Selasa, 15 Januari 2013

Mengapa Melanggar Hak Cipta?



Mengapa Melanggar Hak Cipta?
Oleh: Rohana (mahasiswa IPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)
Taukah kita siapa sebenarnya pengarang kitab kuning “Perukunan Jamaluddin” yang terkenal itu? Saya memulai tulisan ini  dengan pertanyaan demikian, karna dalam kitab tersebut ada muatan pelanggaran hak cipta. Sedikit saya ingin menyinggung tentang kitab Perukuan tersebut. kitab “perukunan Jamaluddin” merupakan kitab yang biasa dipakai di kalangan pesantren sebagai panduan untuk kehidupan sehari-hari. Kitabnya sederhana saja-Perukunan berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman tetapi sangat popular di antara kitab-kitab yang berisi sejenis, dan sering dicetak kembali. Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini  adalah “karangan bagi Al-‘alim al-‘allamah mufti Jamaluddin  ibn al-marhum al-‘alim al-fadhil al-syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari”. Namun diketahui bahwa ternyata bukan Jamaluddin yang mengarang kitab tersebut, melainkan keponakan beliau sendiri yaitu Fatimah yang seorang cucu dari ayah Jamaludin yaitu Arsyad al-Banjari (Bruenessen: 2012: 211). Alasan disembunyikannya nama pengarang yang sebenarnya adalah karna pekerjaan mengarang pada masa itu adalah pekerjaan laki-laki. Dan dalam dunia kitab kuning memang tidak ada copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi sudah menjadi kebiasaan.   Sekarang tentu aturan hak cipta sudah lama ada yaitu dimulai dari tahun 1982 dan mengalami beberapa kali perubahan hingga aturan terakhir yang sekarang kita pegang yaitu tahun 2002 (http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta) Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah meskipun saat ini sudah diatur mengenai hak cipta, namun masih banyak juga yang melakukan perbuatan melanggar hak cipta. Entah karna alasan uang, tambah poin, atau yang lain. keadaan ini juga terjadi karna kita belum menyadari sepenuhnya untuk apa copyright itu bagi diri sendiri dan orang lain yang membaca karya kita. Di samping itu kita belum terbiasa dengan legalitas yang sebenarnya sangat menguntungkan kita.
Apa yang saya ungkapkan tersebut mengingatkan kita bahwa sampai hari inipun masalah pelanggaran terhadap karya tulis ilmiah masih berlangsung dengan modus yang berbeda dari dahulu. Kalau dahulu lebih disebabkan alasan bias gender seperti contoh pengarang kitab kuning tersebut dan lebih disebabkan karna tidak adanya aturan hak cipta, sekarang lebih disebabkan masalah praksis semata, seperti untuk menambah angka kredit seseorang terpaksa menyuruh orang lain menulis dan mengambil nama penulis hanya untuk kepentingan angka kredit tersebut. sementara penulis hanya mendapat uang semata, artinya money oriented menjadi alasan utama di sini.
Ada juga hal atau sebab lain yaitu ketidaktahuan atau ketidaksadaran seseorang akan hak cipta itu sendiri seperti memposting tulisan orang lain di blog atau situs tertentu tanpa menyebutkan sumber atau mengutip suatu tulisan tanpa menyebutkan sumber. Pengetahuan dan kesadaran akan hak cipta sangat penting untuk menjaga kita dari penggunaan nama orang lain, memposting sumber tanpa menyebut sumber itu, atau mengutip karya orang lain tanpa menyebut sumber tersebut. kesadaran ini akan menjaga kita dari salinan atau penggandaan/peng-copy-an karya tanpa seizin pemegang hak cipta. Semoga pengalaman pengarang kitab perukunan Jamaluddin tersebut tidak terulang lagi di negeri kita dengan alasan atau modus apapun.
 Sumber: Martin van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012)
 http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta

Minggu, 13 Januari 2013



PENDEKATAN REVISIONIS DALAM STUDI ISLAM: SEBUAH PENDEKATAN SEJARAH
Oleh: Rohana[1]

A.  Pendahuluan
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan teologis normatif[2] dilengkapi dengan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberi jawaban terhadap masalah yang timbul, serta dapat dipahami secara historis-empiris sebagai risalah yang benar untuk kemudian dijadikan pedoman dalam kehidupan sekarang atau yang akan datang.
Berkenaan dengan pemikiran tersebut di atas, maka dalam memahami agama (Islam) digunakan banyak pendekatan dalam studi Islam. Pendekatan tersebut antara lain: pendekatan Antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis, teologis, pendekatan pilologi[3], dan pendekatan sejarah. Pendekatan terakhir ini, yaitu pendekatan sejarah, merupakan pendekatan yang dianggap paling penting dalam studi Islam. Cak Nur (Nurcholis Madjid) dalam Akh. Minhaji[4] secara berulang-ulang menegaskan bahwa pengetahuan Sejarah amat diperlukan dalam rangka memahami ajaran al-Qur’an secara lebih komprehensif.
Diyakini pula bahwa, tidak mungkin memahami Islam dan umat Islam secara baik pada masa kini dan juga masa mendatang tanpa pemahaman yang benar tentang Islam dan umat Islam masa lalu, atau tanpa rujukan memadai terhadap warisan Islam dan umat Islam masa lalu. Hal ini terjadi, karena banyak sekali ajaran Islam dan umat Islam masa kini (dan juga masa mendatang) yang berasal dari warisan masa lalu. Bahkan sumber ajaran yang paling asasi dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang keduanya merupakan warisan masa lalu[5].
Karena ajaran Islam yang diterapkan masa kini dan (masa mendatang) bersumber dari warisan masa lalu, maka para sejarawan (baik orang Islam maupun non Islam) mencoba mengkaji sumber-sumber tersebut melalui berbagai simbol yang mengungkap apapun yang terjadi pada masa lalu, baik itu berupa teks-teks tertulis seperti al-Qur’an, Hadits, puisi (sastra), ataupun sumber-sumber yang tidak tertulis seperti bangunan, mata uang, dan lain sebagainya. Alhasil, semua sumber warisan masa lalu tersebut bisa saja menjadi rujukan dalam pengkajian Islam. Akan tetapi, pendekatan sejarah yang digunakan oleh para pengkaji Islam baik dari sejarawan Islam maupun dari luar Islam, mendekati Islam dengan pendekatan tersebut tidaklah terlepas dari perspektif yang dibangun sendiri-sendiri. Hal ini bisa dilihat dari pendekatan yang dilakukan oleh William Montgomery Watt (salah seorang orientalis senior terkemuka di Barat dewasa ini) dan Patricia Crone dalam menganalisis kemunculan Islam di Mekkah dan penyebarannya yang luas di Arabia[6]. Kedua sejarawan ini sama-sama menggunakan pendekatan sejarah, namun dalam menganalisis objek yang diteliti kedua-duanya memakai pisau analisis yang berbeda-beda. Sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda dan bahkan bertolakbelakang dengan hasil yang mereka dapatkan.
Dalam konteks tersebut, J. Koren dan Y.D. Nevo dalam Akh. Minhaji melihat ada dua aliran besar dalam studi Islam. Dua aliran besar tersebut banyak digunakan dalam mengkaji Arab pra-Islam, kelahiran Islam, dan penaklukan Islam, seperti yang dikaji oleh William Montgomery Watt dan Patricia Crone (sebagai contoh), atau secara umum kajian Islam dan umat Islam. Aliran pertama digunakan oleh kaum tradisionalis yang disebut dengan pendekatan tradisionalis (traditionalist approach) dan kedua disebut pendekatan revisionis (revisionist approach).
Secara umum, kelompok tradisionalis mendasarkan kajiannya pada literatur yang ditulis oleh orang Arab/Islam. Kelompok ini memandang bahwa literatur Arab/Islam, seluruhnya dapat dijadikan sebagai sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada harus dipandang benar sepanjang tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt melalui karya-karyanya, antara lain, Muhammad: prophet and Statesman yang merupakan versi ringkas dari dua bukunya, Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina, dikategorikan sebagai pendukung kelompok tradisionalis. Sedangkan kelompok revisionalis akan dibahas secara lebih lengkap pada pembahasan selanjutnya.
Dalam pembahasan ini memang sengaja membahas mengenai pendekatan revisionis saja, karena pendekatan tradisonalis akan dibahas oleh kawan saya yang lain.

B.  Pendekatan Revisionis dalam Studi Islam
Kelompok revisionis[7] bertitik tolak dari anggapan bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum. Menurut kelompok ini, hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama-agama sebelumnya, khususnya Yahudi; dan literatur Arab/Islam yang pernah ditulis, tidak lebih dari upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan dalam rangka mengungkapkan data-data sejarah sebagaimana adanya. Akibatnya, dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak faktual, atau cenderung kontradiktif. Salah satu contoh yang diajukan untuk melatari anggapan di atas adalah berkenaan dengan hadits yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji. Di satu pihak, sumber yang ada menyebutkan bahwa Nabi melakukannya pada waktu haji, dan sementara di pihak lain, menyatakan sesudahnya. Perbedaan ini telah menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’ di sekitar apakah kawin pada saat melakukan haji itu boleh atau tidak.
Karya-karya William Muir ditengarai merefleksikan pandangan kelompok revisionis ini. Saat ini, Patricia Crone dikenal sebagai sarjana garda depan (avant garde) yang menggunakan model pendekatan kelompok revisionis, sebagaimana dapat dicermati dalam karya monumentalnya, Meccan Trade and the Rice of Islam. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan penolakannya terhadap pemikiran montgomerry Watt yang berhaluan tradisionalis. Perlu dibaca bagaimana pandangan W. Montgomerry Watt dan Patricia Crone tentang perdagangan Mekah, kemunculan Islam, dan kebangkitan islam sebagai contoh pergulatan serius antara kelompok tradisionalis dan revisionalis.
Sebagai contoh saja, Montgomery Watt, sebagaimana pandangan mayoritas umat Islam, meyakini bahwa pada masa Nabi, Mekkah adalah pusat dan jalur lalu lintas perdagangan. Posisi strategis ini mempunyai arti penting dalam penyebaran Islam ke luar Mekkah. Pandangan ini ditolak oleh Crone dengan menyatakan bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi barang-barang konsumsi yang bisa menarik perhatian orang luar. Oleh karenanya, tegas Crone, perlu dicari fakta lain yang mampu menjelaskan kenapa Islam menyebar secara cepat ke wilayah-wilayah di luar Mekkah. Berdasarkan hasil penelitiannya, ia menegaskan bahwa, sistem ketuhanan masyarakat Arab ketika itulah yang mendukung penyebaran Islam.
Kontroversi pemikiran Watt dan Crone yang mewakili dua kutub ekstrem di atas, hingga kini, menjadi bahan polemik para sarjana, khususnya menyangkut asal-usul dan perkembangan awal Islam. Crone memperoleh dukungan dari kawat sejawatnya, Michael Cook melalui karyanya Muhammad. Sebaliknya, Maxim Rodinson dan R.B. Serjeant mengecam pendekatan yang digunakan Crone, demikian pula Cook.
Perbedaan pendapat antara montgomery Watt dan Patricia Crone tentang karakteristik perdagangan Mekkah timbul karena perbedaan sumber-sumber sejarah yang digunakan oleh keduanya[8]. dalam menganalisis kemunculan Islam, terjadi lagi perbedaan interpretasi antara Watt dan Crone. Watt mendekatinya dari sudut pandang perubahan sosio-ekonomik, sedangkan Crone meniliknya dari sudut pandang politik. Baik Watt maupun Crone sama-sama menganalisis kemunculan Islam dari perspektif kenyataan empiris yang mereka teliti sebagai realitas historis, politis, dan sosiologis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Arab Mekkah. Tanpa melihat substansi kebenarannya, perbedaan interpretasi itu merupakan suatu hal yang lumrah dan sah-sah saja dalam dunia ilmiah dan akademis.
Walaupun Watt dan Crone sampai pada kesimpulan yang jauh berbeda dan bahkan bertolakbelakang secara diametral, namun jelas keduanya meneliti kemunculan Islam itu sebagai realitas kemasyarakataan yang hanya terjadi di “bawah” tanpa melihat adanya faktor kekuatan transendental atau “kehendak Tuhan dari atas”. Ini bisa dimaklumi karena Watt dan Crone mengkkaji dan menganalisis kemunculan Islam itu lebih berperan semata-mata sebagai ilmuwan dan sejarawan dengan visi dan latarbelakang pandangan sekuler Barat tanpa melihat adanya celah kemungkinan “partisipasi Tuhan dalam sejarah”. Barangkali pandangan demikian menyiratkan terjadinya “sekularisasi sejarah” dalam studi Islam. Walau demikian, agar tidak terjadi pandangan yang terlampau jauh berbeda yang diakibatkan oleh subjektifitas masing-masing peneliti, dan agar tidak terjadi pertentangan berkepanjangan, setidaknya argumentasi kedua kelompok tersebut dapat diterima secara objektif, maka perlu kiranya peneliti yang memfokuskan kajiannya pada Islam, melepaskan dirinya dari sekat-sekat yang membebasi kejujurannya dalam mengkaji Islam. Sekat-sekat tersebut bisa berupa fanatisme aliran/kelompok, praduga-praduga yang sebenarnya sudah terbangun terhadap sesuatu yang dikaji, atau subjektifitas-subjektifitas lain yang disebabkan oleh latarbelakang sosial keagamaan peneliti. Jika menginginkan hasil yang setidaknya lebih mendekati objektif, maka kita harus mampu menelanjangi diri dari sekat-sekat tersebut.

C.  Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pendekatan revisionis[9]
Pendekatan revisionis pada dasarnya bertumpu pada tiga hal prinsip:
a.      Pendekatan kritik sumber terhadap al-Qur’an dan literatur Islam terkait dengan kebangkitan Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah. Barangkali pendekatan ini diterapkan karena literatur masa lalu (al-Qur’an, Hadits, dan yang terkait) merupakan pedoman sejarah Islam yang hingga kini masih tetap digunakan sebagai sumber ajaran Islam. Sementara literatur masa lalu tersebut mempunyai rentang waktu yang sangat jauh dengan masa kini (dan juga masa mendatang). Rentang waktu yang sangat jauh tersebut memungkinkan banyak terjadi percampuran-percampuran antara pemikiran dengan ajaran yang sebenarnya di inginkan oleh pemegang kuasa literatur tersebut. Jarak rentang waktu yang jauh tersebut juga telah banyak memunculkan sejarah-sejarah yang berbeda dengan masa lalu yang hadir di sela-sela jarak waktu tersebut, sehingga dalam konteks sekarang seseorang tidak bisa hanya melihat dari luar/kulit teks itu saja, melainkan harus ada perhatian besar terhadap konteks yang mengitari literatur masa lalu itu. Dalam hal ini yang bisa dilakukan untuk memperoleh hasil kajian yang valid adalah dengan kritik sumber al-Qur’an dan literatur Islam (terkait kemunculan-kebangkitan Islam, penaklukan Islam, dan masa Umayyah) karena masa inilah rujukan orang Islam dalam melihat ajaran-ajaran Islam yang dimaksud dalam literatur Islam.
b.     Pentingnya untuk membandingkan literatur Islam dengan data eksternal di luar tradisi umat, terutama data yang semasa dengan peristiwa yang disebutkan. Pembandingan ini dimaksudkan untuk mengukur keakuratan data yang benar-benar terjadi pada masa lalu yang semasa dengan masa di luar tradisi Islam. Karena keterkaitan waktu yang semasa dengan peristiwa lain sangat mempengaruhi apakah peristiwa tersebut benar-benar terjadi ataukah hanya sebatas mitos yang dibuat untuk mengukuhkan kepentingan (Islam) sendiri. Prinsip ini penting mengingat pergulatan politik (dari dulu hingga sekarang) antara orang Islam dan non Islam (bahkan antara orang Islam sendiri) masih berlangsung sengit dengan berbagai kepentingan yang ada. Apalagi literatur Islam banyak digunakan sebagai alat legitimasi bagi kelompok tertentu. Untuk menghapus keraguan akan kebenaran peristiwa yang telah terjadi itu, maka pembandingan literatur islam dengan data eksternal di luar tradisi islam layak diperhatikan.
c.      Pemanfaatan bukti material (arkeologi, numismatik, epigrafi) yang semasa dengan peristiwa yang diteliti dan kesimpulan yang diambil dari data tersebut dipandang lebih valid dibandingkan dengan data yang tidak semasa, yakni data berupa literatur Islam yang ditulis jauh setelah peristiwa itu terjadi. Pandangan ini menganggap bahwa bukti material merupakan bukti netral yang menunjukkan peristiwa kongkrit yang terjadi pada masa itu. Sedangkan data berpa literatur yang ditulis jauh setelah peristiwa yang diteliti terjadi, memungkinkan dan bahkan niscaya terjadi hal-hal diluar kenyataan yang terjadi, karena data yang ditulis jauh setelah peristiwa itu terjadi sarat dengan pemikiran-pemikiran subjektif dari penulis sendiri. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh kelompok revisionis bahwa kenyataan yang sebenarnya tidak pernah terjadi dipoles menjadi kenyataan sejarah dalam bentuk tulisan-tulisan atas pemikiran pribadi.

D.  Penutup
Tidak ada yang benar atau salah dari pendekatan-pendekatan yang digunakan, baik oleh sejarawan Barat atau sejarawan Muslim sendiri dalam mengkaji Islam. Semua pendekatan akan menghasilkan sesuatu yang objektif apabila subjektifitas-subjektifitas yang ada pada peneliti ditiadakan. Di sinilah arti pentingnya kejujuran dalam mengkaji apapun, baik itu agama sendiri atau agama orang lain. Walaupun sulit (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) melepas subjektifitas, apalagi yang terkait dengan unsur transendental dalam agama, menyebabkan para pengikutnya sulit melepaskan unsur tersebut ketika mengkaji Islam, dan bahkan ketika membaca penelitian orang lain (khususnya orang Barat) yang mengkaji Islam – agama yang dianutnya.
Apapun pendekatan yang digunakan, siapapun yang melakukan kajian tersebut, dan siapapun yang membaca hasil kajian itu, dituntut untuk selalu mengkritisi dengan lebih arif sesuai dengan keilmuan dan metodologi yang umum digunakan dalam kajian keilmiahan. Hal ini untuk menghindari truth claim (klaim kebenaran) di antara para pengkaji Islam.
Banyak orang mengakui bahwa setiap pendekatan mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hal ini menuntut para pengkaji Islam secara khusus untuk tidak berpaku pada satu pendekatan yang dianggap benar menurut persepsi sendiri lalu mengabaikan pendekatan lain yang sebenarnya sangat mendukung kajiannya. Pendekatan tradisionalis, revisionis, dan pendekatan-pendekatan yang lain perlu dikolaborasi sesuai kebutuhan dan tuntutan peneliti guna menghasilkan sesuatu yang komplit atau konprehensif sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Karena dalam peristiwa yang telah terjadi tersimpan berbagai hal dan warna-warni kehidupan yang disebabkan latarbelakang dan sebab-sebab atau pengaruh-pengaruh yang mungkin tak bisa diungkap dengan satu pendekatan.








Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. dkk. 2000. Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Connolly, Peter ed. 2009. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS.

Ismail, Faisal. 1998. “Perdagangan Mekkah, Muhammad Rasulullah, Dan Bangkitnya Agama Islam”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Sebagai Guru Besar Sejarah Dan Perdaban Islam, Disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbatas Iain Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 20 Juni 1998.

Minhaji, Akh. 2010. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi.   Yogayakarta: Suka Press.

Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo.




[1] Adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Interdicilinary Islamic Study Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. secara eksplisit makalah ini memang tidak memiliki linieritas dengan IPI, namun secara implisit dapat diterapkan dalam kajian IPI terkait sifat keilmuan IPI yang multidisiplin.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), hlm. 27.
[3] Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 2.
[4] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi, (Yogayakarta: Suka Press, 2010), hlm.3.
[5] Ibid., hlm. 62.
[6] Lihat Faisal Ismail, “Perdagangan Mekkah, Muhammad Rasulullah, Dan Bangkitnya Agama Islam”, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Sebagai Guru Besar Sejarah Dan Perdaban Islam, Disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbatas Iain Sunan Kalijaga Yogyakarta, 20 Juni 1998.
[7] Pembahasan ini penulis banyak mengambil referensi dari Akh. Minhaji “Orientalisme dalam Bidang Hukum Islam” dalam Amin Abdullah, dkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2000), hlm. 150-151.
[8] Faisal Ismail, “Perdagangan Mekkah…hlm. 22.
[9] Akh. Minhaji, Sejarah Sosial…hlm. 89.
BELAJAR POLIGAMI DARI MASYARAKAT
(SEBUAH REFLEKSI YANG PANJANG)[1]
Oleh: Rohana.[2]
Pendahuluan
Selama ini saya sulit menemukan kata apa yang akan saya gunakan sebagai pendahuluan saya disetiap kali hendak menulis (semisal makalah atau tulisan-tulisan ringan di blog).  Namun sekarang, saya memutuskan untuk memulainya dengan bercerita sedikit mengenai alasan saya menulis tentang poligami.
Saya menulis tema “belajar poligami dari masyarakat” dalam rangka merefleksikan apa yang saya lihat, alami, dan mungkin merasakan secara nyata bagaimana poligami menjadi warna dan sekaligus masalah tersendiri di masyarakat. Di sini, masyarakat yang saya maksudkan sebagai tempat belajar saya ini adalah masyarakat Lombok[3], tempat saya lahir, besar, menuntut ilmu bertahun-tahun, dan tempat nantinya saya kembali setelah urusan akademik saya selesai di Jogja (UIN) ini.
Kalimat “Belajar poligami dari masyarakat” bukan dimaknai sebagai keinginan, kesepakatan, atau ketidaksepakatan saya mengenai poligami, melainkan lebih karena saya menganggap bahwa masyarakat saya yang banyak mempraktekkan poligami itu bisa menjadi bahan belajar saya dalam mengenal dan memahami poligami itu sendiri, juga sebagai bahan refleksi yang panjang dari sebuah realitas yang tak bisa saya pungkiri.
Refleksi  ini saya lakukan untuk membantu saya mengurai sedikit kegelisahan saya selama bertahun-tahun dan menjadi  pertanyaan yang selalu memunculkan pertanyaan baru setelah satu pertanyaan terjawab. Mungkin alasan satu-satunya yang saya dapat mengapa poligami ini selalu memunculkan pertanyaan yang lain adalah karena poligami di Lombok sudah hampir membudaya (kalau tidak mengatakan menjadi budaya) karena poligami di sana relatif sangat biasa dan hampir tidak menjadi masalah. Namun di sinilah letak masalah yang saya pertanyakan, mengapa poligami di Lombok sudah hampir membudaya dan hampir tidak menjadi masalah yang berarti bagi masyarakat sana?
Keluarga Poligami: Realitas yang tak terpungkiri
Semenjak saya lahir, saya sudah mendapatkan diri saya berada pada kelurga yang berpoligami. Ayah saya memiliki dua istri sampai sekarang. Banyak orang bilang bahwa ayah pandai dalam mengatur kedua isterinya. Hal tersebut dibuktikan dengan masih langgengnya hubungan isteri yang satu dengan istri yang lainnya. Rumah antara keduanya berhadapan dengan jarak yang sangat dekat yaitu sekitar 20 meter. Saya pun mengakui hal tersebut, meskipun yang saya akui bukanlah kepandaian ayah saya yang mengurus kedua isterinya, melainkan keikhlasan kedua isteri ayah saya untuk menerima keadaan diri mereka yang bermadu. Tapi saya tidak tau mengapa mereka menerima dan ikhlas dengan keadaan tersebut.
Pada waktu saya di pondok pesantren tempat saya menuntut ilmu dulu, saya tidak pernah mendengar sedikitpun penafsiran lain selain penafsiran secara tekstuil. Poligami dibolehkan dengan dasar ayat yang diambil dari surat an-Nisa ayat 3[4] yang menyebutkan bahwa laki-laki boleh menikahi perempuan dua, tiga, atau empat asal bisa berlaku adil[5], jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu saja. Dasar inilah satu-satunya yang dipegang untuk membenarkan poligami. Saya jarang mendengar penafsiran yang lebih kontekstual mengapa poligami waktu Rasulullah masih hidup itu dipraktekkan. Memang terkadang dijelaskan bahwa Rasululullah berpoligami atas dasar menjaga keselamatan janda-janda yang ditinggal suaminya saat perang, karena dikahwatirkan janda tersebut akan dipaksa kembali oleh keluarganya untuk meninggalkan Islam. Selain itu adalah untuk menjaga harta anak yatim, karena kondisi perempuan masa itu belum bisa secara independen menjaga harta yatim-nya. Kondisi perempuan juga belum terangkat derajatnya secara utuh.
Sampai di sana penjelasannya yang terkadang masih saya ingat. Namun pengetahuan tokoh agama tersebut tentang alasan Rasulullah berpoligami tidak diimplementasikan dalam model penafsiran yang dilakukan. Dengan demikian, penafsiran yang sifatnya kontekstual terabaikan dan hanya mengandalkan penafsiran tekstual sebagai modal untuk menerapkan hukum berpoligami. Saya yang belum begitu paham masalah penafsiran, hanya menganggukkan kepala ketika tafsiran poligami itu ditafsirkan sesuai teks surat an-Nisa ayat 3 itu, dan saya mengamininya. Maka, saya merasa hal ini wajar, jika pada waktu saya di pondok pesantren (tepatnya waktu saya Tsanawiyah dan Aliyah) tidak pernah menanyakan mengapa Ayah saya berpoligami. Mungkin karena pikiran saya sudah melekat pada satu penafsiran tanpa mencari penafsiran lain yang beragam. Di samping itu saya mengakui bahwa kedua isteri ayah saya memang tidak pernah bertengkar hingga sekarang. Saya sering mendengar dari ibu tiri saya (karena saya memang akrab dengannya) bahwa mereka memang tidak pernah bertengkar. Bahkan ia menceritakan sesuatu yang sangat berlainan dengan sikap “madu” yang pernah saya temui di lain orang. Ia menceritakan bagaimana ia menyuruh madunya untuk melayani ayah dengan baik dan tidak harus bersikap malu ketika madunya tersebut malu-malu. Hal inilah yang saya temui dalam realitas hidup saya. Poligami yang tidak biasa karena  seumur-umur kedua isteri ayah tidak pernah bertengkar, bahkan yg satu mensuport yang lain. Meskipun saya sebenarnya sangat yakin sikap cemburu itu tetap masih ada sebagai perlambang ego dan kecintaan serta keinginan untuk memiliki sendiri sang ayah. Sebuah sikap yang manusiawi.
Hal inilah yang kemudian membuat saya tidak pernah menanyakan poligami pada waktu itu, karena bagi saya poligami tidak membawa masalah bagi keluarga saya. Saya tidak tahu kalau keluarga yang lain, mungkin banyak masalah, mungkin juga tidak banyak, atau mungkin sama seperti yang ada di keluarga saya. Toh kalau ada masalah, saya tidak terlalu memperhatikan, karena waktu itu saya telah menerima doktrin dari para guru dan ustaz saya bahwa poligami itu boleh, indah, dan bagi isteri2 yang ikhlas menerima akan mendapatkan naungan bendera Siti Fatimah kelak di hari akhir yaitu pada saat di padang mahsyar nanti. Kalau isteri-isteri tidak mau menerima, berarti ia tidak ingin mendapat naungan bendera itu, dan mereka merupakan orang yang rugi dengan kesempatan yang ia peroleh.
 Dari Fatima Mernisi: Awal Saya Mempelajari Gender
Dari kecil saya sudah hidup dan berada pada masyarakat yang sangat patriarkhis. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti masak, menyapu, mencuci, membersihkan rumah, dan segala yang berkaitan dengan rumah tangga hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Apabila ada seorang laki-laki yang menyapu, mencuci, atau memasak , itu adalah hal yang tabu, aneh, dan dianggap diperbudak isteri (seandainya ia sebagai suami), menyedihkan (seandainya ia sebagai anak). Di samping itu, beban perempuan juga sering doble, bahkan berlipat-lipat. Kebanyakan perempuan di sana, di samping  berstatus sebagai isteri, juga sebagai pencari nafkah. Mereka juga bekerja di sawah, di pasar, di pabrik, di sekolah, dan lain-lain. Alhasil, beban mereka double, dan jarang suami membantu pekerjaan isteri yang terkait dengan pekerjaan rumah. Namun hal ini sudah menjadi bagian yang tidak dipermasalahkan, karena sudah menjadi konstruksi yang mengakar kuat, bahkan hingga sekarang. Sudah menjadi realitas yang sudah dianggap takdir atau peran yang tidak bisa ditukar. Saya pun menganggapnya sebagai bagian dari takdir waktu itu.
Hingga pada suatu saat, waktu itu saya baru selesai dan lulus dari Aliyah, saya sempat mendengar kata “gender” dari kakak saya. Sebelumnya saya hanya pernah mendengar kata “emansipasi” yang itu sangat ditentang oleh guru saya di pondok dulu. Saya tidak tau apa itu gender sesungguhnya, saya hanya berpikiran bahwa gender itu adalah pemikiran di mana perempuan ingin sama telak dengan laki-laki, dalam pekerjaan, pendidikan, rumah tangga, politik, dan sebagainya. Laki-laki main sepak bola, perempuan ingin main sepak bola, laki-laki memanjat pohon, perempaun juga tak mau kalah, laki-laki jadi kuli bangunan, perempuan juga ingin. Alhasil, semua yang dilakukan laki-laki, perempuan juga ingin seperti itu, bahkan ingin lebih dari itu. Apa yang saya pikirkan waktu itu saya adopsi dari apa yang dipikirkan oleh tuan guru (kiai) saya di pondok. Yaitu emansipasi dan gender itu dianggap sebagai sikap dari perempuan yang ingin berhadap-hadapan dengan laki-laki, dan bukan berdiri sejajar. Pemikiran ini juga yang membuat saya menentang habis-habisan tentang ilmu baru yang saya dengar itu. Sementara kakak saya terus mengejek saya karena saya sebagai seorang perempuan saja, malah tidak sepakat dengan ‘gender’ itu. Mungkin karena kakak saya juga tidak pernah memperaktekkan pemikiran gender itu dalam kehidupan sehari dan bahkan melanggengkan budaya patriarki yang membuat saya acuh tak acuh dengan ‘gender’ itu sendiri.
Ternyata ejekan kakak saya tentang pertentangan saya terhadap gender itu menggores tanda tanya di pikiran saya. Mengapa laki-laki seperti kakak saya, meskipun dalam praktek sebenarnya jauh dari konsep gender, sepakat dengan gender? Apa salahnya jika saya mengenal dan memahami lebih dalam tentang gender? Pertanyaan ini saya simpan, dan tetap pada pendirian bahwa gender itu tidak penting dan bertentangan dengan doktrin agama yang saya terima di pondok.
Saya tidak pernah menyangka kalau pikiran ini akan berbalik 100 % tentang gender yang selama ini saya pertentangkan. Kebetulan saya mendapatkan buku dari kamar kakak saya yang ditulis oleh Fatima Mernisi dengan judul “menengok kontroversi peran perempuan dalam politik[6]. Buku tersebut saya baca dengan pelan-pelan hingga habis. Pikiran saya tercerahkan ketika Fatima Mernisi menulis dengan nada yang menantang dan agak konfrontatif, namun cukup memberikan saya informasi bahwa teks-teks yang selama ini hanya ditafsirkan secara tekstual, harus ditafsir ulang berdasarkan konteks di mana teks-teks tersebut lahir. Seperti hadits yang menyatakan bahwa “Mereka yang mempercayakan urusannya kepada seorang wanita tidak akan pernah merasakan kemakmuran[7]. Fatima Mernisi di buku tersebut mengungkapkan mengapa hadits tersebut lahir, apa penyebabnya Rasul yang mulia mengatakan hal seperti itu.
 Fatima Mernisi yakin bahwa Rasulullah tidak mungkin akan mengeluarkan hadits misoginis. Tidak ada hadits yang melecehkan perempuan dan tidak ada hadits yang secara makna umumnya merendahkan perempuan. Hanya saja terkadang ada hadits yang sepertinya (leksikal) memojokkan perempuan, tetapi hal tersebut harus dilihat secara kontekstual. Di samping itu hadits2 misoginis harus dicari atrau dikritisi siapa perawinya, sanadnya valid, tersambung atau tidak, matannya sesuai dengan spirit al-Qur’an atau tidak. Jika kita sudah menelusur segi-segi tersebut, maka barulah kita kontekskan dengan realitas waktu itu dan realitas sekarang. Sampai di sini, saya sudah bisa mendapatkan diri saya tercerahkan, walau hanya sedikit. Paling tidak, awal inilah yang membuat saya berpikir lebih jauh tentang realitas yang saya temui di Lombok, terutama yang berkaitan dengan poligami, beban ganda perempuan, stereotype yang diberikan masyarakat kepada perempuan, pendidikan yang jauh dari merata, masalah ekonomi yang membelit, legalitas tokoh agama yang kuat, adat yang memberatkan salah satu pihak, dan masalah perceraian. Semua masalah ini berjalan berkelindan dan membentuk alur yang sulit tertebak, mana yang harus didahulukan dan mana yang dianggap prioritas. Masalah-masalah di atas adalah masalah yang menjadi buah pikiran saya ketika sedikit pencerahan baru saja saya dapatkan.
Berdasarkan buku yang saya baca itu, saya menjadi lebih ingin tahu buku yang lain. Maka saya cari tema yang berkaitan. saya pun mencoba membaca karangan Amida Wadud, Riffat Hasan, Syafiq Hasyim, dan tokoh lain yang saya tak bisa hafal. Dari sinilah kemudian saya berpikir bahwa poligami di Lombok, khususnya yang saya temui di keluarga saya, bahwa ia dipraktekkan bukan hanya karena mengikuti tokoh agama saja, melainkan predikat orang yang berpoligami dianggap sebagai predikat yang bagus. Ada yang bilang bahwa laki-laki yang berani poligami menunjukkan bahwa ia benar-benar sebagai laki-laki jantan, ada yang bilang bahwa laki-laki berpoligami adalah menandakan ia mampu atau kaya. Mungkin inilah yang menyebabkan poligami di Lombok menjadi hal yang biasa[8].
Tuan Guru Berpoligami: Sebuah Legalitas dari Tokoh Agama yang Sangat mendukung
Di Lombok tempat saya lahir ini, Tuan Guru (Jawa: Kiai) merupakan tokoh agama yang paling berpengaruh di masyarakat. Setiap kata-kata tuan guru adalah hal yang tak bisa dibantah. Ia dianggap pewaris Nabi yang kata-katanya mengandung kebenaran. Maka tidak heran bila dalam politik, tuan guru ikut diperankan sebagai penyumbang suara yang signifikan dari jama’ahnya. Apabila waktu mendekati pemilu baik itu pemilihan presiden, gubenur, bupati, DPRD, dan sebagainya, tuan guru kerap didatangi oleh para calon dan yang berkepentingan untuk diberi sumbangan lalu dimintai untuk mendukung calon yang diusung. Begitu besarnya peran tuan guru di masyarakat, hampir tokoh dalam pemerintahan tidak begitu berarti dibanding peran tuan guru. Setelah tuan guru, barulah peran tokoh adat menjadi peringkat kedua-nya. Saya terkadang bertanya, apa sih rahasia para tuan guru ini sehingga begitu kuat pengaruhnya terhadap masyarakat. Pengaruh inipun tidak sementara, bahkan sampai ajal dan mungkin sampai akhir nanti, pengaruhnya akan tetap kuat.
Dalam urusan poligami (secara umum agama dan masalah social), tuan guru adalah penentu urusan tersebut. Apabila tuan guru membolehkan, maka masyarakat pun akan melakukannya, karena masyarakat yakin bahwa tuan guru adalah orang yang memahami agama secara kaffah.
Realitas yang saya temui di Lombok adalah banyaknya tuan guru yang berpoligami. Di tempat saya mondok, kepala yayasan, kepala sekolah (waktu itu) adalah pelaku poligami. Di pondok pesantren yang lain juga demikian. Wajah poligami para tuan guru juga bermacam-macam. Ada yang umur isterinya yang  satu tidak jauh berbeda dengan isterinya yg lain (sebaya), ada yang umumrnya jauh berbeda seperti antara umur 50:19, ada yang berkisar 50:25, dan sebagainya. Ada yang mengambil isteri dari murid-muridnya, ada yang dari luar, dan ada yang dari teman politiknya.
Kenyataan bahwa para tuan guru ini berpoligami secara otomatis diangap sebagai legalitas yang mapan di kalangan masyarakat. Tidak peduli apa alasannya, apa dalilnya, bagaimana poligami dibolehkan, dalam keadaan seperti apa, dan manfaat atau mudaratnya bagaimana, masyarakat tidak menjadikan hal tersebut sebagai perioritas. Yang terpenting adalah bahwa poligami itu boleh berdasarkan apa yang didengarkan dan dilihatnya dari tuan guru.
Keengganan para tuan guru untuk menafsirkan kembali dalil-dalil poligami dan praktek yang tuan guru lakukan sangat mempengaruhi kebiasaan poligami di masyarakat Lombok. Lebih dari itu, kebiasaan poligami seperti yang telah saya sebutkan adalah karena reputasi dan gender.
Saya terkadang menyimpulkan sendiri (tentu simpulan yang subjektif mungkin) bahwa praktek poligami di masyarakat Lombok bukanlah didasarkan pada nilai agama yang dibawa Rasul, melainkan lebih didasarkan pada hawa nafsu yang ditutupi dalil agama atau legalitas tokoh agama dan reputasi social yang dilekatkan masyarakat. Anehnya, perempuan pun menerimanya sebagai sebuah kebenaran.          
Di Bawah Naungan Bendera Siti Fatimah   
Hingga saat ini saya masih mengingat apa yang dikatakan tokoh agama saya di Lombok bahwa perempuan yang ikhlas dipoligami akan mendapat naungan bendera Siti Fatimah di padang mahsyar nanti. Bagi yang tidak ikhlas dan tidak menerima dipoligami berarti ia tidak menginginkan bendera tersebut, dan ia kehilangan kesempatan yang diberikan suaminya. Alangkah sederhananya janji ini, namun sangat berpengaruh bagi kehidupan perempuan dalam rumah tangga. Alasan ini pulalah yang mengakibatkan perempuan di Lombok rela dipoligami meski dalam hati ia tidak rela dan sakit hati karenanya. Timbul pertanyaan dalam hati saya “apakah laki-laki yang berpoligami di Lombok sudah mendapatkan izin baik lisan maupun tertulis dari isterinya atau tidak?.
Sampai sekarang ini, saya pun belum mendapat jawabannya. Dan mengenai Hadits tentang bendera Siti Fatimah pun belum saya temukan. Saya tidak tau apakah tuan guru mendasarkan dalil tersebut pada Hadits ataukah pada pernyataan orang Arab saja. Karena Siti Fatimah sendiri bukan seorang perempuan yang dipoligami oleh suaminya. Saya akan mencari jawaban atas masalah ini.
Tuan Guru Muda dan Ustazah yang Transformatif
Pendidikan yang masih rendah saya pikir akan ikut melanggengkan praktek poligami yang tidak berdasar tersebut. Pendidikan tinggi yang tidak sensitive gender dan para akademisi yang tidak transformative pun akan ikut mempertahankan praktek poligami. Bahkan jika ia juga mempraktekkannya, maka mungkin saja poligami di Lombok akan menjadi sebuah budaya. Namun hal ini tidak terlihat, karena ternyata ada juga tuan guru muda dan ustazah yang pemikirannya melampaui tuan guru yang lain. Mereka adalah tuan guru dan ustazah yang transformatif, yang mampu menekan laju poligami dan mampu memberikan pencerahan walau hal ini masih terus harus diupayakan. Paling tidak, meskipun sekarang mungkin masih jadi biasa, pada generasi berikutnya diharapkan mampu dibendung dan dimaknai secara lebih arif sesuai konteks dan sesuai spirit Islam.
Kehadiran para tuan guru/ustazah yang transformatif ini diharapkan dapat membawa perubahan yang berarti. Tidak hanya yang berkaitan dengan poligami, melainkan pada urusan lain semisal pendidikan, adat yang memberatkan salah satu pihak, masalah perkawinan dini, perceraian yang tinggi, kesehatan reproduksi, dan sebagainya. Karena pada kenyataannya masalah yang dihadapi masyarakat Lombok memang kompleks dan berjalan berkelindan. Sesuatu yang tak mudah dipecahkan hanya dalam waktu yang singkat. Perlu kontinuitas dan kesabaran serta kesadaran yang tinggi.
Ketika Aku Belajar Gender untuk Mempelajari masalah poligami di masyarakat
Setelah saya membaca buku Fatima Mernisi “Kontroversi peran Perempuan dalam Politik” pikiran saya sedikit tercerahkan. Saya sudah mulai bangga pada perempuan yang mau melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang yang tinggi, saya juga sangat mendukung adik2 saya untuk melanjutkan sekolah dan kuliahnya. Implikasi dari pikiran saya yang berubah 100% mengenai gender telah mengubah sikap saya terutama dalam memandang poligami. “Saya tidak ingin gegabah menilai poligami di Lombok adalah praktek yang menyimpang atau tidak menyimpang, saya tidak menilai hal tersebut menurut hitam putihnya”. Namun saya menganggap bahwa poligami di sana merupakan bagian dari masalah yang menumpuk yaitu masalah kelas social, ekonomi, agama, dan masalah pendidikan. Apabila bagian-bagian ini bisa terpecahkan, maka masalah poligami pun akan terpecahkan.
Saya belajar gender adalah untuk memahami poligami yang dipraktekkan di masyarakat saya. Namun saya tertarik dan sepakat dengan pendapat Bu Fatimah Husein selaku dosen saya pada mata kuliah pendekatan dalam pengkajian Islam  bahwa belajar gender adalah untuk melihat ketimpangan social yang lain. Memang benar, bahwa ketika saya belajar gender baik waktu di organisasi, pelatihan, atau melaui membaca sendiri dari buku-buku, saya melihat gender bukan hanya untuk poligami atau masalah yang terkait dengan perempuan, melainkan pada masalah lain semisal ekonomi, pendidikan, dan masalah social lainnya.
Saya belajar gender secara lebih serius ketika saya sampai ke Jogja ini. Ketika saya masuk UIN saya mengikuti organisasi yang di dalamnya intens melakukan diskusi masalah gender. Sering pula berdiskusi dengan teman yang tidak seorganisasi denganku untuk membahasa gender dan masalah remaja putri di kampus. Betapa diskusi-diskusi yang saya lakukan ini menambah wawasan saya tentang gender, walau saya sadari saya tidak dapat menuliskannya dengan baik di makalah-makalah atau membicarakannya dengan runut saat menjadi materi pada pelatihan gender. Diskusi tersebiut membawa pikiran saya kepada kesimpulan bahwa permasalahan gender tidak semata permasalahan perempuan, melainkan juga permasalahan masyarakat dan Negara, dan agama. Konsep mahram pada suatu kali dan pada suatu ruang sangat berbeda dengan tempat yang berbeda. Pengalaman kakak saya yang kebetulan belajar di Australia mengatakan bahwa Di Australia, perempuan-perempuan sendiri, berjalan pada waktu malam yang sudah larut menjadi hal biasa dan tidak wajib ditemani mahramnya, karena di sana negara telah melindungi warganya dengan pengamanan yang terjamin. Maka di sini yang berperan sebagai mahram adalah negara, bukan laki-laki atau saudara. Di Indonesia, keamanan yang masih belum maksimal menuntut konsep mahram ini tetap diberlakukan. Hal ini jika perempuan tersebut tidak bisa menjaga diri sendiri dan tidak yakin dengan keamanan negara. Tetapi jika perempuan tersebut bisa menjaga diri sendiri dan yakin dengan keamanannya, maka konsep mahram bisa berubah yaitu kewajiban mahram perempuan tidak lagi dibutuhkan.
Dalam memandang poligami pun seperti itu juga. Jika poligami dalam konteks hari ini tidak memiliki manfaat dan hanya akan membawa mudarat baik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, maka poligami  menjadi tidak boleh. Namun saya belum bisa mengambil alasan dalam konteks hari ini tentang poligami yang diperbolehkan. Berlaku adil telah disinyalir dalam al-Qur’an bahwa hal tersebut tidak akan bisa dilakukan oleh seorang laki-laki meskipun ia benar-benar ingin bersikap adil[9]. Lagi pula adil (hingga sekarang) belum dapat didefinisikan secara jelas bagaimana adil yang sebenar-benarnya. Hal ini menyulitkan poligami itu dibenarkan. Rentang waktu Ralulullah hidup dan ruang serta keadaan yang berubah telah mempengaruhi konsep poligami. Saya tidak menemukan alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa poligami itu boleh sekarang ini.


Penutup
Tema “belajar poligami dari masyarakat” yang saya tulis sebagai sebuah refleksi panjang saya ini bukan berarti keinginan dan kesepakatan atau ketidaksepakatan saya mengenai poligami. Melainkan hal ini adalah buah refleksi saya terhadap cara saya mengenal dan memahami masalah poligami yang saya lihat dari masyarakat. Karena saya pikir bahwa apa yang saya lihat dari masyarakat adalah materi yang tidak bisa saya anggap hal biasa, melainkan ia adalah bahan yang akan saya jadikan refleksi, pelajaran, dan bahan mengambil keputusan yang arif dalam menyikapi poligami. Melihat kenyataan bahwa poligami hampir membudaya di masyarakat saya, maka saya perlu belajar masalah poligami tersebut dari masyarakat. Mengapa poligami dipraktekkan, mengapa ia masih langgeng, mengapa isteri-isteri juga membenarkannya, dan sebagainya. Alhasil, poligami merupakan masalah social yang saling berkait dan berkelindan dengan masalah status social, ekonomi, agama, pendidikan, dan pengaruh tuan guru yang tak bisa digoyahkan. Dengan demikian, pendekatan yang multidisipliner perlu diupayakan dalam rangka mencari akar masalah dan penyelesaiannya. Di sinilah urgensi dari beragam pendekatan yang akan melengkapi pendekatan yang satu dengan yang lainnya, sehingga diharapkan masalah poligami yang berbaur dengan masalah-masalah social yang lain mampu terurai dan terselesaikan.
Referensi
Departemen Agama Ri, “Al-Qur’an Dan Terjemahannya 30 Juz”, (Yogyakarta: PT. Qomari Prima Publisher, 2002).
Mernissi, Fatima. (1997). Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. oleh
M. Masyhur Abadi. Surabaya: Dunia Ilmu.

Lalu Lukman, Sejarah Masyarakat Dan Budaya Lombok, (Mataram:T.P., 2004.

Q.S. An-Nisa’ [4]: 3.
                                                                                        
Q.S. An-Nisa’ [4]: 129.                                                  





[1] Tulisan ini merupakan tulisan refleksi saya yang dibuat untuk mempelajari masalah poligami yang selama ini masih mengganjal dalam pikiran saya.
[2] Adalah mahasiswa Program Studi Interdiciplinary Islamic Studies Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2011).
[3] Lombok (suku: Sasak) merupakan penduduk yang mayoritasnya beragama Islam. Etnis mayoritas  ini berjumlah tidak kurang dari 89% dari keseluruhan penduduk tersebut. Sisanya adalah kelompok-kelompok etnis lainnya seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina. Lihat . Lalu Lukman, Sejarah Masyarakat dan Budaya Lombok, (Mataram:t.p., 2004), hal. V. Ajaran Islam yang didapat dari tokoh agama seperti tuan guru (Jawa: kiai) diterapkan sesuai dengan penafsiran atau petuah ataupun teladan (kongkrit) dari tuan guru tersebut, termasuk di sini masalah poligami.
[4] Q.S. an-Nisa’ [4]: 3. Artinya secara lengkap ialah “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
[5] Menurut penafsiran Departemen Agama RI dalam Al-Qur’an dan terjemahannya 30 Juz (Yogyakarta: PT Qomari Prima Publisher, 2002) bahwa berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi kebutuhan isteri seperti pakaian, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah dan batiniah. Dalam penafsiran ini saya melihat batasan adil itu sangat luas dan masih multitafsir, karena adil lahiriah dan batiniah itu juga terkadang bergantung pada konteks di mana masyarakat itu berada. Definisi atau penafsiran yang multitafsir tentang adil ini mengakibatkan poligami harus dipahami lebih dalam dan harus dicari batasan-batasan yang ketat dalam pengaturannya.
[6] Fatima, Mernisi. Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. olehM. Masyhur (Abadi. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).        
[7] Fatima Mernisi menemukan hadits tersebut di dalam Bukhari, Sahih, Jilid 4, hal. 226.  Juga edisi yang diterbitkan oleh Al-Matba’a al-Bahiya al-Misriya, 1928, Jilid 13, hal. 48, dan edisi yang diterbitkan oleh Maktaba Mustafa al-Babi al-Halabi bi Misr, 1909, Jilid 16, hal. 166.
[8] Anggapan ini saya peroleh ketika berbincang-bincang dengan beberapa orang tua di Lombok (bukan tokoh agama) saat santai atau ketika obrolan mengarah pada masalah laki-laki yang kawin lebih dari satu.
[9] Q.S. An-Nisa’ [4]: 129.