Misalnya seseorang berbicara kepada temannya mengenai sesuatu, kemudian temannya yang mendengar memberikan reaksi atau komentar terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Begitu selanjutnya berlangsung secara teratur ibarat orang yang bermain melempar bola.
Dalam kehidupan sehari-hari, dan tentu di perpustakaan juga, banyak komunikasi yang kita lakukan tidak seteratur itu prosesnya seperti contoh di atas. Banyak dalam percakapan tatap muka kita terlibat dalam proses pengiriman pesan secara simultan tidak terpisah seperti pada contoh di atas. Dalam keadaan demikian komunikasi tersebut bersifat transaksi. Sambil menyandikan pesan kita juga menginterpretasikan pesan yang kita terima. Misalnya dalam situasi pendidikan pemakai di perpustakaan antara pustakwan dan pemustaka seringkali memperlihatkan komunikasi transaksi ini. Sambil pustakawan menjelaskan pengetahuan tentang perpustakaan dan cara pemanfaatannya pemustakapun menyampaikan pesan kepada pustakawan dalam bermacam-macam bentuk.
4.    Komunikasi dapat terjadi disengaja atau tidak disengaja
            Di dunia ini sesuatu dapat terjadi baik disengaja atau tidak disengaja, tak luput masalah komunikasi. komunikasi yang disengaja terjadi apabila pesan yang mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima yang dimaksudkan. Komunikasi ideal adalah pesan yang ingin disampaikan kepada yang dikehendaki. Namun di sini tak berarti efektif, karena keefektifan komunikasi akan dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tertentu yang sifatnya berubah-ubah dan dinamis.
            Komunikasi tidak disengaja juga dapat terjadi. Misalnya: dalam situasi kelas yang hening tiba-tiba seorang murid berdiri maju ke depan mengambil kapur untuk mengisap tinta penanya. Gerakan murid yang tidak disengaja sebagai pesan itu diterima murid-murid lainnya sebagai pesan karena tiba-tiba temannya yang lain memperhatikan geraknya yang menimbulkan  bermacam-macam interpretasi bagi mereka.
E.   Proses Komunikasi di Perpustakaan
Dapat dipastikan bahwa di dalam aktivitas perpustakaan mutlak harus ada proses atau kegiatan komunikasi. Kegiatan komunikasi yang berlangsung di perpustakan dapat dilihat dari adanya kontak dan hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara pustakawan dan pengguna perpustakaan, adanya pesan yang disampaikan dan diterima, dan adanya efek yang terjadi akibat diterimanya pesan melalui komunikasi tersebut. Aktivitas pelayanan informasi antara pustakawan dan pemustaka adalah salah satu bentuk kegiatan komunikasi di perpustakaan.
TEORI LASSWELL
Untuk menjelaskan mengenai proses komunikasi di perpustakaan, dapat diterapkan model yang diberikan oleh Harold D. Lasswell. Model komunikasi ini merupakan model yang sudah tua tetapi masih digunakan orang untuk tujuan tertentu. Ia adalah seorang ahli ilmu politik dari Yale university. Ia menggunakan lima pertanyaan yang perlu ditanyan dan dijawab dalam melihat proses komunikasi, yaitu who (siapa), says what (mengatakan apa), in which medium atau dalam media apa, to whom atau kepada siapa, dan dengan what effect atau apa efeknya[8].
Dalam proses komunikasi di perpustakaan yang bertindak sebagai pembicara adalah pustakawan, yaitu yang bertindak menyampaikan pesan-pesan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pesan yang disampaikan oleh pustakawan tersebut berupa informasi mengenai berbagai ilmu pengetahuan dan informasi lainnya. Media yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut adalah segala koleksi perpustakaan, baik dalam bentuk tercetak seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya, maupun dalam bentuk media elektronik seperti komputer, film, slide, mikrofis, rekaman suara, dan koleksi audio visual lainnya. Audien yang menjadi sasaran informasi adalah masyarakat pengguna perpustakaan. Adapun efek yang ingin dicapai oleh komunikator dengan pemberian informasi tersebut adalah agar pengetahuan, sikap, maupun prilaku audien (komunikan) yang dalam hal ini adalah pengguna dapat berubah.          
F.   Komponen-komponen Dasar dalam Komunikasi di Perpustakaan
Dalam buku Arni Muhammad “Komunikasi Organisasi” ia mengutarakan beberapa unsur (komponen) dasar dalam komunikasi[9]. Menurutnya, karena komunikasi merupakan proses dua arah atau timbal balik, maka komponen balikan perlu ada dalam proses komunikasi. Dengan demikian, komponen dasar komunikasi ada lima yaitu: pengirim pesan, pesan, saluran, penerima pesan, dan balikan. Masing-masing komponen tersebut akan dijelaskan kembali dan penulis menganalisa unsur tersebut untuk digunakan dalam komunikasi di perpustakaan.
1.      Pengirim pesan/komunikator (Pustakawan)
Pengirim pesan adalah individu atau seseorang yang mengirim pesan. Dalam konteks perpustakaan yang menjadi pengirim pesan/komunikator adalah pustakawan.
Dalam perpustakaan, informasi yang ada dan yang dibutuhkan pengguna wajib dilayankan secara maksimal demi terpenuhinya kebutuhan pengguna. Pada proeses ini, peran pustakawan sebagai koumunikor sangat penting agar setiap informasi dapat diterima oleh pengguna secara efektif, efisien, dan tepat guna. Karena sesungguhnya yang lebih banyak berperan dalam intraksi langsung maupun tidak langsung di perpustakaan adalah pustakawan. Inilah yang kemudian membentuk relasi (baik disadari atau tidak disadari) antara pustakawan dan pengguna yang apabila tidak terjalin dengan ideal (sesuai aturan, harapan, dan kebutuhan) maka akan terjadi miss understanding (kesalahpahaman) antara pustakawan dan pengguna. Apabila hal ini terjadi, maka secara otomatis pesan atau informasi yang ingin disampaikan atau yang ingin didapatkan melalui komunikasi ini tidak dapat diterima.
2.      Pesan (Informasi)
Pesan adalah informasi yang akan dikirimkan kepada si penerima. Pesan ini dapat berupa verbal maupun nonverbal. Pesan secara verbal dapat secara tertulis seperti surat, buku, majalah, memo, dan sebagainya. sedangkan pesan yang secara lisan dapat berupa percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, radio, email, chatt, dan sebagainya. pesan yang nonverbal dapat berupa isyarat, gerakan badan, ekspresi muka, dan nada suara.
Semua bentuk pesan di atas baik yang verbal maupun nonverbal dapat menjadi informasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Informasi yang dibutuhkan pengguna perpustakaan diharapkan mampu diserap melalui pengirim informasi (pustakawan). pustakawan harus mampu mengirim pesan tersebut melalui cara-cara yang dapat dimengerti pengguna sehingga tidak terjadi penghapusan informasi secara sepihak.
Efektifitas penyampaian pesan menyangkut bagaimana suatu pesan disajikan. Secara ringkas ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian pesan, yaitu cara penyajian pesan dan struktur penyampaian pesan.
Cara penyajian pesan di perpustakaan lebih mengacu pada pemanfaatan lambang komunikasi, baik verbal maupun non verbal pada saat kita berkomunikasi. Cara penyajian pesan yang dilakukan oleh pustakawan yaitu dengan melakukan pemberian informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Misalnya ada pemustaka bertanya,”Buku tentang pembinaan minat baca di mana pak/Bu?”. Seorang pustakawan harus menjawab dengan kata-kata halus dan ekspresi yang ramah. Cara penyajian pesan lebih lanjut menyangkut bagaimana seorang pustakawan dapat memanfaatkan lambang-lambang komunikasi verbal dan non verbal yang digunakan oleh pustakawan, serta membubuhkan kadar emosi ke dalamnya. Di sini seorang pustakawan harus mampu menentukan keberhasilan komunikasi dengan cara melakukan kecerdasan emosional[10].
Pada struktur penyampaian pesan, seorang pustakawan harus mampu menyusun struktur penyajian pesan yang akan disampaikan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan pemakai. Seorang pustakawan harus mampu menyampaikan tataran-tataran informasi yang disampaikan sesuai dengan urutan-urutannya, jangan sampai acak dan lari dari topik. Hal ini bisa mengaburkan dan bahkan menghilangkan isi dari pesan yang disampaikan.
3.      Saluran/media
Saluran adalah jalan yang dilalui pesan dari si pengirim dengan si penerima. Channel yang biasa dalam komunikasi adalah gelombang cahaya dan suara yang dapat dilihat dan didengar. Dalam bahasa lainnnya adalah alat yang digunakan oleh pengirim pesan untuk menyampaikan pesan tersebut kepada si penerima. Dalam dunia perpustakaan, pustakawan bisa menyampaikan pesan informasi tersebut berupa buku-buku, internet, majalah, radio, film, CD, VCD, dan lain-lain. Akan tetapi saluran pokoknya adalah gelombang suara dan cahaya.
4.      Penerima pesan (komunikan) – (pengguna Perpustakaan/pemustaka)
Penerima pesan adalah yang menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya. Dalam konteks perpustakaan, pustakawan sebagai komunikator atau pengirim pesan perlu memperhatikan siapa audience atau penerima pesan yang dihadapi. Hal ini perlu, karena penerima pesan ini berbeda dalam banyak hal misalnya, pengalamannya, kebudayaanya, pengetahuannya, usianya, dan keadaan fisiknya. Pustakawan tentu tidak akan sama memperlakukan pengguna anak kecil dan dewasa, atau kepada pemustaka yang secara fisik tidak memiliki cacat dengan pemustaka yang memiliki cacat seperti difabel. Jadi, dalam komunikasi di perpustakaan, pustakawan perlu dan bahkan wajib memperhatikan siapa yang diajak komunikasi. hal ini akan terkait dengan simbol-simbol yang digunakan ataupun ekspresi-ekspresi yang dipakai dalam komunikasi tersebut. Idealnya, pustakawan itu harus mampu menyesuaikan simbol-simbol yang digunakan sesuai latarbelakang pemustaka.
5.      Balikan/efek
Balikan adalah respons terhadap pesan yang diterima yang dikirimkan kepada si pengirim pesan. Dengan diberikannya reaksi ini kepada si pengirim, pengirim akan dapat mengetahui apakah pesan yang dikirimkan tersebut diinterpretasikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim. Bila arti pesan yang dimaksudkan oleh si pengirim diinterpretasikan sama oleh si penerima berarti komunikasi efektif.
Seringkali dalam konteks komunikasi di perpustakaan, respons yang diberikan tidak seperti yang diharapkan. Misalnya, setelah melakukan pendidikan pemakai, pengguna ternyata masih banyak yang salah dalam cara menggunakan OPAC, atau pemustaka bingung mana buku-buku yang boleh dipinjam dan mana buku yang hanya boleh dibaca di tempat.  Hal ini bisa jadi disebabkan oleh adanya faktor-faktor dalam diri si penerima, bisa pula faktor si pengirim (komunikator), dan bisa pula faktor alat seperti system otomasi yang error, lambat, dan salah tempat.
Di sinilah letak pentingnya membangun relasi yang ideal untuk segera mengurangi (kalau bisa menghapus) segala bentuk kesalahan atau kesalahpahaman pustakawan dan pemustaka lewat komunikasi yang baik dan efektif.
Di atas telah dijelaskan unsur-unsur komunikasi dengan harapan unsur-unsur tersebut dapat menjadi pijakan dalam membangun komunikasi efektif di perpustakaan demi terwujudnya relasi ideal di antara keduanya.
G.  Membangun Relasi Ideal Antara Pustakawan dan Pemustaka
Perpustakaan merupakan ruang di mana pengolahan, penyimpanan, penyediaan, penemuan kembali informasi dilakukan secara teratur dan sistematis[11]. Dan perkembangan selanjutnya, perpustakaan bukan hanya ruang tempat segala aktivitas tersebut ada, melainkan tempat di mana perubahan-perubahan yang ingin dicapai dalam masyarakat bisa digerakaan dengan perpustakaan. Perpustakaan yang cukup besar dan baik selalu memiliki bagian yang bertanggungjawab terhadap pelayanan informasi, bahkan bagian ini sering dijadikan bagian formal yang masuk ke dalam struktur organisasinya.
Eastabrook (1997) dalam Pawit M. Yusup[12] menggambarkan model pelayanan informasi ini dengan mengibaratkan bahwa pustakawan diibaratkan sebagai operator telepon yang setiap saat bertugas menghubungkan antara sumber-sumber informasi dengan pemanggilnya atau pengguna. Sedangkan masyarakat pengguna diibaratkan sebagai pemanggil yang mencoba memperoleh kemungkinan terbaik yang dihubungkan dengan lingkungan item informasi secara khusus.  Papan tombol (swichboard) pustakawan adalah tombol-tombol, garis-garis, dan stop kontak, yang mewakili pilihan-pilihan yang harus dibuat dalam rangka menyediakan informasi yang bernilai.
Namun jangan lupa, itu hanya ibarat yang fungsinya hanya untuk bahan penjelasan. Tugas pustakawan tidak sama dengan tugas operator telepon. Operator telepon kegiatannya pasif, sedangkan pustakawan tidak hanya pasif, karena bekerjanya atas dasar permintaan, namun juga aktif, yakni mencari dan berusaha menemukan informasi yang bermanfaat, kemudian dilayankan kepada anggota atau pengguna yang membutuhkan.
Fungsi pustakawan sebagai penyambung informasi ke pemustaka, yang dalam hal ini pustakawan aktif melakukan kegiatan komunikasi sehari-hari dan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemustaka, dituntut untuk membangun relasi ideal sebagai upaya menjembatani informasi tersebut guna diterima dengan tepat dan cepat.
Relasi inilah yang kemudian diharapkan mampu menciptakan segala aktifitas di perpustakaan dapat berjalan lancar, nyaman, dan tepat sasaran. Karena bagaimanapun, ketika relasi pustakawan dan pemustaka tidak baik, maka salah satu sistem di perpustakaan menjadi macet, hal ini mengakibatkan sistem-sistem yang lain juga macet dan bahkan rusak. Antara pustakawan dan pemustaka merupakan satu kesatuan elemen yang tidak bisa terpisah satu sama lain. Ia merupakan elemen yang terus berjalan seiring berjalannnya sistem yang ada di perpustakaan.
Agar proses relasi ideal pustakawan dan pemustaka dapat dibangun, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1.      Antara pemustaka dan pustakawan saling mengenal
Pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Sekilasnya pernyataan ini sederhana, namun maksud dan nilai yang terkandung di dalamnya tidaklah sederhana. Orang yang sudah kenal, tidaklah sama proses komunikasi—intraksi dan relasinya—dengan orang yang belum saling kenal. Karenanya, untuk dapat berkomunikasi dengan lancar dan baik, pustakawan dan pemustaka harus sudah saling kenal mengenal. Proses ini bisa dilakukan di mana-mana seperti waktu sosialasasi perpustakaan atau sewaktu ada kegiatan pendidikan pemakai, pada waktu seminar, pelatihan perpustakaan, atau pada saat intraksi berlangsung sehari-hari.
Proses saling kenal mengenal yang dimaksud di sini adalah proses secara substantif. Artinya pengenalan tersebut tak lantas menjadikan pustakawan harus mengetahui dan menghafal semua nama pemustaka atau pemustaka harus menghafal semua nama pustakawan, melainkan bagaimana pemustaka mengenal pustakawan secara fungsional dan pustakawan mengenal pemustakanya sebagai bagian dari elemen perpustakaan yang penting.
Salah satu cara yang efektif dalam kegiatan pengenalan ini adalah menampilkan identitas, khususnya bagi pustakawan. Biasanya identitas pustakawan menampilkan nama dan bidang kerjanya. Hal ini dimaksudkan agar pemustaka mengetahui kepada siapa ia harus bertanya terkait permasalahan yang ia hadapi. Misalnya, pemustaka bertanya terkait sumber rujukan mana yang harus ia gunakan dalam mencari lafal sebuah Hadis, maka dalam hal ini pemustaka bertanya ke pustakawan bagian referensi ( ke pustakawan spesialis jika ada). Begitu pula pustakawan, sebaiknya ia mengetahui apa yang ditanyakan oleh pemustaka terkait apapun permasalahan yang dihadapinya. Kiranya, di sinilah perlunya identitas pustakawan ditampilkan agar kesenjangan antara pemustaka dan informasi yang ada dapat teratasi.
 Proses kenal mengenal ini juga tidak hanya sebatas kenal karena kebutuhan informasi saja, melainkan dalam proses membangun relasi yang baik antara kedua elemen ini guna mewujudkan tujuan perpustakaan dalam membangun generasi bangsa  tercapai.
2.      Pustakawan dan pemustaka mampu merekam/peka terhadap stimulan-stimulan yang diberikan
Terkadang terjadi miss understanding (kesalahpahaman) ketika komunikasi berlangsung antara pustakawan dan pemustaka. Hal inilah yang selanjutnya memisahkan relasi yang baik antar keduanya, dan pada akhirnya kegiatan perpustakaan menjadi kurang maksimal.
Ada beberapa faktor yang harus diketahui oleh pustakawan dan pemustaka dalam berkomunikasi antara lain:
a.       Faktor-faktor budaya
Antara manusia yang satu dengan yang lainnya memiliki budaya yang berbeda-beda sesuai tempat tinggalnya. Budaya Jawa berbeda dengan budaya Lombok, budaya Lombok berbeda dengan budaya Aceh, budaya Aceh berbeda dengan budaya Batak, dan begitu seterusnya. Apabila seseorang tidak memperhatikan budaya orang lain dalam berkounikasi, bisa jadi stimulan yang diberikan pembicara atau penerima tidak sampai dan bahkan dapat disalahpahami.
Pengertian dan penerimaan akan beragamnnya kebudayaan yang satu dengan yang lain dapat membangun relasi yang baik di antara pustakawan dan pemustaka.
b.      Faktor kondisi fisik
Baik fisik yang menyangkut pustakawan, pemustaka, media yang digunakan, ini dapat menjadi faktor baik buruknya relasi antar pengguna dan pustakawan. Seperti ada pemustaka yang difabel, tidak merupakan anggota difabel, ada pemustaka atau pustakawan yang kondisi fisiknya tinggi, pendek, dan sebagainya. Hal ini perlu diperhatikan dalam membangun relasi. Kondisi fisik ini perlu diperhatikan dalam rangka menyesuaikan komunikasi yang bagaimana yang harus dipakai serta media apa yang tepat untuk keduanya. Antara pemustaka biasa dan pemustaka difabel tentu berbeda dalam menyikapinya maupun dalam menyikapi media yang diperlukan.
c.       Faktor emosional
Antara pustakawan dan pemustaka hendaknya mampu membaca situasi emosional yang terjadi, walaupun di sini pustakawan sebenarnya lebih dituntut untuk sebaik mungkin mengatur emosi sesuai kondisi pemustaka. Namun pustakawan tetaplah manusia yang dalam kehidupannya sama dengan pemustaka. Maka, dalam hal ini sebaiknya antara pustakawan dan pemustaka harus saling mengerti kondisi emosi masing-masing. Hal ini sangat mempengaruhi relasi keduanya. Ada yang bilang bahwa sukses itu tidaklah sepenuhnya bergantung pada kecerdasan intelektual, namun kecerdasan emosional juga sangat diperlukan di sana.
3.      Simbol-simbol komunikasi yang digunakan
Simbol-simbol komunikasi seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, gambar, tulisan, suara-suara atau simbol-simbol komunikasi lainnya juga sangat menentukan relasi antara pustakawan dan pemustaka. Pustakawan yang cuek, muka masam, apatis, dan galak misalnya, akan dijauhi oleh pemustaka. Hubungan atau relasi pun tidak bisa dibina dengan baik. Pemustaka yang tidak mematuhi aturan seperti menggunakan kaos oblong, sendal, berbuat keributan, mencoret-coret bahan pustaka, dan sebagainya pun dapat menjadi faktor retaknya relasi antar keduanya. Oleh sebab itu, simbol-simbol yang dipakai hendaknya harus sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat dalam sebuah organisasi perpustakaan. Ini dapat dilihat dari kode etik pustakawan atau aturan formal untuk pustakawan yang di jelaskan oleh lembaga.
H.  Penutup
Relasi ideal antara pustakawan dan pemustaka dalam kaitannya dengan keberlangsungan fungsi dan tujuan perpustakaan memang masih belum terbangun secara penuh. Masih kerap terjadi gap atau jurang pemisah antara pustakawan dan pemustaka yang menyebabkan aktivitas perpustakaan menjadi kurang maksimal. Komunikasi yang baik, sikap saling pengertian, dan sikap saling kenal mengenal antara pustakawan dan pemustaka bisa menjadi modal dasar dalam membangun relasi ideal yang diharapkan. Sehingga kedepannya, informasi baik itu dalam tercetak maupun elektronik dapat diterima dengan baik oleh pemustaka, dan begitu pula perpustakaan dapat mewujudkan fungsinya sebagai penggerak dalam merubah masyarakat Indonesia. Karena komunikasi adalah suatu proses terus menerus yang bisa berubah-ubah dan bisa mengubah (keadaan tentunya).
Daftar Pustaka
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Pawit M. Yusup, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Ton Kertatapati, Dasar-dasar Publistik dalam Perkembangannya di Indonesia menjadi Ilmu Komunikasi, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia Utama, 1993.
Murniaty, “Proses Komunikasi di Perpustakaan” (2006), dalam Http//komunikasi di perpustakaan, diunduh pada hari rabu 5/10/2011 jam 20.10.

[1] Adalah mahasiswa Pascasarjana Jurusan Interdiciplinary Islamic Study konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 1.
[3] Pawit M. Yusup, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 2.
[4] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Utama, 1993), hlm. 3.
[5] Arni Muhammad, Komunikasi…hlm. 2.
[6] Ton Kertatapati, Dasar-dasar Publistik dalam Perkembangannya di Indonesia menjadi Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm. 93.
[7] Arni Muhammad, Komunikasi…hlm. 19-22.
[8] Arni Muhammad, Komunikasi…hml. 5.
[9] Penulis lebih banyak mengacu pada buku tersebut sebagai rujukan dalam melihat komunikasi di perpustakaan.
[10] Murniaty, “Proses Komunikasi di Perpustakaan” (2006), dalam Http//komunikasi di perpustakaan, diunduh pada hari rabu 5/10/2011 jam 20.10.
[11] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu…hlm. 3.
[12] Pawit M. Yusup, Ilmu Informasi…hlm. 357-359.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar