BELAJAR POLIGAMI DARI
MASYARAKAT
(SEBUAH REFLEKSI YANG
PANJANG)
Pendahuluan
Selama
ini saya sulit menemukan kata apa yang akan saya gunakan sebagai pendahuluan
saya disetiap kali hendak menulis (semisal makalah atau tulisan-tulisan ringan
di blog). Namun sekarang, saya
memutuskan untuk memulainya dengan bercerita sedikit mengenai alasan saya menulis
tentang poligami.
Saya
menulis tema “belajar poligami dari masyarakat” dalam rangka merefleksikan apa
yang saya lihat, alami, dan mungkin merasakan secara nyata bagaimana poligami
menjadi warna dan sekaligus masalah tersendiri di masyarakat. Di sini,
masyarakat yang saya maksudkan sebagai tempat belajar saya ini adalah
masyarakat Lombok,
tempat saya lahir, besar, menuntut ilmu bertahun-tahun, dan tempat nantinya
saya kembali setelah urusan akademik saya selesai di Jogja (UIN) ini.
Kalimat
“Belajar poligami dari masyarakat”
bukan dimaknai sebagai keinginan, kesepakatan, atau ketidaksepakatan saya
mengenai poligami, melainkan lebih karena saya menganggap bahwa masyarakat saya
yang banyak mempraktekkan poligami itu bisa menjadi bahan belajar saya dalam
mengenal dan memahami poligami itu sendiri, juga sebagai bahan refleksi yang
panjang dari sebuah realitas yang tak bisa saya pungkiri.
Refleksi
ini saya lakukan untuk membantu saya
mengurai sedikit kegelisahan saya selama bertahun-tahun dan menjadi pertanyaan yang selalu memunculkan pertanyaan
baru setelah satu pertanyaan terjawab. Mungkin alasan satu-satunya yang saya
dapat mengapa poligami ini selalu memunculkan pertanyaan yang lain adalah
karena poligami di Lombok sudah hampir
membudaya (kalau tidak mengatakan menjadi budaya) karena poligami di sana relatif
sangat biasa dan hampir tidak menjadi masalah. Namun di sinilah letak masalah
yang saya pertanyakan, mengapa poligami di Lombok sudah hampir membudaya dan
hampir tidak menjadi masalah yang berarti bagi masyarakat sana?
Keluarga Poligami: Realitas yang tak
terpungkiri
Semenjak
saya lahir, saya sudah mendapatkan diri saya berada pada kelurga yang
berpoligami. Ayah saya memiliki dua istri sampai sekarang. Banyak orang bilang
bahwa ayah pandai dalam mengatur kedua isterinya. Hal tersebut dibuktikan
dengan masih langgengnya hubungan isteri yang satu dengan istri yang lainnya. Rumah
antara keduanya berhadapan dengan jarak yang sangat dekat yaitu sekitar 20
meter. Saya pun mengakui hal tersebut, meskipun yang saya akui bukanlah
kepandaian ayah saya yang mengurus kedua isterinya, melainkan keikhlasan kedua
isteri ayah saya untuk menerima keadaan diri mereka yang bermadu. Tapi saya
tidak tau mengapa mereka menerima dan ikhlas dengan keadaan tersebut.
Pada
waktu saya di pondok pesantren tempat saya menuntut ilmu dulu, saya tidak
pernah mendengar sedikitpun penafsiran lain selain penafsiran secara tekstuil.
Poligami dibolehkan dengan dasar ayat yang diambil dari surat an-Nisa ayat 3
yang menyebutkan bahwa laki-laki boleh menikahi perempuan dua, tiga, atau empat
asal bisa berlaku adil,
jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu saja. Dasar inilah satu-satunya
yang dipegang untuk membenarkan poligami. Saya jarang mendengar penafsiran yang
lebih kontekstual mengapa poligami waktu Rasulullah masih hidup itu dipraktekkan.
Memang terkadang dijelaskan bahwa Rasululullah berpoligami atas dasar menjaga
keselamatan janda-janda yang ditinggal suaminya saat perang, karena
dikahwatirkan janda tersebut akan dipaksa kembali oleh keluarganya untuk
meninggalkan Islam. Selain itu adalah untuk menjaga harta anak yatim, karena
kondisi perempuan masa itu belum bisa secara independen menjaga harta
yatim-nya. Kondisi perempuan juga belum terangkat derajatnya secara utuh.
Sampai
di sana penjelasannya yang terkadang masih saya ingat. Namun pengetahuan tokoh
agama tersebut tentang alasan Rasulullah berpoligami tidak diimplementasikan
dalam model penafsiran yang dilakukan. Dengan demikian, penafsiran yang
sifatnya kontekstual terabaikan dan hanya mengandalkan penafsiran tekstual
sebagai modal untuk menerapkan hukum berpoligami. Saya yang belum begitu paham
masalah penafsiran, hanya menganggukkan kepala ketika tafsiran poligami itu
ditafsirkan sesuai teks surat an-Nisa ayat 3 itu, dan saya mengamininya. Maka,
saya merasa hal ini wajar, jika pada waktu saya di pondok pesantren (tepatnya
waktu saya Tsanawiyah dan Aliyah) tidak pernah menanyakan mengapa Ayah saya
berpoligami. Mungkin karena pikiran saya sudah melekat pada satu penafsiran
tanpa mencari penafsiran lain yang beragam. Di samping itu saya mengakui bahwa
kedua isteri ayah saya memang tidak pernah bertengkar hingga sekarang. Saya
sering mendengar dari ibu tiri saya (karena saya memang akrab dengannya) bahwa
mereka memang tidak pernah bertengkar. Bahkan ia menceritakan sesuatu yang sangat
berlainan dengan sikap “madu” yang pernah saya temui di lain orang. Ia
menceritakan bagaimana ia menyuruh madunya untuk melayani ayah dengan baik dan
tidak harus bersikap malu ketika madunya tersebut malu-malu. Hal inilah yang
saya temui dalam realitas hidup saya. Poligami yang tidak biasa karena seumur-umur kedua isteri ayah tidak pernah
bertengkar, bahkan yg satu mensuport yang lain. Meskipun saya sebenarnya sangat
yakin sikap cemburu itu tetap masih ada sebagai perlambang ego dan kecintaan
serta keinginan untuk memiliki sendiri sang ayah. Sebuah sikap yang manusiawi.
Hal
inilah yang kemudian membuat saya tidak pernah menanyakan poligami pada waktu
itu, karena bagi saya poligami tidak membawa masalah bagi keluarga saya. Saya
tidak tahu kalau keluarga yang lain, mungkin banyak masalah, mungkin juga tidak
banyak, atau mungkin sama seperti yang ada di keluarga saya. Toh kalau ada
masalah, saya tidak terlalu memperhatikan, karena waktu itu saya telah menerima
doktrin dari para guru dan ustaz saya bahwa poligami itu boleh, indah, dan bagi
isteri2 yang ikhlas menerima akan mendapatkan naungan bendera Siti Fatimah
kelak di hari akhir yaitu pada saat di padang mahsyar nanti. Kalau
isteri-isteri tidak mau menerima, berarti ia tidak ingin mendapat naungan
bendera itu, dan mereka merupakan orang yang rugi dengan kesempatan yang ia
peroleh.
Dari Fatima Mernisi: Awal Saya Mempelajari
Gender
Dari
kecil saya sudah hidup dan berada pada masyarakat yang sangat patriarkhis.
Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti masak, menyapu, mencuci, membersihkan
rumah, dan segala yang berkaitan dengan rumah tangga hanya boleh dilakukan oleh
perempuan. Apabila ada seorang laki-laki yang menyapu, mencuci, atau memasak , itu
adalah hal yang tabu, aneh, dan dianggap diperbudak isteri (seandainya ia
sebagai suami), menyedihkan (seandainya ia sebagai anak). Di samping itu, beban
perempuan juga sering doble, bahkan berlipat-lipat.
Kebanyakan perempuan di sana, di samping
berstatus sebagai isteri, juga sebagai pencari nafkah. Mereka juga
bekerja di sawah, di pasar, di pabrik, di sekolah, dan lain-lain. Alhasil,
beban mereka double, dan jarang suami
membantu pekerjaan isteri yang terkait dengan pekerjaan rumah. Namun hal ini
sudah menjadi bagian yang tidak dipermasalahkan, karena sudah menjadi
konstruksi yang mengakar kuat, bahkan hingga sekarang. Sudah menjadi realitas
yang sudah dianggap takdir atau peran yang tidak bisa ditukar. Saya pun
menganggapnya sebagai bagian dari takdir waktu itu.
Hingga
pada suatu saat, waktu itu saya baru selesai dan lulus dari Aliyah, saya sempat
mendengar kata “gender” dari kakak saya. Sebelumnya saya hanya pernah mendengar
kata “emansipasi” yang itu sangat ditentang oleh guru saya di pondok dulu. Saya
tidak tau apa itu gender sesungguhnya, saya hanya berpikiran bahwa gender itu
adalah pemikiran di mana perempuan ingin sama telak dengan laki-laki, dalam
pekerjaan, pendidikan, rumah tangga, politik, dan sebagainya. Laki-laki main
sepak bola, perempuan ingin main sepak bola, laki-laki memanjat pohon,
perempaun juga tak mau kalah, laki-laki jadi kuli bangunan, perempuan juga
ingin. Alhasil, semua yang dilakukan laki-laki, perempuan juga ingin seperti itu,
bahkan ingin lebih dari itu. Apa yang saya pikirkan waktu itu saya adopsi dari
apa yang dipikirkan oleh tuan guru (kiai) saya di pondok. Yaitu emansipasi dan
gender itu dianggap sebagai sikap dari perempuan yang ingin berhadap-hadapan
dengan laki-laki, dan bukan berdiri sejajar. Pemikiran ini juga yang membuat
saya menentang habis-habisan tentang ilmu baru yang saya dengar itu. Sementara
kakak saya terus mengejek saya karena saya sebagai seorang perempuan saja,
malah tidak sepakat dengan ‘gender’ itu. Mungkin karena kakak saya juga tidak
pernah memperaktekkan pemikiran gender itu dalam kehidupan sehari dan bahkan
melanggengkan budaya patriarki yang membuat saya acuh tak acuh dengan ‘gender’
itu sendiri.
Ternyata
ejekan kakak saya tentang pertentangan saya terhadap gender itu menggores tanda
tanya di pikiran saya. Mengapa laki-laki seperti kakak saya, meskipun dalam
praktek sebenarnya jauh dari konsep gender, sepakat dengan gender? Apa salahnya
jika saya mengenal dan memahami lebih dalam tentang gender? Pertanyaan ini saya
simpan, dan tetap pada pendirian bahwa gender itu tidak penting dan
bertentangan dengan doktrin agama yang saya terima di pondok.
Saya
tidak pernah menyangka kalau pikiran ini akan berbalik 100 % tentang gender
yang selama ini saya pertentangkan. Kebetulan saya mendapatkan buku dari kamar
kakak saya yang ditulis oleh Fatima Mernisi dengan judul “menengok kontroversi peran perempuan dalam politik”. Buku
tersebut saya baca dengan pelan-pelan hingga habis. Pikiran saya tercerahkan
ketika Fatima Mernisi menulis dengan nada yang menantang dan agak konfrontatif,
namun cukup memberikan saya informasi bahwa teks-teks yang selama ini hanya
ditafsirkan secara tekstual, harus ditafsir ulang berdasarkan konteks di mana teks-teks
tersebut lahir. Seperti hadits yang
menyatakan bahwa “Mereka yang
mempercayakan urusannya kepada seorang wanita tidak akan pernah merasakan
kemakmuran”.
Fatima Mernisi di buku tersebut mengungkapkan mengapa hadits tersebut lahir,
apa penyebabnya Rasul yang mulia mengatakan hal seperti itu.
Fatima Mernisi yakin bahwa Rasulullah tidak
mungkin akan mengeluarkan hadits misoginis. Tidak ada hadits yang melecehkan
perempuan dan tidak ada hadits yang secara makna umumnya merendahkan perempuan.
Hanya saja terkadang ada hadits yang sepertinya (leksikal) memojokkan
perempuan, tetapi hal tersebut harus dilihat secara kontekstual. Di samping itu
hadits2 misoginis harus dicari atrau dikritisi siapa perawinya, sanadnya valid,
tersambung atau tidak, matannya sesuai dengan spirit al-Qur’an atau tidak. Jika
kita sudah menelusur segi-segi tersebut, maka barulah kita kontekskan dengan
realitas waktu itu dan realitas sekarang. Sampai di sini, saya sudah bisa
mendapatkan diri saya tercerahkan, walau hanya sedikit. Paling tidak, awal
inilah yang membuat saya berpikir lebih jauh tentang realitas yang saya temui
di Lombok, terutama yang berkaitan dengan poligami,
beban ganda perempuan, stereotype
yang diberikan masyarakat kepada perempuan, pendidikan yang jauh dari merata,
masalah ekonomi yang membelit, legalitas tokoh agama yang kuat, adat yang
memberatkan salah satu pihak, dan masalah perceraian. Semua masalah ini
berjalan berkelindan dan membentuk alur yang sulit tertebak, mana yang harus
didahulukan dan mana yang dianggap prioritas. Masalah-masalah di atas adalah
masalah yang menjadi buah pikiran saya ketika sedikit pencerahan baru saja saya
dapatkan.
Berdasarkan
buku yang saya baca itu, saya menjadi lebih ingin tahu buku yang lain. Maka
saya cari tema yang berkaitan. saya pun mencoba membaca karangan Amida Wadud,
Riffat Hasan, Syafiq Hasyim, dan tokoh lain yang saya tak bisa hafal. Dari sinilah kemudian saya berpikir bahwa
poligami di Lombok, khususnya yang saya temui di keluarga saya, bahwa ia
dipraktekkan bukan hanya karena mengikuti tokoh agama saja, melainkan predikat
orang yang berpoligami dianggap sebagai predikat yang bagus. Ada yang bilang
bahwa laki-laki yang berani poligami menunjukkan bahwa ia benar-benar sebagai
laki-laki jantan, ada yang bilang bahwa laki-laki berpoligami adalah menandakan
ia mampu atau kaya. Mungkin inilah yang menyebabkan poligami di Lombok
menjadi hal yang biasa.
Tuan Guru Berpoligami: Sebuah
Legalitas dari Tokoh Agama yang Sangat mendukung
Di
Lombok tempat saya lahir ini, Tuan Guru (Jawa: Kiai) merupakan tokoh agama yang
paling berpengaruh di masyarakat. Setiap kata-kata tuan guru adalah hal yang
tak bisa dibantah. Ia dianggap pewaris Nabi yang kata-katanya mengandung
kebenaran. Maka tidak heran bila dalam politik, tuan guru ikut diperankan
sebagai penyumbang suara yang signifikan dari jama’ahnya. Apabila waktu
mendekati pemilu baik itu pemilihan presiden, gubenur, bupati, DPRD, dan
sebagainya, tuan guru kerap didatangi oleh para calon dan yang berkepentingan
untuk diberi sumbangan lalu dimintai untuk mendukung calon yang diusung. Begitu
besarnya peran tuan guru di masyarakat, hampir tokoh dalam pemerintahan tidak
begitu berarti dibanding peran tuan guru. Setelah tuan guru, barulah peran
tokoh adat menjadi peringkat kedua-nya. Saya terkadang bertanya, apa sih
rahasia para tuan guru ini sehingga begitu kuat pengaruhnya terhadap
masyarakat. Pengaruh inipun tidak sementara, bahkan sampai ajal dan mungkin
sampai akhir nanti, pengaruhnya akan tetap kuat.
Dalam
urusan poligami (secara umum agama
dan masalah social), tuan guru adalah penentu urusan tersebut. Apabila tuan
guru membolehkan, maka masyarakat pun akan melakukannya, karena masyarakat
yakin bahwa tuan guru adalah orang yang memahami agama secara kaffah.
Realitas
yang saya temui di Lombok adalah banyaknya tuan guru yang berpoligami. Di
tempat saya mondok, kepala yayasan, kepala sekolah (waktu itu) adalah pelaku
poligami. Di pondok pesantren yang lain juga demikian. Wajah poligami para tuan
guru juga bermacam-macam. Ada yang umur isterinya yang satu tidak jauh berbeda dengan isterinya yg
lain (sebaya), ada yang umumrnya jauh berbeda seperti antara umur 50:19, ada
yang berkisar 50:25, dan sebagainya. Ada yang mengambil isteri dari
murid-muridnya, ada yang dari luar, dan ada yang dari teman politiknya.
Kenyataan
bahwa para tuan guru ini berpoligami secara otomatis diangap sebagai legalitas
yang mapan di kalangan masyarakat. Tidak peduli apa alasannya, apa dalilnya,
bagaimana poligami dibolehkan, dalam keadaan seperti apa, dan manfaat atau
mudaratnya bagaimana, masyarakat tidak menjadikan hal tersebut sebagai
perioritas. Yang terpenting adalah bahwa poligami itu boleh berdasarkan apa
yang didengarkan dan dilihatnya dari tuan guru.
Keengganan
para tuan guru untuk menafsirkan kembali dalil-dalil poligami dan praktek yang
tuan guru lakukan sangat mempengaruhi kebiasaan poligami di masyarakat Lombok.
Lebih dari itu, kebiasaan poligami seperti yang telah saya sebutkan adalah
karena reputasi dan gender.
Saya
terkadang menyimpulkan sendiri (tentu simpulan yang subjektif mungkin) bahwa praktek poligami di masyarakat Lombok
bukanlah didasarkan pada nilai agama yang dibawa Rasul, melainkan lebih
didasarkan pada hawa nafsu yang ditutupi dalil agama atau legalitas tokoh agama
dan reputasi social yang dilekatkan masyarakat. Anehnya, perempuan pun
menerimanya sebagai sebuah kebenaran.
Di Bawah Naungan Bendera Siti
Fatimah
Hingga
saat ini saya masih mengingat apa yang dikatakan tokoh agama saya di Lombok
bahwa perempuan yang ikhlas dipoligami akan mendapat naungan bendera Siti
Fatimah di padang mahsyar nanti. Bagi yang tidak ikhlas dan tidak menerima
dipoligami berarti ia tidak menginginkan bendera tersebut, dan ia kehilangan
kesempatan yang diberikan suaminya. Alangkah sederhananya janji ini, namun
sangat berpengaruh bagi kehidupan perempuan dalam rumah tangga. Alasan ini
pulalah yang mengakibatkan perempuan di Lombok rela dipoligami meski dalam hati
ia tidak rela dan sakit hati karenanya. Timbul pertanyaan dalam hati saya
“apakah laki-laki yang berpoligami di Lombok sudah mendapatkan izin baik lisan
maupun tertulis dari isterinya atau tidak?.
Sampai
sekarang ini, saya pun belum mendapat jawabannya. Dan mengenai Hadits tentang
bendera Siti Fatimah pun belum saya temukan. Saya tidak tau apakah tuan guru
mendasarkan dalil tersebut pada Hadits ataukah pada pernyataan orang Arab saja.
Karena Siti Fatimah sendiri bukan seorang perempuan yang dipoligami oleh
suaminya. Saya akan mencari jawaban atas masalah ini.
Tuan Guru Muda dan Ustazah yang
Transformatif
Pendidikan
yang masih rendah saya pikir akan ikut melanggengkan praktek poligami yang
tidak berdasar tersebut. Pendidikan tinggi yang tidak sensitive gender dan para
akademisi yang tidak transformative pun akan ikut mempertahankan praktek
poligami. Bahkan jika ia juga mempraktekkannya, maka mungkin saja poligami di
Lombok akan menjadi sebuah budaya. Namun hal ini tidak terlihat, karena
ternyata ada juga tuan guru muda dan ustazah yang pemikirannya melampaui tuan
guru yang lain. Mereka adalah tuan guru dan ustazah yang transformatif, yang
mampu menekan laju poligami dan mampu memberikan pencerahan walau hal ini masih
terus harus diupayakan. Paling tidak, meskipun sekarang mungkin masih jadi
biasa, pada generasi berikutnya diharapkan mampu dibendung dan dimaknai secara
lebih arif sesuai konteks dan sesuai spirit Islam.
Kehadiran
para tuan guru/ustazah yang transformatif ini diharapkan dapat membawa
perubahan yang berarti. Tidak hanya yang berkaitan dengan poligami, melainkan
pada urusan lain semisal pendidikan, adat yang memberatkan salah satu pihak,
masalah perkawinan dini, perceraian yang tinggi, kesehatan reproduksi, dan
sebagainya. Karena pada kenyataannya masalah yang dihadapi masyarakat Lombok
memang kompleks dan berjalan berkelindan. Sesuatu yang tak mudah dipecahkan
hanya dalam waktu yang singkat. Perlu kontinuitas dan kesabaran serta kesadaran
yang tinggi.
Ketika Aku Belajar Gender untuk
Mempelajari masalah poligami di masyarakat
Setelah
saya membaca buku Fatima Mernisi “Kontroversi peran Perempuan dalam Politik”
pikiran saya sedikit tercerahkan. Saya sudah mulai bangga pada perempuan yang
mau melanjutkan pendidikannya sampai ke jenjang yang tinggi, saya juga sangat
mendukung adik2 saya untuk melanjutkan sekolah dan kuliahnya. Implikasi dari
pikiran saya yang berubah 100% mengenai gender telah mengubah sikap saya
terutama dalam memandang poligami. “Saya tidak ingin gegabah menilai poligami
di Lombok adalah praktek yang menyimpang atau tidak menyimpang, saya tidak
menilai hal tersebut menurut hitam putihnya”. Namun saya menganggap bahwa poligami di sana merupakan bagian dari
masalah yang menumpuk yaitu masalah kelas social, ekonomi, agama, dan masalah
pendidikan. Apabila bagian-bagian ini bisa terpecahkan, maka masalah poligami
pun akan terpecahkan.
Saya
belajar gender adalah untuk memahami poligami yang dipraktekkan di masyarakat
saya. Namun saya tertarik dan sepakat dengan pendapat Bu Fatimah Husein selaku
dosen saya pada mata kuliah pendekatan dalam pengkajian Islam bahwa belajar gender adalah untuk melihat
ketimpangan social yang lain. Memang benar, bahwa ketika saya belajar gender
baik waktu di organisasi, pelatihan, atau melaui membaca sendiri dari
buku-buku, saya melihat gender bukan hanya untuk poligami atau masalah yang
terkait dengan perempuan, melainkan pada masalah lain semisal ekonomi,
pendidikan, dan masalah social lainnya.
Saya
belajar gender secara lebih serius ketika saya sampai ke Jogja ini. Ketika saya
masuk UIN saya mengikuti organisasi yang di dalamnya intens melakukan diskusi masalah
gender. Sering pula berdiskusi dengan teman yang tidak seorganisasi denganku
untuk membahasa gender dan masalah remaja putri di kampus. Betapa
diskusi-diskusi yang saya lakukan ini menambah wawasan saya tentang gender,
walau saya sadari saya tidak dapat menuliskannya dengan baik di makalah-makalah
atau membicarakannya dengan runut saat menjadi materi pada pelatihan gender. Diskusi
tersebiut membawa pikiran saya kepada kesimpulan bahwa permasalahan gender
tidak semata permasalahan perempuan, melainkan juga permasalahan masyarakat dan
Negara, dan agama. Konsep mahram pada suatu kali dan pada suatu ruang sangat
berbeda dengan tempat yang berbeda. Pengalaman kakak saya yang kebetulan
belajar di Australia mengatakan bahwa Di Australia, perempuan-perempuan
sendiri, berjalan pada waktu malam yang sudah larut menjadi hal biasa dan tidak
wajib ditemani mahramnya, karena di sana negara telah melindungi warganya
dengan pengamanan yang terjamin. Maka di sini yang berperan sebagai mahram
adalah negara, bukan laki-laki atau saudara. Di Indonesia, keamanan yang masih
belum maksimal menuntut konsep mahram ini tetap diberlakukan. Hal ini jika
perempuan tersebut tidak bisa menjaga diri sendiri dan tidak yakin dengan
keamanan negara. Tetapi jika perempuan tersebut bisa menjaga diri sendiri dan yakin
dengan keamanannya, maka konsep mahram bisa berubah yaitu kewajiban mahram
perempuan tidak lagi dibutuhkan.
Dalam
memandang poligami pun seperti itu juga. Jika poligami dalam konteks hari ini
tidak memiliki manfaat dan hanya akan membawa mudarat baik untuk diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat, maka poligami
menjadi tidak boleh. Namun saya belum bisa mengambil alasan dalam
konteks hari ini tentang poligami yang diperbolehkan. Berlaku adil telah
disinyalir dalam al-Qur’an bahwa hal tersebut tidak akan bisa dilakukan oleh
seorang laki-laki meskipun ia benar-benar ingin bersikap adil.
Lagi pula adil (hingga sekarang) belum dapat didefinisikan secara jelas
bagaimana adil yang sebenar-benarnya. Hal ini menyulitkan poligami itu
dibenarkan. Rentang waktu Ralulullah hidup dan ruang serta keadaan yang berubah
telah mempengaruhi konsep poligami. Saya
tidak menemukan alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa poligami itu boleh
sekarang ini.
Penutup
Tema
“belajar poligami dari masyarakat” yang saya tulis sebagai sebuah refleksi
panjang saya ini bukan berarti keinginan dan kesepakatan atau ketidaksepakatan
saya mengenai poligami. Melainkan hal ini adalah buah refleksi saya terhadap
cara saya mengenal dan memahami masalah poligami yang saya lihat dari masyarakat.
Karena saya pikir bahwa apa yang saya lihat dari masyarakat adalah materi yang
tidak bisa saya anggap hal biasa, melainkan ia adalah bahan yang akan saya
jadikan refleksi, pelajaran, dan bahan mengambil keputusan yang arif dalam
menyikapi poligami. Melihat kenyataan bahwa poligami hampir membudaya di
masyarakat saya, maka saya perlu belajar masalah poligami tersebut dari
masyarakat. Mengapa poligami dipraktekkan, mengapa ia masih langgeng, mengapa
isteri-isteri juga membenarkannya, dan sebagainya. Alhasil, poligami merupakan
masalah social yang saling berkait dan berkelindan dengan masalah status
social, ekonomi, agama, pendidikan, dan pengaruh tuan guru yang tak bisa
digoyahkan. Dengan demikian, pendekatan yang multidisipliner perlu diupayakan
dalam rangka mencari akar masalah dan penyelesaiannya. Di sinilah urgensi dari
beragam pendekatan yang akan melengkapi pendekatan yang satu dengan yang
lainnya, sehingga diharapkan masalah poligami yang berbaur dengan
masalah-masalah social yang lain mampu terurai dan terselesaikan.
Referensi
Departemen
Agama Ri, “Al-Qur’an Dan Terjemahannya 30 Juz”, (Yogyakarta: PT. Qomari Prima
Publisher, 2002).
Mernissi, Fatima. (1997). Menengok
Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. oleh
Fatima, Mernisi.
Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. olehM. Masyhur (Abadi.
Surabaya: Dunia Ilmu, 1997).