KOMUNIKASI DI PERPUSTAKAAN: UPAYA MEMBANGUN RELASI IDEAL
ANTARA PUSTAKAWAN DAN PEMUSTAKA
Oleh: Rohana, SIP[1]
A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial yang
tidak bisa lepas dari hubungan, kepentingan, atau bantuan manusia lainnya
sangatlah membutuhkan komunikasi di dalam setiap aktifitas kehidupannya. Karena
komunikasi, seperti halnya kebutuhan akan relasi dengan manusia yang lain
merupakan kebutuhan dasar[2]
yang hampir setiap orang merasakannya. Tidak ada satu manusia pun yang tidak
membutuhkan komunikasi. Ia merupakan penghubung maksud dari kehendak manusia ke
manusia lain sehingga terbina relasi yang dimaksud baik itu dalam kehidupan
sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, di sekolah, di
kampus, di perpustakaan, di masyarakat, dan bahkan di dalam berbangsa dan
bernegara.
Semua studi tentang manusia dan
kehidupannya, selalu berhubungan dengan komunikasi. Banyak ahli yang membahas
bidang sosial yang selalu menyentuh bidang komunikasi, baik ia ditempatkan
sebagai pusat kajian maupun hanya sebagai salah satu aspek atau sudut pandang
saja. Artinya, hampir semua kajian sosial selalu melibatkan komunikasi sebagai
salah satu komponennya. Misalnya, komunikasi di bidang pendidikan, sosial
kemasyarakatan, komunikasi dakwah, kepustakaan, perpustakaan dan informasi,
manajemen, hukum, antropologi, sosiologi, psikologi, dan semua bidang ilmu
lainnya[3].
Dalam konteks perpustakaan,
komunikasi adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan, karena perpustakaan
berhubungan dengan informasi yang akan digunakan pemustaka untuk
kepentingan-kepentingan terkait perannya
sebagai makhluk sosial. Informasi yang disampaikan maupun yang diterima oleh
elemen-elemen yang terkait dengan perpustakaan tentu membutuhkan komunikasi
yang efektif agar setiap informasi yang ada maupun yang dibutuhkan di
perpustakaan dapat tersampaikan dan dapat diterima dengan baik. Di sinilah
letak urgensi komunikasi sebagai penghubung antara pustakawan dengan pemustaka
untuk membangun relasi ideal yang nantinya menghapus jurang pemisah (seperti
yang masih sering terjadi sampai saat ini) antara pustakawan dengan pemustaka.
Bagaimanapun juga, peran pustakawan dalam menyampaikan setiap informasi yang
ada dan yang dibutuhkan pemustaka sangatlah signifikan.
Bangunan relasi ideal inilah yang
penulis harapkan dapat menjembatani pesan, informasi, atau kehendak pemustaka
dalam memanfaatkan perpustakaan dengan pustakawan lewat apa yang sering dikaji
pada studi-studi sosial yang tidak lain adalah
komunikasi.
B. Pengertian
Perpustakaan
Secara umum definisi perpustakaan selalu mencakup unsur
koleksi, penyimpanan, dan pemakai. Perpustakaan dikembangkan dengan tujuan
mendayagunakan koleksinya untuk kepentingan pembaca dan bukan untuk dijual. Hal
inilah kemudian yang membedakannya dengan toko buku. Kalau perpustakaan
menyediakan koleksi untuk pembaca tanpa mencari untung, maka toko buku
menyediakan koleksi (seperti buku) untuk dijual dan tentu mencari untung[4].
Dengan demikian antara perpustakaan dan toko buku jauh berbeda. Dan hal
tersebut terjadi karena orientasi yang ingin tertuju yang menyangkut pemakai.
Karena perpustakaan mendayagunakan koleksinya untuk kepentingan pembaca atau
pemustaka, maka perpustakaan tak urung memberikan pelayanan yang terbaik agar
pemustakanya bisa mendapatkan informasi yang dikehendakinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pelayanan yang
memungkinkan akan berhasil dan dapat sampai pada kepuasan pemustaka dalam
mendapati informasi melibatkan pustakawan yang pandai dalam segala sesuatu yang
berkaitan dengan kebutuhan pemustaka agar setiap fungsi perpustakaan baik itu
pendidikan, penelitian, informasi, penyimpanan, rekreasi, kultural, dan
sebagainya dapat terwujud. Komunikasi kemudian menjadi bagian penting dalam
mewujudkan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemustaka, baik itu
komunikasi langsung maupun melalui media. Bangunan komunikasi yang baik
memungkinkan proses dan relasi yang baik pula di antara perpustakaan,
pustakawan, dan pemustaka. Proses yang berkelindan antara elemen-elemen
tersebut akan menghasilkan relasi sesuai dengan komunikasi yang berjalan. Maka
komunikasi dalam perpustakaan merupakan keniscayaan.
C. Pengertian
Komunikasi
Sebelum mengarah kepada pembahasan
komunikasi di perpustakaan dan bagaimana ia membangun relasi ideal antara
pustakawan dan pemustaka, maka baiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan
komunikasi itu sendiri.
Menurut Louis Forsdale (1981), ahli
komunikasi dan pendidikan, dalam Muhammad[5]
bahwa “communication is the precess by which a system is establshed,
maintained, and altered by means of shared signals that operate according to
rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan
tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didiikan, dipelihara, dan
diubah. Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai suatu proses. Kata
signal maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan non verbal yang mempunyai
aturan tertentu. Dengan adanya aturan ini menjadikan orang yang menerima signal
yang telah mengetahui aturannya akan dapat memahami maksud dari signal yang
diterimanya. Misalnya setiap bahasa mempunyai aturan tertentu baik bahasa
lisan, tulisan, maupun bahasa isyarat.
Lebih lengkap lagi adalah definisi
yang diberikan oleh C.H. Cooley di dalam tulisannya yang berjudul The
Significance of Communication (dalam buku Reader In Public Opinion And
Communication di susun oleh Berelson and Janowitz) yang penulis kutip dari
Ton Kertapati[6]
adalah:
“Dengan
komunikasi adalah dimaksud, mekanisme melalui mana, hubungan-hubungan manusia
terjadi dan berkembang. Segala lambang pikiran beserta dengan alat-alat
penyampaiannya dan cara menjaganya melalui ruang dan waktu. Ia meliputi
ekspresi muka, sikap dan gestura, nada suara, kata-kata, tulisan, lukisan,
kereta api, telegrap, telepon, dan segala apa yang dapat disebut sebagai hasil
usaha menaklukkan ruang dan waktu”.
Definisi-definisi di atas merupakan
bentuk aktifitas manusia yang sering terjadi dalam hubungannya dengan sesama
manusia yang kemudian disebut komunikasi. Di perpustakaan hal ini merupakan
aktifitas sehari-hari yang dapat dilihat melalui pelayanan-pelayanan informasi
(pesan) yang diberikn pustakawan (komunikator) kepada pemustaka perpustakaan
(komunikan) melalui berbagai media seperti bahasa lisan, tulisan, alat-alat,
gambar, dan sebagainya. Aktifitas yang terjadi antara pustakawan dan pemustaka
dalam menyampaikan, melayani, dan menerima informasi merupakan sebagian dari unsur-unsur/elemen-elemen
dasar dalam komunikasi.
D. Prinsip
Komunikasi
1.
Komunikasi adalah suatu proses
Dalam buku komunikasi organisasinya Arni Muhammad[7]
dijelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri
kegiatan yang terus menerus, yang tidak mempunyai permualaan atau akhir dan
selalu berubah-ubah. Komunikasi juga bukanlah suatu barang yang dapat ditangkap
dengan tangan untuk diteliti. Maka komunikasi sebenarnya adalah sesuatu yang
abstrak, yang di dalamnya memberi nilai yang dapat dimaknai tanpa muncul atau
menghasilkan dalam bentuk yang kongkrit.
Di dalam perpustakaan komunikasi terlihat juga sebagai
proses yang terus menerus, mempengaruhi setiap elemen dalam sebuah lembaga
bernama perpustakaan. Karena sifatnya yang terus menerus dan merupakan sebuah
proses, maka komunikasi menjadi bersifat dinamis, bergantung pada tempat,
waktu, dan kondisi di mana komunikasi itu berjalan.
Lebih lanjut muhammad menjelaskan bahwa komunikasi juga
melibatkan suatu variasi saling berhubungan yang kompleks yang tidak pernah ada
duplikat dalam cara yang persis sama yaitu: saling hubungan di antara orang,
lingkungan, keterampilan, sikap, status, pengalaman, dan perasaan, semuanya
menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu waktu tertentu.
Bila dilihat sepintas lalu suatu komunikasi mungkin tidak
berarti, tetapi bila dipandang sebagai suatu proses, maka kepentingannya sangat
besar. Misalnya, suatu komunikasi yang hanya terdiri dari satu perkataan akan
dapat memperlihatkan suatu perubahan. Perubahan itu mungkin terjadi langsung
atau tidak langsung, tetapi semua itu terjadi sebagai hasil dari proses
komunikasi.
Dalam konteks di perpustakaan, komunikasi pun mengambil
andil yang sangat besar dalam menentukan perubahan baik itu perubahan terhadap
pemustaka, pustakawan, atau lembaga itu sendiri secara umum. Sebagai contoh,
seorang kepala sekolah sedang memperhatikan pustakawan yang mengerkajan suatu
pekerjaan. Tiba-tiba kepala sekolah tersebut mengucapkan kata salah, maka
pustakawan yang sedang bekerja tersebut menghentikan pekerjaanya dan mungkin
bertanya di mana letak kesalahannya. Atau kalau pustakawan tersebut tahu di
mana letak kesalahannya, dia langsung memperbaiki pekerjaannya pada saat
diperhatikan tersebut. Atau mungkin saja ia akan mempertanyakan dirinya sendiri
apa pengaruh kesalahan itu terhadap yang laian jika tidak diperbaiki yang
akhirnya membentuk perubahan sikapnya.
Jadi komunikasi tersebut di samping berubah-ubah juga
dapat menimbulkan perubahan.
2.
Komunikasi adalah sistem
Komunikasi sebagai suatu sistem
maksudnya adalah komunikasi itu terdiri dari komponen-komponen yang saling
berkaitan. Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan. Bila terdapat gangguan dalam sebuah komponen tersebut,
maka akan mempengaruhi pula proses komunikasi secara keseluruhan.
3.
Komunikasi bersifat intraksi dan transaksi
Intraksi merupakan saling tukar
menukar informasi. Misalnya seseorang berbicara kepada temannya mengenai
sesuatu, kemudian temannya yang mendengar memberikan reaksi atau komentar
terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Begitu selanjutnya berlangsung secara
teratur ibarat orang yang bermain melempar bola.
Dalam kehidupan sehari-hari, dan
tentu di perpustakaan juga, banyak komunikasi yang kita lakukan tidak seteratur
itu prosesnya seperti contoh di atas. Banyak dalam percakapan tatap muka kita
terlibat dalam proses pengiriman pesan secara simultan tidak terpisah seperti
pada contoh di atas. Dalam keadaan demikian komunikasi tersebut bersifat
transaksi. Sambil menyandikan pesan kita juga menginterpretasikan pesan yang
kita terima. Misalnya dalam situasi pendidikan pemakai di perpustakaan antara
pustakwan dan pemustaka seringkali memperlihatkan komunikasi transaksi ini.
Sambil pustakawan menjelaskan pengetahuan tentang perpustakaan dan cara
pemanfaatannya pemustakapun menyampaikan pesan kepada pustakawan dalam bermacam-macam
bentuk.
4.
Komunikasi dapat terjadi disengaja atau tidak
disengaja
Di dunia ini sesuatu dapat terjadi baik disengaja atau
tidak disengaja, tak luput masalah komunikasi. komunikasi yang disengaja
terjadi apabila pesan yang mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima
yang dimaksudkan. Komunikasi ideal adalah pesan yang ingin disampaikan kepada
yang dikehendaki. Namun di sini tak berarti efektif, karena keefektifan
komunikasi akan dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tertentu yang sifatnya berubah-ubah
dan dinamis.
Komunikasi tidak disengaja juga dapat terjadi. Misalnya:
dalam situasi kelas yang hening tiba-tiba seorang murid berdiri maju ke depan
mengambil kapur untuk mengisap tinta penanya. Gerakan murid yang tidak
disengaja sebagai pesan itu diterima murid-murid lainnya sebagai pesan karena
tiba-tiba temannya yang lain memperhatikan geraknya yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi bagi mereka.
E.
Proses Komunikasi di Perpustakaan
Dapat dipastikan
bahwa di dalam aktivitas perpustakaan mutlak harus ada proses atau kegiatan
komunikasi. Kegiatan komunikasi yang berlangsung di perpustakan dapat dilihat
dari adanya kontak dan hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
antara pustakawan dan pengguna perpustakaan, adanya pesan yang disampaikan dan
diterima, dan adanya efek yang terjadi akibat diterimanya pesan melalui
komunikasi tersebut. Aktivitas pelayanan informasi antara pustakawan dan pemustaka
adalah salah satu bentuk kegiatan komunikasi di perpustakaan.
TEORI
LASSWELL
Untuk
menjelaskan mengenai proses komunikasi di perpustakaan, dapat diterapkan model
yang diberikan oleh Harold D. Lasswell. Model komunikasi ini merupakan model
yang sudah tua tetapi masih digunakan orang untuk tujuan tertentu. Ia adalah
seorang ahli ilmu politik dari Yale university. Ia menggunakan lima pertanyaan
yang perlu ditanyan dan dijawab dalam melihat proses komunikasi, yaitu who
(siapa), says what (mengatakan apa), in which medium atau dalam
media apa, to whom atau kepada siapa, dan dengan what effect atau
apa efeknya[8].
Dalam proses komunikasi di
perpustakaan yang bertindak sebagai pembicara adalah pustakawan, yaitu yang
bertindak menyampaikan pesan-pesan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pesan yang disampaikan oleh pustakawan tersebut berupa informasi mengenai
berbagai ilmu pengetahuan dan informasi lainnya. Media yang digunakan untuk
menyampaikan pesan tersebut adalah segala koleksi perpustakaan, baik dalam
bentuk tercetak seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya,
maupun dalam bentuk media elektronik seperti komputer, film, slide, mikrofis,
rekaman suara, dan koleksi audio visual lainnya. Audien yang menjadi sasaran
informasi adalah masyarakat pengguna perpustakaan. Adapun efek yang ingin
dicapai oleh komunikator dengan pemberian informasi tersebut adalah agar
pengetahuan, sikap, maupun prilaku audien (komunikan) yang dalam hal ini adalah
pengguna dapat berubah.
F.
Komponen-komponen Dasar dalam Komunikasi di Perpustakaan
Dalam buku Arni Muhammad
“Komunikasi Organisasi” ia mengutarakan beberapa unsur (komponen) dasar dalam
komunikasi[9]. Menurutnya,
karena komunikasi merupakan proses dua arah atau timbal balik, maka komponen
balikan perlu ada dalam proses komunikasi. Dengan demikian, komponen dasar
komunikasi ada lima yaitu: pengirim pesan, pesan, saluran, penerima pesan, dan
balikan. Masing-masing komponen tersebut akan dijelaskan kembali dan penulis
menganalisa unsur tersebut untuk digunakan dalam komunikasi di perpustakaan.
1.
Pengirim pesan/komunikator (Pustakawan)
Pengirim pesan adalah individu atau
seseorang yang mengirim pesan. Dalam konteks perpustakaan yang menjadi pengirim
pesan/komunikator adalah pustakawan.
Dalam perpustakaan, informasi yang
ada dan yang dibutuhkan pengguna wajib dilayankan secara maksimal demi
terpenuhinya kebutuhan pengguna. Pada proeses ini, peran pustakawan sebagai
koumunikor sangat penting agar setiap informasi dapat diterima oleh pengguna
secara efektif, efisien, dan tepat guna. Karena sesungguhnya yang lebih banyak
berperan dalam intraksi langsung maupun tidak langsung di perpustakaan adalah
pustakawan. Inilah yang kemudian membentuk relasi (baik disadari atau tidak
disadari) antara pustakawan dan pengguna yang apabila tidak terjalin dengan
ideal (sesuai aturan, harapan, dan kebutuhan) maka akan terjadi miss
understanding (kesalahpahaman) antara pustakawan dan pengguna. Apabila hal
ini terjadi, maka secara otomatis pesan atau informasi yang ingin disampaikan
atau yang ingin didapatkan melalui komunikasi ini tidak dapat diterima.
2.
Pesan (Informasi)
Pesan adalah informasi yang akan
dikirimkan kepada si penerima. Pesan ini dapat berupa verbal maupun nonverbal.
Pesan secara verbal dapat secara tertulis seperti surat, buku, majalah, memo,
dan sebagainya. sedangkan pesan yang secara lisan dapat berupa percakapan tatap
muka, percakapan melalui telepon, radio, email, chatt, dan sebagainya. pesan
yang nonverbal dapat berupa isyarat, gerakan badan, ekspresi muka, dan nada
suara.
Semua bentuk pesan di atas baik
yang verbal maupun nonverbal dapat menjadi informasi yang sangat dibutuhkan
oleh setiap orang. Informasi yang dibutuhkan pengguna perpustakaan diharapkan
mampu diserap melalui pengirim informasi (pustakawan). pustakawan harus mampu
mengirim pesan tersebut melalui cara-cara yang dapat dimengerti pengguna
sehingga tidak terjadi penghapusan informasi secara sepihak.
Efektifitas penyampaian pesan
menyangkut bagaimana suatu pesan disajikan. Secara ringkas ada dua hal yang
perlu diperhatikan dalam penyajian pesan, yaitu cara penyajian pesan dan
struktur penyampaian pesan.
Cara penyajian pesan di
perpustakaan lebih mengacu pada pemanfaatan lambang komunikasi, baik verbal
maupun non verbal pada saat kita berkomunikasi. Cara penyajian pesan yang
dilakukan oleh pustakawan yaitu dengan melakukan pemberian informasi yang
dibutuhkan oleh pemustaka. Misalnya ada pemustaka bertanya,”Buku tentang
pembinaan minat baca di mana pak/Bu?”. Seorang pustakawan harus menjawab dengan
kata-kata halus dan ekspresi yang ramah. Cara penyajian pesan lebih lanjut
menyangkut bagaimana seorang pustakawan dapat memanfaatkan lambang-lambang
komunikasi verbal dan non verbal yang digunakan oleh pustakawan, serta
membubuhkan kadar emosi ke dalamnya. Di sini seorang pustakawan harus mampu
menentukan keberhasilan komunikasi dengan cara melakukan kecerdasan emosional[10].
Pada struktur penyampaian pesan,
seorang pustakawan harus mampu menyusun struktur penyajian pesan yang akan
disampaikan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan pemakai. Seorang pustakawan
harus mampu menyampaikan tataran-tataran informasi yang disampaikan sesuai
dengan urutan-urutannya, jangan sampai acak dan lari dari topik. Hal ini bisa
mengaburkan dan bahkan menghilangkan isi dari pesan yang disampaikan.
3.
Saluran/media
Saluran adalah jalan yang dilalui
pesan dari si pengirim dengan si penerima. Channel yang biasa dalam komunikasi
adalah gelombang cahaya dan suara yang dapat dilihat dan didengar. Dalam bahasa
lainnnya adalah alat yang digunakan oleh pengirim pesan untuk menyampaikan
pesan tersebut kepada si penerima. Dalam dunia perpustakaan, pustakawan bisa
menyampaikan pesan informasi tersebut berupa buku-buku, internet, majalah,
radio, film, CD, VCD, dan lain-lain. Akan tetapi saluran pokoknya adalah
gelombang suara dan cahaya.
4.
Penerima pesan (komunikan) – (pengguna
Perpustakaan/pemustaka)
Penerima pesan adalah yang
menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya. Dalam konteks
perpustakaan, pustakawan sebagai komunikator atau pengirim pesan perlu
memperhatikan siapa audience atau penerima pesan yang dihadapi. Hal ini perlu,
karena penerima pesan ini berbeda dalam banyak hal misalnya, pengalamannya,
kebudayaanya, pengetahuannya, usianya, dan keadaan fisiknya. Pustakawan tentu
tidak akan sama memperlakukan pengguna anak kecil dan dewasa, atau kepada pemustaka
yang secara fisik tidak memiliki cacat dengan pemustaka yang memiliki cacat
seperti difabel. Jadi, dalam komunikasi di perpustakaan, pustakawan perlu dan
bahkan wajib memperhatikan siapa yang diajak komunikasi. hal ini akan terkait
dengan simbol-simbol yang digunakan ataupun ekspresi-ekspresi yang dipakai
dalam komunikasi tersebut. Idealnya, pustakawan itu harus mampu menyesuaikan
simbol-simbol yang digunakan sesuai latarbelakang pemustaka.
5.
Balikan/efek
Balikan adalah respons terhadap
pesan yang diterima yang dikirimkan kepada si pengirim pesan. Dengan
diberikannya reaksi ini kepada si pengirim, pengirim akan dapat mengetahui apakah
pesan yang dikirimkan tersebut diinterpretasikan sama dengan apa yang
dimaksudkan oleh si pengirim. Bila arti pesan yang dimaksudkan oleh si pengirim
diinterpretasikan sama oleh si penerima berarti komunikasi efektif.
Seringkali dalam konteks komunikasi
di perpustakaan, respons yang diberikan tidak seperti yang diharapkan.
Misalnya, setelah melakukan pendidikan pemakai, pengguna ternyata masih banyak
yang salah dalam cara menggunakan OPAC, atau pemustaka bingung mana buku-buku
yang boleh dipinjam dan mana buku yang hanya boleh dibaca di tempat. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh adanya
faktor-faktor dalam diri si penerima, bisa pula faktor si pengirim
(komunikator), dan bisa pula faktor alat seperti system otomasi yang error,
lambat, dan salah tempat.
Di sinilah letak pentingnya
membangun relasi yang ideal untuk segera mengurangi (kalau bisa menghapus)
segala bentuk kesalahan atau kesalahpahaman pustakawan dan pemustaka lewat
komunikasi yang baik dan efektif.
Di atas telah dijelaskan
unsur-unsur komunikasi dengan harapan unsur-unsur tersebut dapat menjadi
pijakan dalam membangun komunikasi efektif di perpustakaan demi terwujudnya
relasi ideal di antara keduanya.
G. Membangun
Relasi Ideal Antara Pustakawan dan Pemustaka
Perpustakaan merupakan ruang di
mana pengolahan, penyimpanan, penyediaan, penemuan kembali informasi dilakukan
secara teratur dan sistematis[11]. Dan
perkembangan selanjutnya, perpustakaan bukan hanya ruang tempat segala
aktivitas tersebut ada, melainkan tempat di mana perubahan-perubahan yang ingin
dicapai dalam masyarakat bisa digerakaan dengan perpustakaan. Perpustakaan yang
cukup besar dan baik selalu memiliki bagian yang bertanggungjawab terhadap
pelayanan informasi, bahkan bagian ini sering dijadikan bagian formal yang
masuk ke dalam struktur organisasinya.
Eastabrook (1997) dalam Pawit M.
Yusup[12]
menggambarkan model pelayanan informasi ini dengan mengibaratkan bahwa
pustakawan diibaratkan sebagai operator telepon yang setiap saat bertugas
menghubungkan antara sumber-sumber informasi dengan pemanggilnya atau pengguna.
Sedangkan masyarakat pengguna diibaratkan sebagai pemanggil yang mencoba
memperoleh kemungkinan terbaik yang dihubungkan dengan lingkungan item
informasi secara khusus. Papan tombol
(swichboard) pustakawan adalah tombol-tombol, garis-garis, dan stop kontak,
yang mewakili pilihan-pilihan yang harus dibuat dalam rangka menyediakan
informasi yang bernilai.
Namun jangan lupa, itu hanya ibarat
yang fungsinya hanya untuk bahan penjelasan. Tugas pustakawan tidak sama dengan
tugas operator telepon. Operator telepon kegiatannya pasif, sedangkan
pustakawan tidak hanya pasif, karena bekerjanya atas dasar permintaan, namun
juga aktif, yakni mencari dan berusaha menemukan informasi yang bermanfaat,
kemudian dilayankan kepada anggota atau pengguna yang membutuhkan.
Fungsi pustakawan sebagai
penyambung informasi ke pemustaka, yang dalam hal ini pustakawan aktif
melakukan kegiatan komunikasi sehari-hari dan lebih banyak berhubungan langsung
dengan pemustaka, dituntut untuk membangun relasi ideal sebagai upaya
menjembatani informasi tersebut guna diterima dengan tepat dan cepat.
Relasi inilah yang kemudian
diharapkan mampu menciptakan segala aktifitas di perpustakaan dapat berjalan
lancar, nyaman, dan tepat sasaran. Karena bagaimanapun, ketika relasi
pustakawan dan pemustaka tidak baik, maka salah satu sistem di perpustakaan
menjadi macet, hal ini mengakibatkan sistem-sistem yang lain juga macet dan
bahkan rusak. Antara pustakawan dan pemustaka merupakan satu kesatuan elemen
yang tidak bisa terpisah satu sama lain. Ia merupakan elemen yang terus
berjalan seiring berjalannnya sistem yang ada di perpustakaan.
Agar proses relasi ideal pustakawan
dan pemustaka dapat dibangun, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu:
1.
Antara pemustaka dan pustakawan saling mengenal
Pepatah
mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Sekilasnya pernyataan ini sederhana,
namun maksud dan nilai yang terkandung di dalamnya tidaklah sederhana. Orang
yang sudah kenal, tidaklah sama proses komunikasi—intraksi dan relasinya—dengan
orang yang belum saling kenal. Karenanya, untuk dapat berkomunikasi dengan
lancar dan baik, pustakawan dan pemustaka harus sudah saling kenal mengenal.
Proses ini bisa dilakukan di mana-mana seperti waktu sosialasasi perpustakaan
atau sewaktu ada kegiatan pendidikan pemakai, pada waktu seminar, pelatihan
perpustakaan, atau pada saat intraksi berlangsung sehari-hari.
Proses saling
kenal mengenal yang dimaksud di sini adalah proses secara substantif. Artinya
pengenalan tersebut tak lantas menjadikan pustakawan harus mengetahui dan
menghafal semua nama pemustaka atau pemustaka harus menghafal semua nama
pustakawan, melainkan bagaimana pemustaka mengenal pustakawan secara fungsional
dan pustakawan mengenal pemustakanya sebagai bagian dari elemen perpustakaan
yang penting.
Salah satu cara
yang efektif dalam kegiatan pengenalan ini adalah menampilkan identitas,
khususnya bagi pustakawan. Biasanya identitas pustakawan menampilkan nama dan
bidang kerjanya. Hal ini dimaksudkan agar pemustaka mengetahui kepada siapa ia
harus bertanya terkait permasalahan yang ia hadapi. Misalnya, pemustaka
bertanya terkait sumber rujukan mana yang harus ia gunakan dalam mencari lafal
sebuah Hadis, maka dalam hal ini pemustaka bertanya ke pustakawan bagian
referensi ( ke pustakawan spesialis jika ada). Begitu pula pustakawan,
sebaiknya ia mengetahui apa yang ditanyakan oleh pemustaka terkait apapun
permasalahan yang dihadapinya. Kiranya, di sinilah perlunya identitas pustakawan
ditampilkan agar kesenjangan antara pemustaka dan informasi yang ada dapat
teratasi.
Proses kenal mengenal ini juga tidak hanya
sebatas kenal karena kebutuhan informasi saja, melainkan dalam proses membangun
relasi yang baik antara kedua elemen ini guna mewujudkan tujuan perpustakaan
dalam membangun generasi bangsa tercapai.
2.
Pustakawan dan pemustaka mampu merekam/peka terhadap
stimulan-stimulan yang diberikan
Terkadang terjadi miss
understanding (kesalahpahaman) ketika komunikasi berlangsung antara
pustakawan dan pemustaka. Hal inilah yang selanjutnya memisahkan relasi yang
baik antar keduanya, dan pada akhirnya kegiatan perpustakaan menjadi kurang
maksimal.
Ada beberapa faktor yang harus
diketahui oleh pustakawan dan pemustaka dalam berkomunikasi antara lain:
a.
Faktor-faktor budaya
Antara manusia yang satu dengan
yang lainnya memiliki budaya yang berbeda-beda sesuai tempat tinggalnya. Budaya
Jawa berbeda dengan budaya Lombok, budaya Lombok berbeda dengan budaya Aceh,
budaya Aceh berbeda dengan budaya Batak, dan begitu seterusnya. Apabila
seseorang tidak memperhatikan budaya orang lain dalam berkounikasi, bisa jadi
stimulan yang diberikan pembicara atau penerima tidak sampai dan bahkan dapat disalahpahami.
Pengertian dan penerimaan akan
beragamnnya kebudayaan yang satu dengan yang lain dapat membangun relasi yang
baik di antara pustakawan dan pemustaka.
b.
Faktor kondisi fisik
Baik fisik yang menyangkut
pustakawan, pemustaka, media yang digunakan, ini dapat menjadi faktor baik
buruknya relasi antar pengguna dan pustakawan. Seperti ada pemustaka yang
difabel, tidak merupakan anggota difabel, ada pemustaka atau pustakawan yang kondisi
fisiknya tinggi, pendek, dan sebagainya. Hal ini perlu diperhatikan dalam
membangun relasi. Kondisi fisik ini perlu diperhatikan dalam rangka
menyesuaikan komunikasi yang bagaimana yang harus dipakai serta media apa yang
tepat untuk keduanya. Antara pemustaka biasa dan pemustaka difabel tentu
berbeda dalam menyikapinya maupun dalam menyikapi media yang diperlukan.
c.
Faktor emosional
Antara pustakawan dan pemustaka
hendaknya mampu membaca situasi emosional yang terjadi, walaupun di sini
pustakawan sebenarnya lebih dituntut untuk sebaik mungkin mengatur emosi sesuai
kondisi pemustaka. Namun pustakawan tetaplah manusia yang dalam kehidupannya
sama dengan pemustaka. Maka, dalam hal ini sebaiknya antara pustakawan dan pemustaka
harus saling mengerti kondisi emosi masing-masing. Hal ini sangat mempengaruhi
relasi keduanya. Ada yang bilang bahwa sukses itu tidaklah sepenuhnya
bergantung pada kecerdasan intelektual, namun kecerdasan emosional juga sangat
diperlukan di sana.
3.
Simbol-simbol komunikasi yang digunakan
Simbol-simbol komunikasi seperti,
ekspresi wajah, gerakan tubuh, gambar, tulisan, suara-suara atau simbol-simbol
komunikasi lainnya juga sangat menentukan relasi antara pustakawan dan pemustaka.
Pustakawan yang cuek, muka masam, apatis, dan galak misalnya, akan dijauhi oleh
pemustaka. Hubungan atau relasi pun tidak bisa dibina dengan baik. Pemustaka
yang tidak mematuhi aturan seperti menggunakan kaos oblong, sendal, berbuat
keributan, mencoret-coret bahan pustaka, dan sebagainya pun dapat menjadi
faktor retaknya relasi antar keduanya. Oleh sebab itu, simbol-simbol yang
dipakai hendaknya harus sesuai dengan aturan-aturan yang dibuat dalam sebuah
organisasi perpustakaan. Ini dapat dilihat dari kode etik pustakawan atau
aturan formal untuk pustakawan yang di jelaskan oleh lembaga.
H. Penutup
Relasi ideal antara pustakawan dan
pemustaka dalam kaitannya dengan keberlangsungan fungsi dan tujuan perpustakaan
memang masih belum terbangun secara penuh. Masih kerap terjadi gap atau
jurang pemisah antara pustakawan dan pemustaka yang menyebabkan aktivitas
perpustakaan menjadi kurang maksimal. Komunikasi yang baik, sikap saling
pengertian, dan sikap saling kenal mengenal antara pustakawan dan pemustaka
bisa menjadi modal dasar dalam membangun relasi ideal yang diharapkan. Sehingga
kedepannya, informasi baik itu dalam tercetak maupun elektronik dapat diterima
dengan baik oleh pemustaka, dan begitu pula perpustakaan dapat mewujudkan
fungsinya sebagai penggerak dalam merubah masyarakat Indonesia. Karena
komunikasi adalah suatu proses terus menerus yang bisa berubah-ubah dan bisa
mengubah (keadaan tentunya).
Daftar
Pustaka
Arni
Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Pawit
M. Yusup, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
Ton
Kertatapati, Dasar-dasar Publistik dalam Perkembangannya di Indonesia
menjadi Ilmu Komunikasi, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Sulistyo-Basuki,
Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia Utama, 1993.
Murniaty, “Proses
Komunikasi di Perpustakaan” (2006), dalam Http//komunikasi di perpustakaan,
diunduh pada hari rabu 5/10/2011 jam 20.10.
[1] Adalah mahasiswa Pascasarjana Jurusan Interdiciplinary Islamic Study konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2]
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm.
1.
[3] Pawit
M. Yusup, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), hlm. 2.
[4]
Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Utama,
1993), hlm. 3.
[5]
Arni Muhammad, Komunikasi…hlm. 2.
[6]
Ton Kertatapati, Dasar-dasar Publistik dalam Perkembangannya di Indonesia
menjadi Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm. 93.
[7]
Arni Muhammad, Komunikasi…hlm. 19-22.
[8]
Arni Muhammad, Komunikasi…hml. 5.
[9]
Penulis lebih banyak mengacu pada buku tersebut sebagai rujukan dalam melihat
komunikasi di perpustakaan.
[10] Murniaty,
“Proses Komunikasi di Perpustakaan” (2006), dalam Http//komunikasi di
perpustakaan, diunduh pada hari rabu 5/10/2011 jam 20.10.
[11]
Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu…hlm. 3.
[12]
Pawit M. Yusup, Ilmu Informasi…hlm. 357-359.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar