Senin, 12 November 2012

PENGEMBANGAN MODEL PERPUSTAKAAN DIGITAL


PENGEMBANGAN MODEL PERPUSTAKAAN DIGITAL
 DI PERPUSTAKAAN  UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA[1]
Oleh: Rohana dan Wahyani[2]
A.      Pendahuluan
Era digital telah membawa perubahan pada setiap bidang layanan di perpustakaan, baik itu bidang pembinaan koleksi termasuk preservasi koleksi, maupun bidang layanan pengguna. Era digital ini memungkinkan bahkan telah terbukti bahwa pemustaka tidak selalu harus ke perpustakaan, namun perpustakaanlah yang mendatangi pemustaka. Era digital juga telah membawa pergeseran “citra “ terhadap perpustakaan dari yang manual, terbatasi oleh gedung, dan untuk akses masuk harus melalui berbagai prosedur, kesulitan akses dan pemanfaatan koleksi, dan lain-lain. Kini di era digital citra tentang perpustakaan naik level. Pemustaka bisa mengakses dan memanfaatkan koleksi perpustakaan di manapun dan kapanpun tanpa harus bersentuhan dengan debu-debu yang menempel di buku atau berhadapan dengan petugas yang  kadang kurang berkenan di hatinya. Harapan-harapan pemustaka tersebut bisa terwujud dengan dibangunnya perpustakaan yang bisa diakses di manapun dan kapanpun, yaitu dengan model “Perpustakaan Digital”.
Dari berbagai jenis perpustakaan yang ada, perpustakaan perguruan tinggilah yang paling merasakan kebutuhan akan pembangunan perpustakaan digital. Dalam sejarahnya juga, bahwa pembangunan perpustakaan digital seperti E-Lib dan D-Lib muncul bermula di lingkungan perguruan tinggi[3]. Hal ini menurut penulis dikarenakan salah tujuan perpustakaan perguruan tinggi  adalah untuk mendukung terlaksananya kegiatan penelitian, --di samping kegiatan akademis lainnya di bidang pendidikan, pengajaran dan pengabdian pada masyarakat--, dan perpustakaan digital sangat potensial mendukung kegiatan penelitian, dan di perguruan tinggilah banyak lahir rekaman-rekaman pengetahuan baik dalam jurnal, penelitian-penelitian, skripsi, tesis, disertasi, makalah-makalah, dan sebagainya.
Perpustakaan perguruan tinggi juga salah satu perpustakaan yang paling cepat beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi informasi. Dari aspek infrastruktur TI, perpustakaan perguruan tinggi lebih siap untuk mengembangkan konsep perpustakaan digital dibandingkan jenis perpustakaan lainnya.[4]
Terlepas dari unsur kebutuhan dan pencitraan perpustakaan seperti di atas, mungkin perlu ada permenungan, apakah pembangunan perpustakaan digital itu suatu  kebutuhan utama atau hanya sebagai alternatif? Model perpustakaan yang seperti apa yang  bisa dikategorikan sebagai perpustakaan digital?
Perpustakaan, terutama di perguruan tinggi mulai ‘tersadar’ untuk mencoba memberikan nuansa lain dengan memberikan layanan yang berbasis teknologi informasi. Banyak perpustakaan yang mencoba mengangkat tema ‘digital library’ atau perpustakaan digital sebagai bagian dari sistem terbaru layanan pengguna dalam mengantisipasi globalisasi informasi. Walaupun sebenarnya masih ada keraguan dalam memahami konsep ‘digital library’ secara pas dan benar. Jangan-jangan sebetulnya apa yang dibangun hanya ‘sekedar’ digital collection  belum sampai pada sebuah sistem ‘digital library’ secara utuh.
 Pembahasan tentang perpustakaan digital mungkin belum mendalam jika tidak dibarengi contoh aplikasi perpustakaan digital itu sendiri, dan oleh karena itulah tulisan/makalah ini disusun yaitu  dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang konsep perpustakaan digital, urgensi pembangunan perpustakaan digital di perguruan tinggi serta menganalisis model perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi objek penulisan makalah ini.
B.       Konsep Perpustakaan Digital
B.1. Pengertian
Menurut Pendit[5], istilah perpustakaan digital adalah terjemahan langsung dari ‘digital libraries’, sebuah istilah yang lahir dan berkembang di Amerika Serikat dan menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Ketika istilah ini mulai popular di Indonesia, muncul pendapat-pendapat yang –jika dilihat secara umum-- memiliki dua titik ekstrim. Pada titik ekstrim pertama adalah  pandangan yang menganggap bahwa perpustakaan digital adalah sesuatu yang baru sama sekali dan tidak punya hubungan apa-apa dengan, perpustakaan biasa, atau ‘perpustakaan tradisional’. Sedangkan di titik ekstrim lainnya adalah pandangan yang menganggap bahwa perpustakaan digital semata-mata adalah penggunaan computer di perpustakaan.
Di penghujung 1990-an,[6] ketika potensi teknologi informasi untuk mendirikan perpustakaan digital sudah ‘matang’ dipersiapkan di laboratorium, masih muncul keraguan di kalangan pustakawan maupun perancang teknologi tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘perpustakaan digital’ itu sendiri. Keraguan ini antara lain disebabkan oleh dipertahankannya kata “perpustakaan” dan oleh kenyataan bahwa sebelum istilah ini popular, sudah ada istilah-istilah lain[7], yaitu electronic library (atau e-library) dan virtual library.
Johnson dan Magusin[8] menggunakan analisis yang digunakan oleh Christine L. Borgman, yang telah mengidentifikasi dua aliran utama dalam definisi perpustakaan digital. Satu aliran merupakan fokus teknis dan dikemukakan terutama oleh peneliti perpustakaan digital. Penekanan mereka adalah pada perpustakaan digital sebagai konten yang dikumpulkan atas nama masyarakat pengguna. Umumnya, definisi ini mencakup kemampuan teknologi seperti metode untuk penciptaan/kreasi, organisasi, pemeliharaan/maintenance, akses dan temu kembali koleksi informasi. Aliran lain yang diidentifikasi oleh Borgman mengalamatkan pada  tantangan praktis dari perubahan institusi perpustakaan, dan dikemukakan oleh pustakawan yang fokus pada perpustakaan digital sebagai institusi atau jasa.
Mengacu pada analisisnya Borgman, penulis akan mengambil dua contoh definisi perpustakaan digital, yaitu
a.    Perpustakaan digital adalah:
 a focused collection of digital objects, including text, video, and audio, along with methods for access and retrieval, and for selection, organization, and maintenance of the collection”.[9](Perpustakaan digital menekankan koleksinya pada objek digital, termasuk teks, video, dan audio, bersama dengan metode-metode untuk akses dan temu kembali, seleksi, organisasi dan pemeliharaan koleksi).

Jadi perpustakaan digital adalah mengenai cara-cara baru yang berhubungan dengan pengetahuan—memelihara, mengumpulkan, mengorganisasikan, penyebaran dan akses pengetahuan—bukan tentang mendekonstruksi keberadaan institusi-institusi dan menaruhnya pada kotak elektronik. Definisi ini barangkali sejalan dengan definisi perpustakaan digital sebagaimana menurut Arms[10], yang intinya bahwa perpustakaan digital adalah kumpulan informasi yang disimpan dalam format digital dan dapat diakses lewat jaringan.
b.    Adapun definisi yang mengacu pada analisis kedua Borgman adalah seperti pendapat Saffady bahwa perpustakaan digital adalah perpustakaan yang mengelola semua atau sebagian koleksi dalam format yang dapat diakses komputer sebagai alternatif atau pelengkap sumber-sumber informasi cetak yang konvensional“ (Saffady, http://home.wlu.edu/DigiLib).
Definisi yang dikemukakan Saffady di atas mirip dengan pengertian perpustakaan hibrida yang dikemukakan oleh Rolands dan Bawden. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan tahapan perpustakaan yang dibuat oleh Rolands dan Bawden seperti yang akan ditulis pada poin B.3 yaitu mengenai model perpustakaan digital (halaman 9).
Definisi Saffady tentang perpustakaan digital memang berbeda dengan Rolands dan Bawden terutama terkait dengan koleksi tercetak yang masih tetap mendapat tempat di Saffady sedangkan Rolands dan Bawden sudah meninggalkannnya. Walau demikian, pendapat Saffady ini sebenarnya ada kaitannya dengan sikap Rolands dan Bawden yang tidak mementingkan bentuk karena secara historis munculnya perpustakaan digital (khususnya di dunia kepustakawanan) merupakan continuum (rentang berkelanjutan) dari perpustakaan konvensional[11].
Secara definitif memang akan sulit untuk menentukan pilihan di antara kedua definisi yang berbeda. Namun menurut penulis, bahwa definisi perpustakaan digital menurut Saffady ini lebih bisa diterima sebagai konsep perpustakaan digital di Indonesia, karena bagaimanapun lahirnya perpustakaan digital di dunia kepustakawanan tidak bisa lepas dari konsep perkembangan perpustakaan dari perpustakaan konvensional ke perpustakaan digital, sebagaimana  Chowdhury dan Chowdhury mengambil definisi yang lebih komprehensif dari perpustakaan digital. Chowdhury mengutip definisi perpustakaan digital dari Gladney et.al. sebagai berikut:[12]
“A digital library is an assemblage of digital computing, storage, and communications machinery together with the content and software needed to reproduce, emulate, and extend the services provided by conventional libraries based on paper and other material means of collecting, cataloging, finding, and disseminating information. A full service digital library must accomplish all essential services of traditional libraries and also exploit the well-known advantages of digital storage, searching, and communication.
Sebuah perpustakaan digital adalah satu himpunan komputasi digital, penyimpanan, dan mesin komunikasi bersama-sama dengan konten dan software yang dibutuhkan untuk mereproduksi, meniru, dan memperluas layanan yang disediakan oleh perpustakaan konvensional berbasis kertas dan bahan lain,  berarti pengumpulan, katalogisasi, menemukan, dan menyebarkan informasi. Sebuah layanan perpustakaan digital penuh harus mencapai semua layanan penting dari perpustakaan tradisional dan juga memanfaatkan berbagai keuntungan terkenal dari penyimpanan digital, pencarian, dan komunikasi.
Yang jelas, walaupun secara definitif ada perbedaan karena perbedaan sudut pandang, namun tujuan intinya sama yaitu untuk penciptaan informasi, kemudahan penyebaran dan akses informasi, sebagaimana Rolands dan Bawden[13] menghindari pembicaraan tentang bentuk (form), melainkan berkonsentrasi pada proses.
B.2. Karakteristik
Untuk lebih memahami perpustakaan digital, ada baiknya kita mengetahui karakteristik dari perpustakaan digital itu sendiri. Ada beberapa karakteristik perpustakaan digital sebagaimana yang ditulis oleh Chowhdury and Chowdhury[14],  yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.         Perpustakaan digital berisi berbagai sumber-sumber informasi digital baik itu berupa teks, gambar, audio, maupun video.
2.         Perpustakaan digital mengurangi kebutuan teradap ruang fisik sebagaimana untuk membangun dan memelihara perpustakan tradisional.
3.         Pengguna perpustakaan digital bisa  tersebar di manapun di dunia,
4.         Berbeda dengan perpustakaan tradisional, pengguna perpustakaan digital memungkinkan membangun koleksi pribadi mereka dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan oleh perpustakaan digital. (personalisasi)
5.         Perpustakaan digital menyediakan akses ke berbagai bentuk sumber-sumber informasi yang mungkin terletak di server yang berbeda, dan oleh karena itu infrastruktur, interoperability, dan sebagainya, adalah isu-isu penting dalam pengembangan dan manajemen perpustakaan digital.
6.         Beberapa pengguna bisa  menggunakan sumber informasi yang sama pada waktu yang sama di mana ini tidak mungkin terjadi dalam perpustakaan tradisional (ada resource sharing dan sifatnya yang simultanously).
7.         Perpustakaan digital mempunyai perubahan paradigma yang tidak saja dalam penggunaan informasi (dari print ke digital), tetapi juga paradigma dalam konsep kepemilikan (ownership). Banyak perpustakaan digital yang menyediakan akses ke materi-materi yang tidak mereka miliki, baik yang bisa diperoleh secara gratis maupun berbayar (access vs ownership)
8.         Perpustakaan pada tahun-tahun yang lalu mempunyai kebijakan pengembangan koleksi seperti mekanisme penyaringan (seleksi) yang baik. Staff perpustakaan tidak perlu menyediakan koleksi jika koleksi tersebut sudah tersedia di tempat lain. Mereka hanya menyeleksi yang sesuai dengan target pengguna. Perpustakaan digital harus bisa meng-handel sumber-sumber informasi dari berbagai bahasa.
9.         Perpustakaan digital mensyaratkan perantara manusia secara tidak langsung, oleh karena itu mekanisme kepatutan menempatkan ruang untuk mendukung pemakai dengan semua level yang berbeda dari IT, subjek, dan kemampuan bahasa. (ada standarisasi/interoperability)
Peran pustakawan juga berubah[15], karena pustakawan semakin dibutuhkan untuk menawarkan dukungan teknis untuk pengguna yang mengakses perpustakaan online dan untuk memberikan instruksi dalam menemukan dan menggunakan sumber daya informasi elektronik.
10.     Perpustakaan digital harus diikuti dengan fasilitas untuk mencari (searching) dan temu kembali (retreieval) yang lebih baik.
11.     Informasi digital bisa dipandang dan digunakan oleh masyarakat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan individu mereka.
12.     Perpustakaan digital bisa memutus hambatan waktu, ruang, dan bahasa. Idealnya, pengguna-pengguna dari berbagai tempat di dunia bisa menggunakan perpustakaan digital kapan saja dan dari berbagai bahasa.
Karakteristik tersebut juga sama dengan karakteristik yang dibuat oleh Tedd dan Large. Menurut mereka, secara ringkas karakteristik perpustakaan digital antara lain[16]:
1.    Harus mempunyai sumber informasi elektronik.
2.    Berada pada jaringan yang tersebar.
3.    Memiliki konten baik data maupun metadata.
4.    Koleksinya diseleksi dan diorganisir untuk komunitas pengguna.
5.    Perpustakaan digital bisa memperluas, meningkatkan atau mengintegrasikan berbagai betuk istitusional termasuk perpustakaan, museum dan lembaga arsip.
6.    Perpustakaan digital menekankan pada pentingnya stabilitas koleksi.
Pada poin 6, terlihat Tedd sudah memperhitungkan pentingnya upaya preservasi koleksi digital.
B.3. Model Perpustakaan Digital
Mengenai model dasar digitalisasi perpustakaan, Pendit[17] telah menguraikan beberapa model, yaitu:
B.3.1. Model Rolands dan Bawden
Menurut Rolands dan Bawden, model perpustakaan digital merupakan sebuah continuum (rentang berkelanjutan) dari perpustakaan “biasa”. Model Rolands dan Bawden ini menggambarkan perkembangan perpustakaan “biasa” ke perpustakaan digital melalui beberapa tahapan, yaitu
1)        Perpustakaan, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
2)        Perpustakaan elektronik, di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik, koleksi tercetak dan elektronik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
3)        Perpustakaan hibrida, yang di dalamnya terdiri dari gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik serta digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya, ruangan maya (virtual).
4)        Perpustakaan digital, di dalamnya terdiri dari dengan atau tanpa lokasi fisik, koleksi digital, ruang dan referensi maya.
5)        Perpustakaan maya, di dalamnya terdiri dari tanpa lokasi fisik, koleksi seluruhnya digital, ruang dan referensi maya.
Dengan pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep perpustakaan digital dari Safaddy, maka konsep perpustakaan hibrida dari Rolands dan Bawden cocok dengan konsep perpustakaan digital dari Saffady, namun jika melihat kategori keempat (perpustakaan digital) maka Rowands dan Bawden menganut konsep perpustakaan digital menurut Arms.
Walaupun Rolands dan Bawden menggambarkan model perpustakaan seperti di atas, namun sebenarnya keduanya tidak mau terjebak pada perdebatan tentang bentuk atau lokasi. Keduanya  lebih berkonsentrasi pada proses, yaitu rencana, implementasi dan evaluasi.
Ada dua hal penting dalam model Rolands dan Bawden yang disebutnya sebagai conceptual framework, yaitu dunia pemikiran (ide) dan dunia praktik. Di antara dua dunia ini dihubungkan oleh teknologi. Dunia ide menunculkan ranah system (menyangkut interaksi manusia-komputer, perangkat lunak dan arsitektur system), ranah informasional (menyangkut organisasi pengetahuan, simpan-temu-kembali pengetahuan, dan implikasi bagi proses transfer informasi) serta ranah social (menyangkut keterampilan dan keberaksaraan informasi, dampak pada organisasi dan kegiatannya, kebijakan, peraturan dan perundangan tentang informasi). Maksudnya adalah, keseluruhan kegiatan perpustakaan sebenarnya merupakan upaya menerapkan teknologi, khususnya teknologi informasi, di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, buku juga sebuah teknologi informasi, tetapi menggunakan mesin cetak (kecuali kalau namanya “buku elektronik”). Jadi, kalau pun sekarang kita bicara tentang perpustakaan digital, maka persoalan yang kita hadapi tetap serupa dengan saat pada pendahulu kita bicara tentang perpustakaan berkoleksi daun lontar, perpustakaan kertas, atau perpustakaan video, yaitu bahwa perpustakaan adalah sebuah upaya menghimpun dan menerapkan ide manusia ke dalam praktik dengan menggunakan teknologi informasi. Kesimpulannya adalah ketiga ranah tersebut terjadi pada semua perpustakaan karena memang hampir sulit menemukan perpustakaan yang tidak menggunakan perangkat komputer.
Rolands dan Bawden memang tidak membedakan secara jelas antara perpustakaan hibrida dengan perpustakaan digital. Rupanya keduanya agak berat untuk meninggalkan konsep kepustakawanan konvensional yang juga berperan dalam membangun konsep perpustakaan digital dengan alasan:
a.         Antara dunia praktik dengan dunia pikiran tidak bisa dipisahkan, dan di antara kedua dunia ini ada teknologi yang menyertainya, sementara yang dimaksud perpustakaan hibrida menurut Rowlands dan Bawden adalah masih dipertahankannya gedung, lokasi fisik + internet, koleksi tercetak dan elektronik dan digital, ruangan baca, meja referensi + referensi maya + ruang maya (virtual).
b.        Rupanya Rowlands dan Bawden masih mempertahankan konsep kepustakawanan (tentang fungsi perpustakaan) yang menyangkut tiga pilar utama, yaitu ranah social, ranah informasional dan ranah system.
c.         Teknologi menurut keduanya lebih dijadikan komponen pendukung dunia praktek, walaupun saat ini teknologi tidak bisa ditinggalkan perpustakaan. Bisa jadi keduanya  mengimplementasikan salah satu hukum kepustakawanan Ranganathan, bahwa perpustakaan adalah organisasi yang berkembang, salah satunya adalah upaya mengadopsi kemajuan teknologi tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip kepustakawanan yang telah ada.
Pendit melihat bahwa apa yang dikonsepkan Rolands dan Bawden membantu kita melihat perpustakaan digital sebagai sistem sosial, bukan melulu sebagai alat atau teknologi. Server di internet bukanlah perpustakaan digital, demikian pula sekumpulan CD atau DVD yang berisi aneka informasi bukanlah perpustakaan digital. Keseluruhan kegiatan, layanan, pengelolaan, penyediaan, dan evaluasi yang tergambar di atas itulah yang dapat disebut perpustakaan digital.
B.3.2. Model DELOS
Model DELOS menggambarkan perpustakaan digital sebagai three-tier framework atau sebuah kerangka dengan tiga pilar, yaitu:
1)   Digital library (DL) sebagai sebuah organisasi
Menurut DELOS organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Yang dimaksud organisasi yang virtual adalah organisasi yang tidak punya kontak fisik dengan masyarakat penggunanya dalam  bentuk jasa wawan-muka (interface) sehingga pengguna tidak bisa meraba atau melakukan kontak fisik dengan perpustakaan (remote libraries).
Hal-hal penting yang berkaitan dengan model perpustakaan digital DELOS adalah
a.         DELOS lebih menekankan organisasi secara substansial yaitu sebagai sebuah sistem manajerial. Perpustakaan digital selalu harus secara serius mengumpulkan, mengelola, dan melestarikan koleksi digital untuk ditawarkan kepada masyarakat dalam bentuk yang fungsional dengan kualitas yang terukur dan berdasarkan kebijakan yang jelas.
b.         Model DELOS lebih menekankan “koleksi digital” dengan tujuan untuk membedakan perpustakaan ‘biasa’ dan perpustakaan digital (tidak memasukkan koleksi yang printed).
c.         Model DELOS lebih mengarahkan tujuan pembangunan digital yaitu untuk preservasi koleksi sehingga koleksi ini nantinya selalu fungsional.
d.        Sekiranya masih ada koleksi yang non digital maka koleksi tersebut harus dikelola dengan berbantuan computer untuk memastikan agar semua koleksi dapat berfungsi dengan baik untuk melayani keperluan masyarakat. Jadi model DELOS memandang penting konsep accessable koleksi.
2)   Digital library system (DLS) sebagai sebuah system perangkat lunak
Untuk membangun perpustakaan digital diperlukan sebuah perangkat lunak yang fungsional yang disebut dengan “aplikasi”. Perangkat lunak aplikasi ini disebut dengan Digital Library System, berfungsi untuk mendukung dua kegiatan utama, yaitu:
ü  Menjalankan sebuah system yang  menjadi fungsi utama (mengumpulkan, mengelola, menyediakan) informasi digital, termasuk menyediakan akses kepada pengguna, dan
ü  Mengintegrasikan berbagai perangkat tambahan agar dapat menawarkan fungsi lain yang lebih spesifik bagi keperluan tertentu.
Sebagai sebuah sistem perangkat lunak, maka DLS harus berdasarkan pada arsitektur informasi tertentu untuk mendukung semua fungsi perpustakaan digital di atas (yakni mengumpulkan, mengolah, dan menyediakan informasi). Secara khusus, arsitektur informasi DLS adalah arsitektur informasi tersebar (distributed), yaitu dengan menyediakan link-link ke berbagai sumber informasi lain.
DLS ini penting untuk mendukung konsep preservasi dan pendayagunaan koleksi yang ditawarkan DELOS sehingga koleksi digital bisa fungsional.
Berkaitan dengan system “arsitektur informasi tersebar” ini, Pendit menganalisis empat hal[18], yaitu:
a.    Munculnya frasa digital libraries (bukan digital library), yang berarti perpustakaan digital “is not a single entity”, perpustakaan digital “requires technology to link the resources of many”. Dengan demikian perpustakaan digital memerlukan teknologi untuk menghubungkan berbagai sumberdaya informasi tersebar, dan inilah salah satu karakteristik perpustakaan digital menurur Tedd yaitu “Digital libraries exist in distributed networks”.
b.    Munculnya peran pustakawan sebagai information navigator atau cybernavigator.
c.    Konsep distributed (ketersebaran digital) mirip dengan konsep kerjasama antar perpustakaan (library coorperation) dan pinjam antar perpustakaan (interlibrary loan). Di sini nampak sekali bahwa Pendit tidak ingin begitu saja melepaskan ikatan emosionalnya dengan konsep-konsep kepustakawanan pada perpustakaan tradisional.
d.   Dalam perpustakaan digital, walaupun menyediakan link-link yang tersebar namun tetap terintegrasi dalam satu fasilitas. Pendit menyebutnya sebagai “bhineka tunggal ika”.
3)   Digital library management system (DLMS)
Untuk membuat sebuah aplikasi seperti DLS di atas, diperlukan sistem perangkat lunak induk yang dalam model DELOS ini disebut sebagai Digital Library Management System atau sistem manajemen perpustakaan digital. DLMS tergolong sebagai perangkat lunak system. Saat ini perangkat lunak yang ditawarkan baik secara gratis maupun semigratis antara lain DSpace, Greenstone, Fedora, Koha, dan sebagainya.
Hal terpenting dalam memilih DLMS adalah
a.         Kemampuannya untuk menghasilkan sebuah system yang memenuhi semua fungsi perpustakaan digital sebagaimana diuraikan di atas.
b.         Sistem mampu memahami keperluan berbagai pihak yang harus ada di dalam sebuah institusi perpustakaan digital.
Model DELOS ini merinci empat “pemeran utama” dalam sebuah system managemen perpustakaan digital, yaitu:
a.         DL end-users atau pengguna perpustakaan digital sebagai pihak yang memanfaatkan fungsi-fungsi perpustakaan yang sudah digitalisasi. Para pengguna akan melihat perpustakaan digital sebagai entitas dalam keadaan siap (statefull entity) yang menjalankan fungsi-fungsi sesuai kebutuhan mereka.
b.         DL designers adalah para perancang yang, dengan menggunakan pengetahuan mereka, merancang, menyesuaikan, dan memelihara system perpustakaan digital berdasarkan kebutuhan fungsional maupun kebutuhan informasi para pengguna. Agar dapat melakukan tugasnya, para perancang ini berintraksi dengan administrator system dan pengembang melalui digital library management system.
c.         DL system administrator atau administrator system perpustakaan digital merupakan pihak yang memilih dan menetapkan komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi perpustakaan digital. Para administrator juga menggunakan DLMS untuk merancang parameter dan konfigurasi system. Tugasnya adalah mengenali konfigurasi apa yang paling tepat untuk system perpustakaan digital yang dikelolanya agar dapat menghasilkan luaran yang berkualitas.
d.        DL Aplication developers adalah pihak yang secara teknis menggunakan DLMS untuk mengembangkan komponen-komponen pembentuk DLS. Mereka menggunakan berbagai perangkat kerja yang sesuai untuk mengembangkan fungsi sebagaimana dikehendaki pengguna dan dirancang oleh administrator dan perancang tersebut.

B.3.3. Model OAIS
OAIS (Open Archival Information system) diusulkan oleh Consultative Committee for Space Data System (CCSDS) yang didirikan tahun 1982. Model ini merupakan model pengarsipan (archival) dan menekankan pada fungsi pelestarian atau preservasi. Namun pengarsipan dan pelestarian di sini bukanlah hanya menyimpan, mengawetkan, atau mempertahankan bentuk, melainkan memastikan agar informasi selalu tersedia untuk dimanfaatkan selama mungkin. kata ‘lestari’ di sini berarti tersimpan dan dapat ditemukan kembali kapanpun diperlukan. Sebab itulah model ini dapat digunakan untuk pengembanganperpustakaan digital.
Model OAIS sesungguhnya hendak menegaskan bahwa fungsi sebuah perpustakaan digital adalah memastikan semua koleksi digital berada dalam status ‘selalu tersedia’. Menurut model OAIS saripati perpustakaan digital terletak pada kemampuan teknologi dalam menjamin ketersediaan dan kebergunaan semua koleksi dalam rentang waktu yang lama, bahkan kalau perlu selama-lamanya selama listrik masih ada.
Menurut model OAIS, sebagai sebuah organisasi, perpustakaan digital memiliki tiga bagian atau unsure yang saling berkaitan yaitu,
a.    lingkungan luar atau eksternal tempat sebuah OAIS berkegiatan. Di lingkungan ini terdapat komponen produsen, konsumen, dan manajemen.
b.    Lingkungan dalam atau internal yang berisi perangkat, komponen-komponen fungsional, dan mekanisme keja OAIS untuk menyelenggarakan kegiatan pelestarian.
c.    Paket informasi dan objek yang dicerna (ingested), dikelola (managed), dan disebarkan (disseminated).
Jika suatu perpustakaan menggunakan model OAIS maka perpustakaan digital adalah institusi yang berada di antara pihak yang menghasilkan informasi dan pihak yang memanfaatkan informasi itu, serta pihak yang mengelolanya sebagai organisasi (disebut sebagai pihak “manajemen”).
C.       Analisis Pengembangan Model Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1. Sejarah dan koleksi
Sebelum mengarah kepada pembahasan model perpustakaan digital UIN maka perlu dijelaskan alasan  perlunya dibangun perpustakaan digital. Tedd and Large[19] menjelaskan alasan-alasan dalam membangun sebuah perpustakaan digital, antara lain:
a.     perpustakaan digital memungkinkan untuk akses melalui jaringan-jaringan yang tersebar.
b.      Perpustakaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk dapat memiliki semua koleksinya dan tidak perlu tempat fisik untuk menempatkannya.
c.       Memungkinkan banyak pengguna untuk mengkonsultasikan perpustakaan digital dari berbagai lokasi seperti dari rumah, sekolah, universitas, kantor, cybercafé, bukan hanya di perpustakaan, museum atau kantor arsip.
d.      Perpustakaan digital bisa menyediakan fitur-fitur untuk search dan browse tingkat tinggi, dan memungkinkan dokumen-dokumen diunduh atau dipindahkan ke dokumen lain.
e.       Perpustakaan digital dapat menyediakan pelayanan yang mendukung aktivitas seperti pendidikan jarak jauh (e-learning), e-commerce, dan fasilitas kerja yang tergabung dengan orang-orang yang secara geografis terpencar.
f.       Mengurangi biaya penyimpanan layaknya penyimpanan dokumen-dokumen tradisional yang ditaruh di rak, dan menambah kemampuan untuk temu kembali.
Alasan inilah juga yang melatarbelakangi dibangunnya Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagaimana pembangunan perpustakan di perguruan tinggi lainnya.
Perpustakaan digital UIN resmi di-launching pada tahun 2008 sebagai upaya untuk menyimpan dan menyebarkan terbitan-terbitan local (local content) terutama jurnal-jurnal ilmiah dan laporan penelitian di lingkungan UIN Sunan Kalijaga.[20]
Dalam perkembangannya, digilib UIN juga sudah menerima koleksi-koleksi skripsi dalam bentuk PDF, di samping mengalihbentukkan koleksi skripsi ke dalam bentuk digital. Berikut data koleksi digilib yang diakses[21]:
·                 Artikel Dosen/Pegawai (15)
·                 D3 - Laporan PKL (9)
·                 Diskusi Dosen (0)
·                 E-Books (1)
·                 Informasi (1)
·                 Jurnal (515)
·                 Laporan Penelitian (0)
·                 Manuskrip (0)
·                 Member (15)
·                 Organization (15)
·                 Photo (0)
·                 S1 - Skripsi (5910)
·                 S2 - Tesis (21)
·                 S3 - Disertasi (0)
·                 Soal Ujian (0)
·                 UIN Sunan Kalijaga (259)
·                 Video (0)
2.  Alamat Situsnya
Perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga bisa diakses melalui situs http://digilib.uin-suka.ac.id/ .
3.    Tampilan Menu
(terlampir)
4.    Program Aplikasi dan Software
Program aplikasi yang digunakan adalah GDL 4.2 yang berbasis open source,  yang didukung dengan software Apache, Free BSD, dan Adobe Reader 7 Profesional yang digunakan untuk mengolah local content.[22]
5.    Analisis  Terhadap Model Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menarik apa yang ditulis oleh Pendit[23] bahwa dalam konteks perguruan tinggi, konsep perpustakaan digital semakin jelas memperlihatkan kesinambungan mulai dari pustaka sampai digital. Peradaban perguruan tinggi di manapun selalu dibangun di atas pondasi berupa pengetahuan terekam. Sejak teknologi rekaman hadir, sejak itu pulalah dunia akademisi menjadi pengguna paling aktifnya. Buku dan jurnal ilmiah sebagai ‘anak emas’ teknologi cetak mencetak adalah sahabat para ilmuan sampai sekarang. Oleh karena itu perpustakaan digital salam konteks perguruan tinggi mudah dilihat sebagai suatu kesinambungan alamiah, bukan sesuatu yang sama sekali baru.
Penggunaan komputer untuk pengelolaan informasi segera menjadi solusi teknologi bagi upaya kepustakawanan dalam mengubah orientasinya. Tidaklah mengherankan jika salah satu fungsi komputerisasi yang sangat mendapatkan perhatian para teknolog adalah fungsi menyimpan dan menemukan kembali informasi. Dalam konteks inilah kelahiran perpustakaan digital dapat dilihat sebagai bagian dari pasang surut kepustakawanan secara keseluruhan. Dapat pula dikatakan perpustakaan digital adalah solusi teknologis bagi persoalan-persoalan yang dihadapi kepustakawanan di era teknologi ini. 
Ada beberapa hal yang perlu kami analisa berkaitan dengan Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga, antara lain:
1)   Perpustakaan Digital UIN sudah bisa dikategorikan sebagai Perpustakaan Digital, karena sudah memenuhi sebagian besar karakteristik perpustakaan digital menurut Chowhdury and Chowdhury maupun Tedd dan Large. Karakteristik sebagai perpustakaan digital antara lain ditandai dengan:
a.       adanya koleksi digital yang bisa diakses melalui jaringan (walaupun baru tersedia  pada koleksi teks dan audio),
b.      potensi pemustaka yang tersebar dan bisa mengakses digilib dimanapun dan kapanpun melalui remote libraries,
c.       menyediakan akses informasi ke berbagai link, seperti ke UIN Sunan Kalijaga ( http://www.uin-suka.ac.id/), ke Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga (http://www.lib.uin-suka.ac.id/), ke OPAC Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga (http://opac.uin-suka.ac.id/) dan ke Jogjalib (pada waktu diakses kondisi sedang error),
d.      menyediakan fasilitas untuk searching dan retrieval informasi.
e.       Memiliki konten baik data maupun metadata.
Untuk akses data secara full text, perpustakaan digital UIN mewajibkan kepada member untuk melakukan registrasi terlebih dahulu.
Adapun untuk karakteristik yang terakhir, di mana Perpustakaan digital perlu menekankan pada pentingnya stabilitas koleksi, perpustakaan digital UIN belum secara tertulis dan jelas memiliki kebijakan tentang itu, di samping tidak adanya kepastian dari program GDL 4.2 untuk bisa menjamin stabilitas koleksi.
2)   Sementara dilihat dari komponen-komponen yang mendukungnya, maka digilib UIN masuk kategori model DELOS, karena:
a.         Model DELOS menegaskan bahwa organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Perpustakaan digital UIN walaupun dalam kontak antara organisasi virtual dan masyarakat terjadi lewat jaringan komputer atau internet, namun juga masih mempertahankan fasilitas fisik/gedung perpustakaan yang memungkinkan pengelola dan masyarakat pengguna bisa bertemu.
b.         Digilib UIN sebagai sebuah organisasi, telah secara serius meng-organized proses kerjanya, yaitu melakukan kegiatan pengumpulan, mengelola dan melestarikan koleksi digital  agar koleksinya bisa fungsional bagi para penggunanya.
c.         jelas di digilib itu sudah ada perangkat lunak yang digunakan yaitu antara lain: Apache, Free BSD, Adobe Reader 7 Profesional yang digunakan untuk mengolah local content, [24]
d.        ada manajemen system perpustakaan digital sebagai perangkat lunak induk yang bisa menghasilkan sebuah system yang memenuhi semua fungsi perpustakaan digital. Untuk DLMS ini, perpustakaan Digital UIN Sunan kalijaga menggunakan program aplikasi open source GDL 4.2. Adapun pemeran utama pengguna GDL.42 ini  di digilib UIN Sunan Kalijaga adalah:
a)        DL end-user atau pengguna perpustakaan digital. DL end-user tidak hanya terbatas pada civitas akademika UIN Sunan Kalijaga, namun juga masyarakat umum yang membutuhkan.
b)        DL Designers, yaitu para perancang yang merancang, menyesuaikan, dan memelihara system Perpustakaan Digital berdasarkan kebutuhan fungsional maupun kebutuhan informasi para pengguna. DL Designers di Digilib UIN Sunan Kalijaga ditangani oleh Bagian Multimedia.
c)        DL System Administrator adalah administrator system perpustakaan digital merupakan pihak yang memilih dan menetapkan komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi perpustakaan digital. DL System Administrator Digilib UIN ditangani oleh Bagian Sistem Informasi Perpustakaan UIN.
d)       DL Application Developers adalah pihak yang secara teknis menggunakan DLMS untuk mengembangkan komponen-komponen pembentuk DLS. Dalam hal ini yang menjadi DL Aplication Developers adalah Knowledge Management Research Group (KMRG) Institut Teknologi Bandung.[25]Namun mulai Tahun 2004 perpustakaan digilib UIN sudah tidak menggunakan KMRG lagi.
3)   Sebagai pengguna Digilib UIN Sunan Kalijaga, menurut kami Digilib UIN Sunan Kalijaga masih perlu meningkatkan kriteria perpustakaan digital sebagaimana diuraikan Chowhdury and Chowdhury maupun Tedd dan Large, terutama berkaitan dengan koleksinya yang masih terbatas pada teks, belum ada gambar, video, maupun audio visual, serta terbatasnya link ke berbagai sumber informasi lain. Di samping itu juga perlu adanya program aplikasi yang bisa menjamin stabilitas koleksi sampai kapan pun.
D.      Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.         Membangun perpustakaan digital perguruan tinggi merupakan suatu kebutuhan untuk melengkapi dan menambah jasa layanan di perpustakaan terutama layanan yang berbasis teknologi.
2.         Apapun modelnya, dari ketiga model yang telah disebutkan sebenarnya sama, yaitu bahwa perpustakaan digital dibangun dalam rangka menciptakan, menghimpun, mengolah dan menyajikan dan melestarikan rekaman-rekaman informasi berbantuan teknologi  serta jaringan informasi dengan tujuan untuk kemudahan akses dan pendayagunaan bersama sumber informasi.
3.         Terlepas dari kekurangan yang ada, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bisa dikategorikan Perpustakaan Digital.
4.         Baik secara organisatoris maupun dilihat dari komponen yang mendukung, perpustakaan digital UIN menggunakan model Perpustakaan Digital menurut model DELOS.
Berangkat dari kekurangan yang kami dapati dari layanan Digilib UIN Sunan Kalijaga, maka kami memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.         Perpustakaan UIN dengan koleksinya yang mencapai ribuan judul maupun eksemplarnya, ditambah dengan potensi rekaman-rekaman informasi yang tumbuh di lingkungan UIN perlu kiranya meninjau kembali program aplikasi yang digunakan.
2.         Karena salah satu karakteristik perpustakaan digital adalah adanya jaminan stabilitas koleksi, maka perlu dibuatkan kebijakan untuk stabilitas koleksi.
3.         Perlu menambah jenis koleksi seperti koleksi gambar maupun audio visual.
4.         Menambah fasilitas link ke berbagai sumber informasi, yang tidak saja menyediakan metadata tetapi juga data yang bisa diakses secara fulltex.
DAFTAR PUSTAKA
Arms, W.Y. (2001) , Digital Libraries, Cambridge, Massachusetts.
Chowdhury, G.G. and Chowdhury, Sudatta  (2003), Introduction to Digital Libraries London: Facet Publishing.
Johnson, Kay  and Magusin, Elaine (2005).  Exploring the Digital Library: a Guide for Online Teaching and Learnin.  San Francisci: John Wiley & Sons.
Pendit, Putu Laxman, dkk. (2007). Seri Perpustakaan dan Informasi 1: Perpustakaan Digital Perspektif Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia dan Sagung Seto.
Putu Laxman Pendit, (2008).  Perpustakaan Digital dari A – Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
Pendit, Putu Laxman (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
Ted, Lucy and Large, Andrew (2005). Digital Libraries: Principle and Practice in a Global Environment. Munchen: K.G. Saur.
Witten, Ian H., Bainbridge, David and  Nichols, David M. (2010), How to Build a Digital Library, 2nd ed., Amsterdam: Elsevier.
http://digilib.uin-suka.ac.id/ diakses pada tanggal 16 Maret 2012 jam 13. 50 WIB.

[1] Makalah telah dipresentasikan di Kelas A pada tanggal 27 Maret 2012 dan telah direvisi berdasarkan berbagai  masukan.
[2] Adalah mahasiswa Program Studi Interdicplinary Islamic Studies Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2011-2012.
[3] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital dari A – Z (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri,  2008), hlm. 7.
                [4] Putu Laxman Pendit dkk., Perpustakaan Digital Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (Jakarta: Sagung Seto, 2007), hlm. 24-26.
[5] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital dari …, hlm. 2.
[6] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan Dinamika (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2009), hlm. 17.
[7] Johnson dan Magusin juga mengatakan bahwa sinonim untuk perpustakaan digital meliputi perpustakaan virtual, perpustakaan elektronik, dan perpustakaan tanpa dinding (2005: 7)
[8] Kay Johnson and Elaine Magusin, Exploring the Digital Library: a Guide for Online Teaching and Learning (San Francisci: John Wiley & Sons, 2005), hlm. 7.
[9] Ian H. Witten, David Bainbridge and David M. Nichols, How to Build a Digital Library, 2nd ed., (Amsterdam: Elsevier, 2010), hlm. 7.
[10] W. Y. Arms, Digital Libraries, (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2001), hlm. 2
[11] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan …, hlm. 17.
[12] G.G. Chowdhury and Sudatta Chowdhury, Introduction to Digital Libraries (London: Facet Publishing, 2003), hlm. 6.
[13]Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan.. ., hlm. 18.
[14] G.G. Chowdhury and Sudatta Chowdhury, Introduction to …, hlm. 8-9.
[15] Kay Johnson and Elaine Magusin, Exploring the Digital Library: a Guide for Online Teaching and Learning (San Francisci: John Wiley & Sons, 2005), hlm. 10.
[16] Tedd, L. A., & Large, A. , Digital Libraries: Principles and Practice in a Global Environment (Munchen: K.G. Saur, 2005)  hlm. 16 – 19.
[17] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan…, hlm. 17 – 38..

[18] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan…, hlm. 23 – 24.
[19] Lucy A. Tedd and Andrew Large, Digital Libraries…, hlm. 21.
[20] Wawancara dengan Sdr. Taufiq Kurniawan pada tanggal 15 Maret 2012.
[21] http://digilib.uin-suka.ac.id/ diakses pada tanggal 16 Maret 2012 jam 13. 50 WIB.
[22] Wawancara dengan Sdr. Edi Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.
[23] Putu Laxman Pendit, dkk. Seri Perpustakaan dan Informasi 1: Perpustakaan Digital Perspektif Perguruan Tinggi Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia dan Sagung Seto, 2007),  hlm 2
[24] Wawancara dengan Sdr. Edi Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.
[25] Wawancara dengan Sdr. Edi Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar