PENGEMBANGAN
MODEL PERPUSTAKAAN DIGITAL
DI PERPUSTAKAAN UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA[1]
Oleh:
Rohana dan Wahyani[2]
A. Pendahuluan
Era
digital telah membawa perubahan pada setiap bidang layanan di perpustakaan,
baik itu bidang pembinaan koleksi termasuk preservasi koleksi, maupun bidang
layanan pengguna. Era digital ini memungkinkan bahkan telah terbukti bahwa
pemustaka tidak selalu harus ke perpustakaan, namun perpustakaanlah yang
mendatangi pemustaka. Era digital juga telah membawa pergeseran “citra “
terhadap perpustakaan dari yang manual, terbatasi oleh gedung, dan untuk akses
masuk harus melalui berbagai prosedur, kesulitan akses dan pemanfaatan koleksi,
dan lain-lain. Kini di era digital citra tentang perpustakaan naik level.
Pemustaka bisa mengakses dan memanfaatkan koleksi perpustakaan di manapun dan
kapanpun tanpa harus bersentuhan dengan debu-debu yang menempel di buku atau berhadapan
dengan petugas yang kadang kurang
berkenan di hatinya. Harapan-harapan pemustaka tersebut bisa terwujud dengan
dibangunnya perpustakaan yang bisa diakses di manapun dan kapanpun, yaitu
dengan model “Perpustakaan Digital”.
Dari
berbagai jenis perpustakaan yang ada, perpustakaan perguruan tinggilah yang
paling merasakan kebutuhan akan pembangunan perpustakaan digital. Dalam
sejarahnya juga, bahwa pembangunan perpustakaan digital seperti E-Lib dan D-Lib
muncul bermula di lingkungan perguruan tinggi[3]. Hal
ini menurut penulis dikarenakan salah tujuan perpustakaan perguruan tinggi adalah untuk mendukung terlaksananya kegiatan
penelitian, --di samping kegiatan akademis lainnya di bidang pendidikan,
pengajaran dan pengabdian pada masyarakat--, dan perpustakaan digital sangat
potensial mendukung kegiatan penelitian, dan di perguruan tinggilah banyak
lahir rekaman-rekaman pengetahuan baik dalam jurnal, penelitian-penelitian,
skripsi, tesis, disertasi, makalah-makalah, dan sebagainya.
Perpustakaan
perguruan tinggi juga salah satu perpustakaan yang paling cepat beradaptasi dan
mengikuti perkembangan teknologi informasi. Dari aspek infrastruktur TI,
perpustakaan perguruan tinggi lebih siap untuk mengembangkan konsep
perpustakaan digital dibandingkan jenis perpustakaan lainnya.[4]
Terlepas dari unsur kebutuhan dan pencitraan
perpustakaan seperti di atas, mungkin perlu ada permenungan, apakah pembangunan
perpustakaan digital itu suatu kebutuhan
utama atau hanya sebagai alternatif? Model perpustakaan yang seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai perpustakaan
digital?
Perpustakaan, terutama di perguruan tinggi mulai ‘tersadar’
untuk mencoba memberikan nuansa lain dengan memberikan layanan yang berbasis
teknologi informasi. Banyak perpustakaan yang mencoba mengangkat tema ‘digital
library’ atau perpustakaan digital
sebagai bagian dari sistem terbaru layanan pengguna dalam mengantisipasi
globalisasi informasi. Walaupun sebenarnya masih ada
keraguan dalam memahami konsep ‘digital library’
secara pas dan benar.
Jangan-jangan sebetulnya apa yang dibangun hanya ‘sekedar’ digital collection belum
sampai pada sebuah sistem ‘digital
library’ secara utuh.
Pembahasan
tentang perpustakaan digital mungkin belum mendalam jika tidak dibarengi contoh
aplikasi perpustakaan digital itu sendiri, dan oleh karena itulah
tulisan/makalah ini disusun yaitu dengan
tujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang konsep perpustakaan digital, urgensi
pembangunan perpustakaan digital di perguruan tinggi serta menganalisis model
perpustakaan digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi objek penulisan
makalah ini.
B. Konsep
Perpustakaan Digital
B.1.
Pengertian
Menurut Pendit[5], istilah
perpustakaan digital adalah terjemahan langsung dari ‘digital libraries’, sebuah istilah yang lahir dan berkembang di
Amerika Serikat dan menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Ketika istilah ini
mulai popular di Indonesia, muncul pendapat-pendapat yang –jika dilihat secara
umum-- memiliki dua titik ekstrim. Pada titik ekstrim pertama adalah pandangan yang menganggap bahwa perpustakaan
digital adalah sesuatu yang baru sama sekali dan tidak punya hubungan apa-apa
dengan, perpustakaan biasa, atau ‘perpustakaan tradisional’. Sedangkan di titik
ekstrim lainnya adalah pandangan yang menganggap bahwa perpustakaan digital
semata-mata adalah penggunaan computer di perpustakaan.
Di penghujung 1990-an,[6]
ketika potensi teknologi informasi untuk mendirikan perpustakaan digital sudah
‘matang’ dipersiapkan di laboratorium, masih muncul keraguan di kalangan
pustakawan maupun perancang teknologi tentang apa yang sebenarnya dimaksud
dengan ‘perpustakaan digital’ itu sendiri. Keraguan ini antara lain disebabkan
oleh dipertahankannya kata “perpustakaan” dan oleh kenyataan bahwa sebelum
istilah ini popular, sudah ada istilah-istilah lain[7],
yaitu electronic library (atau
e-library) dan virtual library.
Johnson dan Magusin[8]
menggunakan analisis yang digunakan oleh Christine L. Borgman, yang telah
mengidentifikasi dua aliran utama dalam definisi perpustakaan digital.
Satu
aliran merupakan fokus teknis dan dikemukakan terutama oleh
peneliti perpustakaan
digital. Penekanan
mereka adalah pada perpustakaan digital sebagai konten yang dikumpulkan
atas
nama masyarakat pengguna. Umumnya, definisi ini mencakup kemampuan teknologi
seperti
metode untuk penciptaan/kreasi, organisasi, pemeliharaan/maintenance, akses dan
temu kembali koleksi informasi. Aliran lain yang diidentifikasi
oleh Borgman
mengalamatkan pada tantangan praktis dari
perubahan institusi perpustakaan, dan dikemukakan oleh pustakawan
yang fokus pada perpustakaan digital sebagai institusi atau jasa.
Mengacu
pada analisisnya Borgman, penulis akan mengambil dua contoh definisi
perpustakaan digital, yaitu
a.
Perpustakaan digital adalah:
“a focused collection of digital objects, including
text, video, and audio, along with methods for access and retrieval, and for
selection, organization, and maintenance of the collection”.[9](Perpustakaan
digital menekankan koleksinya pada objek digital, termasuk teks, video, dan
audio, bersama dengan metode-metode untuk akses dan temu kembali, seleksi,
organisasi dan pemeliharaan koleksi).
Jadi perpustakaan digital adalah
mengenai cara-cara baru yang berhubungan dengan pengetahuan—memelihara,
mengumpulkan, mengorganisasikan, penyebaran dan akses pengetahuan—bukan tentang
mendekonstruksi keberadaan institusi-institusi dan menaruhnya pada kotak
elektronik. Definisi ini barangkali sejalan dengan definisi perpustakaan
digital sebagaimana menurut Arms[10], yang
intinya bahwa perpustakaan
digital adalah kumpulan informasi yang disimpan dalam format digital dan dapat
diakses lewat jaringan.
b. Adapun
definisi yang mengacu pada analisis kedua Borgman adalah seperti pendapat Saffady
bahwa perpustakaan digital adalah perpustakaan yang mengelola semua atau
sebagian koleksi dalam format yang dapat diakses komputer sebagai alternatif
atau pelengkap sumber-sumber informasi cetak yang konvensional“ (Saffady, http://home.wlu.edu/DigiLib).
Definisi yang dikemukakan Saffady
di atas mirip dengan pengertian perpustakaan hibrida yang dikemukakan oleh
Rolands dan Bawden. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan tahapan
perpustakaan yang dibuat oleh Rolands dan Bawden seperti yang akan ditulis pada
poin B.3 yaitu mengenai model perpustakaan digital (halaman 9).
Definisi Saffady tentang
perpustakaan digital memang berbeda dengan Rolands dan Bawden terutama terkait
dengan koleksi tercetak yang masih tetap mendapat tempat di Saffady sedangkan
Rolands dan Bawden sudah meninggalkannnya. Walau demikian, pendapat Saffady ini
sebenarnya ada kaitannya dengan sikap Rolands dan Bawden yang tidak
mementingkan bentuk karena secara historis munculnya perpustakaan digital
(khususnya di dunia kepustakawanan) merupakan continuum (rentang berkelanjutan) dari perpustakaan konvensional[11].
Secara definitif memang akan sulit
untuk menentukan pilihan di antara kedua definisi yang berbeda. Namun menurut
penulis, bahwa definisi perpustakaan digital menurut Saffady ini lebih bisa diterima
sebagai konsep perpustakaan digital
di Indonesia, karena bagaimanapun lahirnya perpustakaan digital di dunia kepustakawanan tidak bisa lepas
dari konsep perkembangan perpustakaan dari perpustakaan konvensional ke
perpustakaan digital, sebagaimana Chowdhury
dan Chowdhury mengambil definisi yang lebih komprehensif dari perpustakaan
digital. Chowdhury mengutip definisi perpustakaan digital dari Gladney et.al.
sebagai berikut:[12]
“A digital
library is an assemblage of digital computing, storage, and communications
machinery together with the content and software needed to reproduce, emulate,
and extend the services provided by conventional libraries based on paper and
other material means of collecting, cataloging, finding, and disseminating
information. A full service digital library must accomplish all essential
services of traditional libraries and also exploit the well-known advantages of
digital storage, searching, and communication.
Sebuah perpustakaan digital adalah satu himpunan
komputasi digital, penyimpanan, dan mesin komunikasi bersama-sama dengan konten
dan software yang dibutuhkan untuk mereproduksi, meniru, dan memperluas layanan
yang disediakan oleh perpustakaan konvensional berbasis kertas dan bahan lain, berarti pengumpulan, katalogisasi, menemukan,
dan menyebarkan informasi. Sebuah layanan
perpustakaan digital penuh harus mencapai semua layanan penting dari
perpustakaan tradisional dan juga memanfaatkan berbagai keuntungan terkenal
dari penyimpanan digital, pencarian, dan komunikasi.
Yang jelas, walaupun secara definitif
ada perbedaan karena perbedaan sudut pandang, namun tujuan intinya sama yaitu
untuk penciptaan informasi, kemudahan penyebaran dan akses informasi,
sebagaimana Rolands dan Bawden[13]
menghindari pembicaraan tentang bentuk (form),
melainkan berkonsentrasi pada proses.
B.2.
Karakteristik
Untuk
lebih memahami perpustakaan digital, ada baiknya kita mengetahui karakteristik
dari perpustakaan digital itu sendiri. Ada beberapa karakteristik perpustakaan
digital sebagaimana yang ditulis oleh Chowhdury
and Chowdhury[14],
yang dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
1.
Perpustakaan
digital berisi berbagai sumber-sumber informasi digital baik itu berupa teks,
gambar, audio, maupun video.
2.
Perpustakaan
digital mengurangi kebutuan teradap ruang fisik sebagaimana untuk membangun dan
memelihara perpustakan tradisional.
3.
Pengguna
perpustakaan digital bisa tersebar di
manapun di dunia,
4.
Berbeda
dengan perpustakaan tradisional, pengguna perpustakaan digital memungkinkan
membangun koleksi pribadi mereka dengan menggunakan berbagai fasilitas yang
disediakan oleh perpustakaan digital. (personalisasi)
5.
Perpustakaan
digital menyediakan akses ke berbagai bentuk sumber-sumber informasi yang
mungkin terletak di server yang berbeda, dan oleh karena itu infrastruktur, interoperability, dan sebagainya, adalah
isu-isu penting dalam pengembangan dan manajemen perpustakaan digital.
6.
Beberapa
pengguna bisa menggunakan sumber
informasi yang sama pada waktu yang sama di mana ini tidak mungkin terjadi dalam
perpustakaan tradisional (ada resource
sharing dan sifatnya yang
simultanously).
7.
Perpustakaan
digital mempunyai perubahan paradigma yang tidak saja dalam penggunaan
informasi (dari print ke digital), tetapi juga paradigma dalam konsep
kepemilikan (ownership). Banyak
perpustakaan digital yang menyediakan akses ke materi-materi yang tidak mereka
miliki, baik yang bisa diperoleh secara gratis maupun berbayar (access vs ownership)
8.
Perpustakaan
pada tahun-tahun yang lalu mempunyai kebijakan pengembangan koleksi seperti
mekanisme penyaringan (seleksi) yang baik. Staff perpustakaan tidak perlu
menyediakan koleksi jika koleksi tersebut sudah tersedia di tempat lain. Mereka
hanya menyeleksi yang sesuai dengan target pengguna. Perpustakaan digital harus
bisa meng-handel sumber-sumber informasi dari berbagai bahasa.
9.
Perpustakaan
digital mensyaratkan perantara manusia secara tidak langsung, oleh karena itu
mekanisme kepatutan menempatkan ruang untuk mendukung pemakai dengan semua
level yang berbeda dari IT, subjek, dan kemampuan bahasa. (ada standarisasi/interoperability)
Peran
pustakawan juga berubah[15], karena
pustakawan semakin dibutuhkan untuk menawarkan dukungan
teknis untuk pengguna yang mengakses perpustakaan online dan untuk memberikan instruksi dalam menemukan
dan menggunakan sumber daya informasi elektronik.
10. Perpustakaan digital harus
diikuti dengan fasilitas untuk mencari (searching)
dan temu kembali (retreieval) yang
lebih baik.
11. Informasi digital bisa dipandang
dan digunakan oleh masyarakat yang berbeda sesuai dengan kebutuhan individu
mereka.
12. Perpustakaan digital bisa memutus
hambatan waktu, ruang, dan bahasa. Idealnya, pengguna-pengguna dari berbagai
tempat di dunia bisa menggunakan perpustakaan digital kapan saja dan dari
berbagai bahasa.
Karakteristik
tersebut juga sama dengan karakteristik yang dibuat oleh Tedd dan Large.
Menurut mereka, secara ringkas karakteristik perpustakaan digital antara lain[16]:
1. Harus
mempunyai sumber informasi elektronik.
2. Berada
pada jaringan yang tersebar.
3. Memiliki
konten baik data maupun metadata.
4. Koleksinya
diseleksi dan diorganisir untuk komunitas pengguna.
5. Perpustakaan
digital bisa memperluas, meningkatkan atau mengintegrasikan berbagai betuk
istitusional termasuk perpustakaan, museum dan lembaga arsip.
6. Perpustakaan
digital menekankan pada pentingnya stabilitas koleksi.
Pada
poin 6, terlihat Tedd sudah memperhitungkan pentingnya upaya preservasi koleksi
digital.
B.3.
Model Perpustakaan Digital
Mengenai
model dasar digitalisasi perpustakaan, Pendit[17]
telah menguraikan beberapa model, yaitu:
B.3.1.
Model Rolands dan Bawden
Menurut Rolands dan Bawden, model
perpustakaan digital merupakan sebuah continuum
(rentang berkelanjutan) dari perpustakaan “biasa”. Model Rolands dan Bawden ini
menggambarkan perkembangan perpustakaan “biasa” ke perpustakaan digital melalui
beberapa tahapan, yaitu
1)
Perpustakaan, di dalamnya terdiri dari
gedung, lokasi fisik, ruangan baca, meja referensi, dan sebagainya.
2)
Perpustakaan elektronik, di dalamnya
terdiri dari gedung, lokasi fisik, koleksi tercetak dan elektronik, ruangan
baca, meja referensi, dan sebagainya.
3)
Perpustakaan hibrida, yang di dalamnya
terdiri dari gedung, lokasi fisik dan internet, koleksi tercetak dan elektronik
serta digital, ruangan baca, meja referensi dan referensi maya, ruangan maya
(virtual).
4)
Perpustakaan digital, di dalamnya
terdiri dari dengan atau tanpa lokasi fisik, koleksi digital, ruang dan
referensi maya.
5)
Perpustakaan maya, di dalamnya terdiri
dari tanpa lokasi fisik, koleksi seluruhnya digital, ruang dan referensi maya.
Dengan
pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep perpustakaan digital dari
Safaddy, maka konsep perpustakaan hibrida dari Rolands dan Bawden cocok dengan
konsep perpustakaan digital dari Saffady, namun jika melihat kategori keempat
(perpustakaan digital) maka Rowands dan Bawden menganut konsep perpustakaan
digital menurut Arms.
Walaupun Rolands dan Bawden
menggambarkan model perpustakaan seperti di atas, namun sebenarnya keduanya
tidak mau terjebak pada perdebatan tentang bentuk atau lokasi. Keduanya lebih berkonsentrasi pada proses, yaitu
rencana, implementasi dan evaluasi.
Ada dua hal penting dalam model
Rolands dan Bawden yang disebutnya sebagai conceptual
framework, yaitu dunia pemikiran
(ide) dan dunia praktik. Di antara
dua dunia ini dihubungkan oleh teknologi. Dunia ide menunculkan ranah system
(menyangkut interaksi manusia-komputer, perangkat lunak dan arsitektur system),
ranah informasional (menyangkut organisasi pengetahuan, simpan-temu-kembali
pengetahuan, dan implikasi bagi proses transfer informasi) serta ranah social
(menyangkut keterampilan dan keberaksaraan informasi, dampak pada organisasi
dan kegiatannya, kebijakan, peraturan dan perundangan tentang informasi). Maksudnya
adalah, keseluruhan kegiatan perpustakaan sebenarnya merupakan upaya menerapkan
teknologi, khususnya teknologi informasi, di berbagai bidang kehidupan. Dalam
hal ini, buku juga sebuah teknologi informasi, tetapi menggunakan mesin cetak
(kecuali kalau namanya “buku elektronik”). Jadi, kalau pun sekarang kita bicara
tentang perpustakaan digital, maka persoalan yang kita hadapi tetap serupa
dengan saat pada pendahulu kita bicara tentang perpustakaan berkoleksi daun
lontar, perpustakaan kertas, atau perpustakaan video, yaitu bahwa perpustakaan
adalah sebuah upaya menghimpun dan menerapkan ide manusia ke dalam praktik
dengan menggunakan teknologi informasi. Kesimpulannya adalah ketiga ranah
tersebut terjadi pada semua perpustakaan karena memang hampir sulit menemukan
perpustakaan yang tidak menggunakan perangkat komputer.
Rolands dan Bawden memang tidak
membedakan secara jelas antara perpustakaan hibrida dengan perpustakaan
digital. Rupanya keduanya agak berat untuk meninggalkan konsep kepustakawanan
konvensional yang juga berperan dalam membangun konsep perpustakaan digital dengan
alasan:
a.
Antara dunia praktik dengan dunia
pikiran tidak bisa dipisahkan, dan di antara kedua dunia ini ada teknologi yang
menyertainya, sementara yang dimaksud perpustakaan hibrida menurut Rowlands dan
Bawden adalah masih dipertahankannya gedung, lokasi fisik + internet, koleksi
tercetak dan elektronik dan digital, ruangan baca, meja referensi + referensi
maya + ruang maya (virtual).
b.
Rupanya Rowlands dan Bawden masih
mempertahankan konsep kepustakawanan (tentang fungsi perpustakaan) yang
menyangkut tiga pilar utama, yaitu ranah social, ranah informasional dan ranah
system.
c.
Teknologi menurut keduanya lebih
dijadikan komponen pendukung dunia praktek, walaupun saat ini teknologi tidak
bisa ditinggalkan perpustakaan. Bisa jadi keduanya mengimplementasikan salah satu hukum
kepustakawanan Ranganathan, bahwa perpustakaan adalah organisasi yang
berkembang, salah satunya adalah upaya mengadopsi kemajuan teknologi tanpa
harus meninggalkan prinsip-prinsip kepustakawanan yang telah ada.
Pendit
melihat bahwa apa yang dikonsepkan Rolands dan Bawden membantu kita melihat
perpustakaan digital sebagai sistem
sosial, bukan melulu sebagai alat atau teknologi. Server di internet
bukanlah perpustakaan digital, demikian pula sekumpulan CD atau DVD yang berisi
aneka informasi bukanlah perpustakaan digital. Keseluruhan kegiatan, layanan,
pengelolaan, penyediaan, dan evaluasi yang tergambar di atas itulah yang dapat
disebut perpustakaan digital.
B.3.2.
Model DELOS
Model DELOS menggambarkan
perpustakaan digital sebagai three-tier
framework atau sebuah kerangka dengan tiga pilar, yaitu:
1)
Digital
library (DL) sebagai sebuah organisasi
Menurut
DELOS organisasi ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Yang dimaksud organisasi
yang virtual adalah organisasi yang tidak punya kontak fisik dengan masyarakat
penggunanya dalam bentuk jasa wawan-muka
(interface) sehingga pengguna tidak
bisa meraba atau melakukan kontak fisik dengan perpustakaan (remote libraries).
Hal-hal
penting yang berkaitan dengan model perpustakaan digital DELOS adalah
a.
DELOS lebih menekankan organisasi secara
substansial yaitu sebagai sebuah sistem manajerial. Perpustakaan digital selalu
harus secara serius mengumpulkan, mengelola, dan melestarikan koleksi digital
untuk ditawarkan kepada masyarakat dalam bentuk yang fungsional dengan kualitas yang terukur dan berdasarkan kebijakan
yang jelas.
b.
Model DELOS lebih menekankan “koleksi
digital” dengan tujuan untuk membedakan perpustakaan ‘biasa’ dan perpustakaan
digital (tidak memasukkan koleksi yang printed).
c.
Model DELOS lebih mengarahkan tujuan
pembangunan digital yaitu untuk preservasi koleksi sehingga koleksi ini
nantinya selalu fungsional.
d.
Sekiranya masih ada koleksi yang non
digital maka koleksi tersebut harus dikelola dengan berbantuan computer untuk
memastikan agar semua koleksi dapat berfungsi dengan baik untuk melayani
keperluan masyarakat. Jadi model DELOS memandang penting konsep accessable koleksi.
2)
Digital
library system (DLS) sebagai sebuah system perangkat
lunak
Untuk membangun perpustakaan
digital diperlukan sebuah perangkat lunak yang fungsional yang disebut dengan
“aplikasi”. Perangkat lunak aplikasi ini disebut dengan Digital Library System,
berfungsi untuk mendukung dua kegiatan utama, yaitu:
ü Menjalankan
sebuah system yang menjadi fungsi utama
(mengumpulkan, mengelola, menyediakan) informasi digital, termasuk menyediakan
akses kepada pengguna, dan
ü Mengintegrasikan
berbagai perangkat tambahan agar dapat menawarkan fungsi lain yang lebih
spesifik bagi keperluan tertentu.
Sebagai
sebuah sistem perangkat lunak, maka DLS harus berdasarkan pada arsitektur
informasi tertentu untuk mendukung semua fungsi perpustakaan digital di atas
(yakni mengumpulkan, mengolah, dan menyediakan informasi). Secara khusus,
arsitektur informasi DLS adalah arsitektur informasi tersebar (distributed), yaitu dengan menyediakan
link-link ke berbagai sumber informasi lain.
DLS
ini penting untuk mendukung konsep preservasi dan pendayagunaan koleksi yang
ditawarkan DELOS sehingga koleksi digital bisa fungsional.
Berkaitan dengan system “arsitektur
informasi tersebar” ini, Pendit menganalisis empat hal[18],
yaitu:
a. Munculnya
frasa digital libraries (bukan digital library), yang berarti perpustakaan digital “is not a single entity”, perpustakaan
digital “requires technology to link the
resources of many”. Dengan demikian perpustakaan digital memerlukan
teknologi untuk menghubungkan berbagai sumberdaya informasi tersebar, dan
inilah salah satu karakteristik perpustakaan digital menurur Tedd yaitu “Digital libraries exist in distributed
networks”.
b. Munculnya
peran pustakawan sebagai information
navigator atau cybernavigator.
c. Konsep
distributed (ketersebaran digital)
mirip dengan konsep kerjasama antar perpustakaan (library coorperation) dan pinjam antar perpustakaan (interlibrary loan). Di sini nampak
sekali bahwa Pendit tidak ingin begitu saja melepaskan ikatan emosionalnya
dengan konsep-konsep kepustakawanan pada perpustakaan tradisional.
d. Dalam
perpustakaan digital, walaupun menyediakan link-link yang tersebar namun tetap
terintegrasi dalam satu fasilitas. Pendit menyebutnya sebagai “bhineka tunggal
ika”.
3)
Digital library management system
(DLMS)
Untuk
membuat sebuah aplikasi seperti DLS di atas, diperlukan sistem perangkat lunak
induk yang dalam model DELOS ini disebut sebagai Digital Library Management
System atau sistem manajemen perpustakaan digital. DLMS tergolong sebagai
perangkat lunak system. Saat ini perangkat lunak yang ditawarkan baik secara
gratis maupun semigratis antara lain DSpace, Greenstone, Fedora, Koha, dan
sebagainya.
Hal terpenting dalam
memilih DLMS adalah
a.
Kemampuannya untuk menghasilkan sebuah
system yang memenuhi semua fungsi perpustakaan digital sebagaimana diuraikan di
atas.
b.
Sistem mampu memahami keperluan berbagai
pihak yang harus ada di dalam sebuah institusi perpustakaan digital.
Model
DELOS ini merinci empat “pemeran utama” dalam sebuah system managemen perpustakaan
digital, yaitu:
a.
DL end-users
atau pengguna perpustakaan digital sebagai pihak yang memanfaatkan
fungsi-fungsi perpustakaan yang sudah digitalisasi. Para pengguna akan melihat
perpustakaan digital sebagai entitas dalam keadaan siap (statefull entity) yang menjalankan fungsi-fungsi sesuai kebutuhan
mereka.
b.
DL designers
adalah para perancang yang, dengan menggunakan pengetahuan mereka, merancang,
menyesuaikan, dan memelihara system perpustakaan digital berdasarkan kebutuhan
fungsional maupun kebutuhan informasi para pengguna. Agar dapat melakukan
tugasnya, para perancang ini berintraksi dengan administrator system dan
pengembang melalui digital library management system.
c.
DL system administrator atau
administrator system perpustakaan digital merupakan pihak yang memilih dan
menetapkan komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi perpustakaan digital. Para administrator juga menggunakan DLMS untuk
merancang parameter dan konfigurasi system. Tugasnya adalah mengenali
konfigurasi apa yang paling tepat untuk system perpustakaan digital yang
dikelolanya agar dapat menghasilkan luaran yang berkualitas.
d.
DL Aplication developers adalah pihak
yang secara teknis menggunakan DLMS untuk mengembangkan komponen-komponen
pembentuk DLS. Mereka menggunakan berbagai perangkat kerja yang sesuai untuk
mengembangkan fungsi sebagaimana dikehendaki pengguna dan dirancang oleh
administrator dan perancang tersebut.
B.3.3. Model OAIS
OAIS (Open
Archival Information system) diusulkan oleh Consultative Committee for Space
Data System (CCSDS) yang didirikan tahun 1982. Model ini merupakan model
pengarsipan (archival) dan menekankan
pada fungsi pelestarian atau preservasi. Namun pengarsipan dan pelestarian di
sini bukanlah hanya menyimpan, mengawetkan, atau mempertahankan bentuk, melainkan
memastikan agar informasi selalu tersedia untuk dimanfaatkan selama mungkin.
kata ‘lestari’ di sini berarti tersimpan dan dapat ditemukan kembali kapanpun
diperlukan. Sebab itulah model ini dapat digunakan untuk
pengembanganperpustakaan digital.
Model OAIS sesungguhnya hendak menegaskan bahwa
fungsi sebuah perpustakaan digital adalah memastikan semua koleksi digital
berada dalam status ‘selalu tersedia’. Menurut model OAIS saripati perpustakaan
digital terletak pada kemampuan teknologi dalam menjamin ketersediaan dan
kebergunaan semua koleksi dalam rentang waktu yang lama, bahkan kalau perlu
selama-lamanya selama listrik masih ada.
Menurut model OAIS, sebagai sebuah organisasi,
perpustakaan digital memiliki tiga bagian atau unsure yang saling berkaitan
yaitu,
a. lingkungan
luar atau eksternal tempat sebuah OAIS berkegiatan. Di lingkungan ini terdapat
komponen produsen, konsumen, dan manajemen.
b. Lingkungan
dalam atau internal yang berisi perangkat, komponen-komponen fungsional, dan
mekanisme keja OAIS untuk menyelenggarakan kegiatan pelestarian.
c. Paket
informasi dan objek yang dicerna (ingested),
dikelola (managed), dan disebarkan (disseminated).
Jika suatu perpustakaan menggunakan model OAIS maka
perpustakaan digital adalah institusi yang berada di antara pihak yang
menghasilkan informasi dan pihak yang memanfaatkan informasi itu, serta pihak
yang mengelolanya sebagai organisasi (disebut sebagai pihak “manajemen”).
C. Analisis
Pengembangan Model Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
1. Sejarah dan koleksi
Sebelum mengarah kepada pembahasan model
perpustakaan digital UIN maka perlu dijelaskan alasan perlunya dibangun perpustakaan digital. Tedd
and Large[19]
menjelaskan alasan-alasan dalam membangun sebuah perpustakaan digital, antara
lain:
a.
perpustakaan digital memungkinkan untuk
akses melalui jaringan-jaringan yang tersebar.
b.
Perpustakaan tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk dapat memiliki semua koleksinya dan tidak perlu tempat fisik untuk
menempatkannya.
c.
Memungkinkan banyak pengguna untuk mengkonsultasikan
perpustakaan digital dari berbagai lokasi seperti dari rumah, sekolah,
universitas, kantor, cybercafé, bukan hanya di perpustakaan, museum atau kantor
arsip.
d.
Perpustakaan digital bisa menyediakan
fitur-fitur untuk search dan browse tingkat tinggi, dan memungkinkan
dokumen-dokumen diunduh atau dipindahkan ke dokumen lain.
e.
Perpustakaan digital dapat menyediakan
pelayanan yang mendukung aktivitas seperti pendidikan jarak jauh (e-learning), e-commerce, dan fasilitas kerja yang tergabung dengan orang-orang
yang secara geografis terpencar.
f.
Mengurangi biaya penyimpanan layaknya
penyimpanan dokumen-dokumen tradisional yang ditaruh di rak, dan menambah kemampuan
untuk temu kembali.
Alasan inilah
juga yang melatarbelakangi dibangunnya Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta sebagaimana pembangunan perpustakan di perguruan tinggi lainnya.
Perpustakaan
digital UIN resmi di-launching pada
tahun 2008 sebagai upaya untuk menyimpan dan menyebarkan terbitan-terbitan
local (local content) terutama
jurnal-jurnal ilmiah dan laporan penelitian di lingkungan UIN Sunan Kalijaga.[20]
Dalam
perkembangannya, digilib UIN juga sudah menerima koleksi-koleksi skripsi dalam
bentuk PDF, di samping mengalihbentukkan koleksi skripsi ke dalam bentuk
digital. Berikut data koleksi digilib yang diakses[21]:
2. Alamat Situsnya
3. Tampilan
Menu
(terlampir)
4. Program
Aplikasi dan Software
Program aplikasi yang digunakan
adalah GDL 4.2 yang berbasis open source,
yang didukung dengan software Apache,
Free BSD, dan Adobe Reader 7 Profesional yang digunakan untuk mengolah local content.[22]
5. Analisis Terhadap Model Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Menarik apa yang ditulis oleh Pendit[23]
bahwa dalam konteks perguruan tinggi, konsep perpustakaan digital semakin jelas
memperlihatkan kesinambungan mulai dari pustaka sampai digital. Peradaban
perguruan tinggi di manapun selalu dibangun di atas pondasi berupa pengetahuan
terekam. Sejak teknologi rekaman hadir, sejak itu pulalah dunia akademisi
menjadi pengguna paling aktifnya. Buku dan jurnal ilmiah sebagai ‘anak emas’
teknologi cetak mencetak adalah sahabat para ilmuan sampai sekarang. Oleh
karena itu perpustakaan digital salam konteks perguruan tinggi mudah dilihat
sebagai suatu kesinambungan alamiah, bukan sesuatu yang sama sekali baru.
Penggunaan komputer untuk pengelolaan informasi
segera menjadi solusi teknologi bagi upaya kepustakawanan dalam mengubah
orientasinya. Tidaklah mengherankan jika salah satu fungsi komputerisasi yang
sangat mendapatkan perhatian para teknolog adalah fungsi menyimpan dan
menemukan kembali informasi. Dalam konteks inilah kelahiran perpustakaan
digital dapat dilihat sebagai bagian dari pasang surut kepustakawanan secara
keseluruhan. Dapat pula dikatakan perpustakaan digital adalah solusi teknologis
bagi persoalan-persoalan yang dihadapi kepustakawanan di era teknologi
ini.
Ada beberapa hal yang perlu kami analisa berkaitan
dengan Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga, antara lain:
1) Perpustakaan
Digital UIN sudah bisa dikategorikan sebagai Perpustakaan Digital, karena sudah
memenuhi sebagian besar karakteristik perpustakaan digital menurut Chowhdury
and Chowdhury maupun Tedd dan Large. Karakteristik sebagai perpustakaan digital
antara lain ditandai dengan:
a. adanya
koleksi digital yang bisa diakses melalui jaringan (walaupun baru tersedia pada koleksi teks dan audio),
b. potensi
pemustaka yang tersebar dan bisa mengakses digilib dimanapun dan kapanpun
melalui remote libraries,
c. menyediakan
akses informasi ke berbagai link, seperti ke UIN Sunan Kalijaga ( http://www.uin-suka.ac.id/),
ke Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga (http://www.lib.uin-suka.ac.id/),
ke OPAC Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga (http://opac.uin-suka.ac.id/)
dan ke Jogjalib (pada waktu diakses kondisi sedang error),
d. menyediakan
fasilitas untuk searching dan retrieval informasi.
e. Memiliki
konten baik data maupun metadata.
Untuk
akses data secara full text, perpustakaan digital UIN mewajibkan kepada member
untuk melakukan registrasi terlebih dahulu.
Adapun
untuk karakteristik yang terakhir, di mana Perpustakaan digital perlu menekankan
pada pentingnya stabilitas koleksi, perpustakaan digital UIN belum secara
tertulis dan jelas memiliki kebijakan tentang itu, di samping tidak adanya
kepastian dari program GDL 4.2 untuk bisa menjamin stabilitas koleksi.
2) Sementara
dilihat dari komponen-komponen yang mendukungnya, maka digilib UIN masuk
kategori model DELOS, karena:
a.
Model DELOS menegaskan bahwa organisasi
ini dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak. Perpustakaan digital UIN
walaupun dalam kontak antara organisasi virtual dan masyarakat terjadi lewat
jaringan komputer atau internet, namun juga masih mempertahankan fasilitas
fisik/gedung perpustakaan yang memungkinkan pengelola dan masyarakat pengguna
bisa bertemu.
b.
Digilib UIN sebagai sebuah organisasi,
telah secara serius meng-organized
proses kerjanya, yaitu melakukan kegiatan pengumpulan, mengelola dan melestarikan
koleksi digital agar koleksinya bisa
fungsional bagi para penggunanya.
c.
jelas di digilib itu sudah ada perangkat
lunak yang digunakan yaitu antara lain: Apache, Free BSD, Adobe Reader 7
Profesional yang digunakan untuk mengolah local
content, [24]
d.
ada manajemen system perpustakaan
digital sebagai perangkat lunak induk yang bisa menghasilkan sebuah system yang
memenuhi semua fungsi perpustakaan digital. Untuk DLMS ini, perpustakaan Digital
UIN Sunan kalijaga menggunakan program aplikasi open source GDL 4.2. Adapun pemeran utama pengguna GDL.42 ini di digilib UIN Sunan Kalijaga adalah:
a)
DL end-user atau pengguna perpustakaan
digital. DL end-user tidak hanya terbatas pada civitas akademika UIN Sunan
Kalijaga, namun juga masyarakat umum yang membutuhkan.
b)
DL Designers, yaitu para perancang yang
merancang, menyesuaikan, dan memelihara system Perpustakaan Digital berdasarkan
kebutuhan fungsional maupun kebutuhan informasi para pengguna. DL Designers di
Digilib UIN Sunan Kalijaga ditangani oleh Bagian Multimedia.
c)
DL System Administrator adalah administrator
system perpustakaan digital merupakan pihak yang memilih dan menetapkan
komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi-fungsi perpustakaan digital. DL System Administrator Digilib UIN
ditangani oleh Bagian Sistem Informasi Perpustakaan UIN.
d) DL
Application Developers adalah pihak yang secara teknis menggunakan DLMS untuk
mengembangkan komponen-komponen pembentuk DLS. Dalam hal ini yang menjadi DL
Aplication Developers adalah Knowledge Management Research Group (KMRG)
Institut Teknologi Bandung.[25]Namun
mulai Tahun 2004 perpustakaan digilib UIN sudah tidak menggunakan KMRG lagi.
3) Sebagai
pengguna Digilib UIN Sunan Kalijaga, menurut kami Digilib UIN Sunan Kalijaga
masih perlu meningkatkan kriteria perpustakaan digital sebagaimana diuraikan Chowhdury and Chowdhury
maupun Tedd dan Large, terutama berkaitan dengan koleksinya yang masih terbatas
pada teks, belum ada gambar, video, maupun audio visual, serta terbatasnya link
ke berbagai sumber informasi lain. Di samping itu juga perlu adanya program
aplikasi yang bisa menjamin stabilitas koleksi sampai kapan pun.
D. Kesimpulan
dan Saran
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Membangun perpustakaan digital perguruan
tinggi merupakan suatu kebutuhan untuk melengkapi dan menambah jasa layanan di
perpustakaan terutama layanan yang berbasis teknologi.
2.
Apapun modelnya, dari ketiga model yang
telah disebutkan sebenarnya sama, yaitu bahwa perpustakaan digital dibangun
dalam rangka menciptakan, menghimpun, mengolah dan menyajikan dan melestarikan rekaman-rekaman
informasi berbantuan teknologi serta
jaringan informasi dengan tujuan untuk kemudahan akses dan pendayagunaan
bersama sumber informasi.
3.
Terlepas dari kekurangan yang ada, Perpustakaan
Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bisa dikategorikan Perpustakaan Digital.
4.
Baik secara organisatoris maupun dilihat
dari komponen yang mendukung, perpustakaan digital UIN menggunakan model
Perpustakaan Digital menurut model DELOS.
Berangkat dari kekurangan yang kami
dapati dari layanan Digilib UIN Sunan Kalijaga, maka kami memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1.
Perpustakaan UIN dengan koleksinya yang
mencapai ribuan judul maupun eksemplarnya, ditambah dengan potensi rekaman-rekaman
informasi yang tumbuh di lingkungan UIN perlu kiranya meninjau kembali program
aplikasi yang digunakan.
2.
Karena salah satu karakteristik
perpustakaan digital adalah adanya jaminan stabilitas koleksi, maka perlu dibuatkan
kebijakan untuk stabilitas koleksi.
3.
Perlu menambah jenis koleksi seperti
koleksi gambar maupun audio visual.
4.
Menambah fasilitas link ke berbagai
sumber informasi, yang tidak saja menyediakan metadata tetapi juga data yang bisa
diakses secara fulltex.
DAFTAR
PUSTAKA
Arms, W.Y. (2001) , Digital Libraries, Cambridge, Massachusetts.
Chowdhury,
G.G. and Chowdhury, Sudatta (2003), Introduction to Digital Libraries London:
Facet Publishing.
Johnson,
Kay and Magusin, Elaine (2005). Exploring
the Digital Library: a Guide for Online Teaching and Learnin. San Francisci: John Wiley & Sons.
Pendit, Putu Laxman, dkk. (2007).
Seri Perpustakaan dan Informasi 1:
Perpustakaan Digital Perspektif Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta:
Perpustakaan Universitas Indonesia dan Sagung Seto.
Putu
Laxman Pendit, (2008). Perpustakaan
Digital dari A – Z. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
Pendit,
Putu Laxman (2009). Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika.
Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri.
Ted,
Lucy and Large, Andrew (2005). Digital Libraries: Principle and Practice in
a Global Environment. Munchen: K.G. Saur.
Witten,
Ian H., Bainbridge, David and Nichols, David
M. (2010), How to Build a Digital
Library, 2nd ed., Amsterdam: Elsevier.
http://digilib.uin-suka.ac.id/
diakses pada tanggal 16
Maret 2012 jam 13. 50 WIB.
[1] Makalah telah dipresentasikan di
Kelas A pada tanggal 27 Maret 2012 dan telah direvisi berdasarkan berbagai masukan.
[2] Adalah mahasiswa Program Studi Interdicplinary
Islamic Studies Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2011-2012.
[3] Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital dari A – Z
(Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2008), hlm. 7.
[5]
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital dari …, hlm. 2.
[6]
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan
Dinamika (Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri, 2009), hlm. 17.
[7]
Johnson dan Magusin juga
mengatakan bahwa sinonim untuk perpustakaan digital
meliputi perpustakaan
virtual, perpustakaan elektronik, dan
perpustakaan
tanpa dinding (2005: 7)
[8] Kay Johnson and Elaine Magusin, Exploring the Digital Library: a Guide for
Online Teaching and Learning (San Francisci: John Wiley & Sons, 2005),
hlm. 7.
[9] Ian H. Witten, David Bainbridge
and David M. Nichols, How to Build a
Digital Library, 2nd ed., (Amsterdam: Elsevier, 2010), hlm. 7.
[11]
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan …,
hlm. 17.
[12]
G.G. Chowdhury and Sudatta
Chowdhury, Introduction to Digital
Libraries (London: Facet Publishing, 2003), hlm. 6.
[14] G.G. Chowdhury and Sudatta
Chowdhury, Introduction to …, hlm.
8-9.
[15] Kay Johnson and Elaine Magusin,
Exploring the Digital Library: a Guide for Online Teaching and Learning (San
Francisci: John Wiley & Sons, 2005), hlm. 10.
[16]
Tedd, L. A., & Large, A. ,
Digital Libraries: Principles and Practice in a Global Environment (Munchen:
K.G. Saur, 2005) hlm. 16 – 19.
[17]
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan…, hlm.
17 – 38..
[18]
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital: Kesinambungan…, hlm.
23 – 24.
[19] Lucy A. Tedd and Andrew Large, Digital Libraries…, hlm. 21.
[20] Wawancara dengan Sdr. Taufiq
Kurniawan pada tanggal 15 Maret 2012.
[22]
Wawancara dengan Sdr. Edi
Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.
[23]
Putu Laxman Pendit, dkk. Seri Perpustakaan dan Informasi 1:
Perpustakaan Digital Perspektif Perguruan Tinggi Indonesia (Jakarta:
Perpustakaan Universitas Indonesia dan Sagung Seto, 2007), hlm 2
[24] Wawancara dengan Sdr. Edi
Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.
[25]
Wawancara dengan Sdr. Edi
Prasetya pada tanggal 17 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar